Alasan Saya Tak Mengizinkan Anak SMP Mengendarai Motor
Rabu, 11 Desember 2019
2 Komentar
Assalamualaikum
“Lho,
kak, kamu udah bisa naik motor?” saya cukup kaget ketika melihat anak sulung
sudah bisa naik motor di depan rumah. Selidik saya, dia belajar naik motor sama
temannya. Mungkin dengan teman lebih gampang tanpa perlu ijin. Tinggal pinjam
lalu jalan.
Di
luar rumah saya tidak bisa mengontrol anak-anak. Bisa jadi, dia sudah sering
main-main dengan teman-temannya. Pinjam sana sini tanpa ketahuan saya. Bebas
pergi tanpa SIM.
Tapi
selama di rumah, semua ada aturannya. Saya cukup tegas masalah naik motor ini.
Biar dikatakan kolot, kuno, tidak gaul, terserah! Saya tidak peduli. Selama
mereka adalah anak-anak saya, maka sayalah yang bertanggung jawab terhadap
mereka. Mereka harus patuh dengan aturan di rumah.
Saya
memang tidak mengizinkan anak-anak naik motor selama masih duduk di bangku SMP.
Meskipun anak-anak bisa naik motor dengan sendirinya. So far, mereka mematuhi aturan saya. Mau nggrundel, terserah! Mau
kecewa juga!
Dalam
hal ini aturan ibu tidak terbantahkan. Namun saya masih memberikan kesempatan
anak-anak untuk naik motor di sekitar rumah, di gang. Sayang, anak-anak ini
merasa tidak perlu. Iya sih, buat apa, kalau cuma muter di depan rumah tanpa
tujuan? Mau ke rumah teman terdekatpun masih harus keluar masuk gang.
Jadi
selama masih SMP, kendaraan mereka adalah sepeda. Ke sekolah naik sepeda, main
ke rumah teman, belanja kebutuhan sekolah, dan ke tempat lainnya. Saya rasa
insyaallah masih aman dan mudah.
Dalam
diamnya mereka mengeluh, “Ibu, teman-temanku loh kemana-mana naik motor.”
Saya
tahu. Beberapa teman anak-anak mengendarai sepeda motor ketika main ke rumah
saya. Ya, saya tidak mempermasalahkan. Karena bukan hak saya melarang. Apalagi
mereka bukan anak saya. Yang pasti, saya berharap mereka sudah ijin orang tua
ketika pergi.
Selain
itu, mereka itu biasa berkendara di jalan raya. Ke sekolah juga. Orang tuanya
menginjinkan. Karena rumahnya jauh, orang tua mesti bolak-balik mengantar dan
menjemput. Capek. Toh anaknya sudah besar, sudah bisa mencari jalan yang aman
(jalan tikus) ketika ada pemerikasaan oleh polisi. Anak juga bisa menitipkan
sepeda motor di penitipan bukan di parkiran sekolah. Karena pasti dilarang!
Beberapa
orang tua bangga ketika anaknya sudah bisa membawa sepeda motor kemana-mana. Sudah
bisa membantu meringankan langkah orang tua dengan tidak antar jemput, dsb. Bahkan
bisa dikatakan mandiri.
Saya
tidak ambil pusing dengan itu. Justru yang menjadi masalah adalah ketika anak
saya dibonceng teman-temannya. Saya berkali-kali mengingatkan untuk tidak usah
saja. Jujur saja saya suka ngeri melihat anak-anak sekolahan yang mengendarai
motor.
Rumah
saya dekat dengan sekolahan dan saya sering berpapasan dengan mereka. Bubar
sekolah, ngeng..ngeng...ngeng... Ada yang tertawa sambil teriak kepada
temannya. Ada yang usil di jalan. Yang sering itu kebut-kebutan sama temannya. Entah
kalau mereka merasa itu masih wajar.
Saya
memilih untuk minggir, jalan ke tepi saja, memberikan jalan buat anak-anak
sekolah agar leluasa berkendara. Walaupun ketika saya mau belok suka was-was. Ada
teman yang sudah menyalakan lampu sign tapi ditabrak anak sekolahan. Duh!
Ada
2 alasan sederhana saya ketika tidak menginjinkan anak naik sepeda motor:
- Emosi anak sekolahan masih labil.
- Belum memiliki SIM.
Anak
SMP itu masih belum cukup umur. Walaupun badannya bongsor tetap saja usia belum
mencukupi. Emosinya masih labil, suka seenaknya sendiri. Bagaimana ketika dia
di jalan raya, apakah dia bisa lebih santai, tenang menghadapai berbagai
masalah di jalan?
Ya,
memang anak-anak harus berhadapan dengan masalah agar bisa bisa mencari solusi.
Kalau cuma diam di rumah, pengalaman juga kurang. Tapi ingat, semua itu ada
waktunya.
Apalagi
usia segitu, anak belum bisa mendapatkan SIM. Kalau ada masalah di jalan raya,
katakanlah kecelakaan tentu berada di pihak yang salah. Begitu juga masalah klaim
asuransi. Anak di bawah umur yang berkendara pasti salah.
Baru-baru
ini saya baru tilik teman anak saya yang jatuh dari motor. Orang tua sudah
melarang naik motor. Tapi yang namanya anak, punya banyak cara. Dari yang
sembunyi-sembunyi sampai pura-pura. Ah, sama saja, ya.
Saya
berharap sampai anak terakhir masih bisa memberlakukan aturan tersebut. Kuncinya
ada pada komunikasi yang baik. Saya mengajak anak-anak untuk diskusi meski dalam
hal ini saya yang dominan. Suka atau tidak, ini demi kebaikan mereka.
^_^
Setuju bu, gak usah diijinkan. Barusan kemaren kami hampir ditabrak anak sekolah yang kebut2an naik motor. Mana gak pake helm [pula
BalasHapusNgeri kalau berpapasan dengan anak-anak ini.
Hapus