Siapa yang Mengatur Keuangan Keluarga? Suami atau Istri?
Selasa, 03 Desember 2019
3 Komentar
Assalamualaikum,
Suatu
hari ada teman yang bertanya tips irit mengatur keuangan keluarga. Aduh, saya menyerah
saja. Saya tidak ahli dalam bidang ini. Saya yakin tiap keluarga memiliki
patokan sendiri agar bisa mempertahankan keuangan keluarga dalam keadaan
normal. Bukan besar pasak daripada tiang.
Jadi,
disini teman-teman tidak akan menemukan tips mengelola keuangan keluarga. Yang
ada curhat teman-teman saya tentang keuangan keluarga. Kadang saya merasa ini
jauh dari teori-teori perencanaan keuangan. Tapi....mereka baik-baik saja kok
dengan gayanya masing-masing.
Siapa yang memegang
kendali pada keuangan keluarga?
“Bu
Nur, gimana caranya biar nggak boros?”
Boros
menurut saya bisa saja tidak menurut si teman. Teman saya lainnya berkata bahwa
dia benar-benar mengerem pengeluaran yang tidak penting. Akhirnya kami malah
curhat tentang siapa yang berperan dalam mengendalikan keuangan keluarga.
Beda
pasangan, beda pula cara mengatur keuangan keluarga. Ada pasangan yang
menyerahkan sepenuhnya kepada istri. Ada juga istri yang tidak mau ribet dan
memilih untuk menyerahkan kekuasaan terhadap keuangan keluarga kepada suaminya.
Ada yang sama-sama mengatur keuangan keluarga.
Yang
saya heran, ada teman yang mengatakan, “Yang penting, aku dikasih uang buat
belanja gitu berapa. Aku nggak mau pegang uang suami.”
Teman
saya ini tiap mau belanja minta jatah kepada suaminya. Urusan dia hanya belanja
kebutuhan sehari-hari. Pengeluaran yang kecil. Dia tidak peduli dengan saldo
rekening karena sudah menyerahkan semua urusan itu kepada suaminya.
Selain
itu, ada pasangan yang menyerahkan keuangan keluarga kepada istrinya. Sebagian
besar pengeluaran diatur oleh istri. Setiap pengeluaran harus sepengetahuan
istrinya. Sementara suaminya disangoni seperlunya saja.
Pernah
saya mendengar ada pasangan suami istri yang membuat pembagian pos dalam
keuangan keluarga. Pendapatan suami digunakan untuk membayar uang sekolah dan
uang saku anak, pajak, dll. Sedangkan pendapatan istri untuk makan saja dan
keperluan pribadi istri. Suami istri masih bisa memegang uangnya masing-masing.
Ada
yang pernah mendengar kata “uang laki”? Saya pernah. Saya jadi berpikir mengapa
“uang” ada jenis kelaminnya ya! Jadi, pendapatan resmi suami diberikan kepada
istrinya. Ini pendapatan yang sudah rutin tiap bulan, ya. Sedangkan jika suami
mendapatkan pendapatan lagi dari beberapa pekerjaan misalnya dinas luar atau
pekerjaan sampingan tidak diberikan kepada istrinya. Karena ada anggapan bahwa
ketika uang sudah dikasihkan istrinya tidak bisa diminta suami lagi. Daripada
suaminya ngenes tidak bisa otak-atik uang keluarga, sebagian uang tidak
dilaporkan dan tidak diberikan kepada istrinya.
Kadang
saya menganggap lucu saja. Isu “uang” menjadi pembicaraan sensitif dalam rumah
tangga. Ada kalanya suami dan istri tidak mau terbuka masalah keuangan
masing-masing. Akibatnya terjadi kecurigaan. Suami bisa belanja barang atau
pergi-pergi dari uang mana?
Saya
yakin masih banyak lagi, gaya mengatur keuangan keluarga. Beberapa teman
tertutup tentang keuangan keluarga. Kalau saya cerita seperti ini bukan masalah
nominal, namun lebih kepada siapa yang memegang kendali. Itupun sesuai dengan
kesepakatan dan keikhlasan bersama. Kalau teman-teman memiliki cerita boleh share di kolom
komentar ya!
Senyamannya!
Saya
baru mengetahui pendapatan suami ketika sudah menikah dan ikut suami merantau. Dulu,
slip gaji tiap bulan dimasukkan ke dalam amplop coklat. Di amplop tersebut ada
rincian gaji dan tunjangan pegawai lengkap dengan potongan-potongannya. Pertama
kali menerimanya, saya baca berkali-kali. Sambil berpikir semoga uang ini cukup
untuk sebulan. Maklum pengantin baru tidak memiliki modal!
Setelah
menikah kami tidak membuat perjanjian tentang uang keluarga. Kami tidak
berpikir macam-macam. Meski rasanya agak aneh ketika melihat pendapatan suami. Biasanya
saya dapat uang dari orang tua dan pekerjaan (freelance), kemudian beralih dari
suami.
“Itu
uang kamu. Belanja pakai uang ini. Uang kamu disimpen aja.” kata suami. Untuk pertama
kalinya saya agak canggung membuka amplop coklat dan mulai belanja.
Bagi
kami, bukan salah satu yang mengatur keuangan keluarga, melainkan bersama-sama.
Meski suami banyak di luar kota, namun masalah keuangan merupakan tanggung
jawab bersama. Berapapun nominal yang keluar tentu sepengetahuan pasangan. Tentu
saja dengan keikhlasan. Jangan sampai ketika saya sudah belanja kemudian suami
tidak suka dan merasa boros! Saya sendiri memiliki batasan untuk belanja.
Karena
tidak tinggal bersama, maka kami sama-sama pegang kendali dalam mengatur
keuangan keluarga. Ketika suami menarik sejumlah uang dalam jumlah besar, saya
tetap ingin dilibatkan. Bagaimanapun untuk sampai dalam kehidupan seperti ini
adalah karena kerja keras kami berdua. Suami pernah berkata, “Kalau bukan
karena menikah, mungkin aku nggak punya apa-apa.”
Pernikahan
memang butuh modal. Kadang kami tidak menyangka bisa menyekolahkan anak (sulung
sudah kuliah), memiliki rumah, dsb. Bagaimana kami up and down bersama, sampai di titik ini memang tak mudah. Ada
kerja keras, ada air mata.
Saya
termasuk orang yang malas berhitung. Dalam arti saya tidak suka jika semua
pengeluaran harus dihitung sampai datail. Pernah sih memakai aplikasi catatan
keuangan, tapi tidak bertahan lama. Saya tidak sanggup selalu merasa bersalah karena
banyak pengeluaran. Bukan berarti tiap hari boros, namun saya merasa tidak
perlu saja. Selama pengeluaran itu memang benar adanya dan butuh, meski diluar
batas, saya rasa masih aman.
Saya
maupun suami tidak memilah-milah mana yang menjadi tanggung jawab kami. Misalnya
anak sulung minta dikirimi uang. Kalau saya malas, saya tinggal bilang suami
untuk transfer. Tidak perlu iri, kenapa tidak pakai atm saya. Tidak!
Bagi kami, keuangan
keluarga menjadi tanggung jawab bersama. Bukan salah satu, meski dia adalah
pencari nafkah. Senyaman mungkin mengaturnya. Karena kalau sama-sama merasa nyaman, tidak akan ada saling mencurigai.
Saya rasa setiap pasangan harus nyaman dengan caranya
masing-masing. Kalau merasa boros memegang uang dan dikasihkan suami, ya
monggo. Kalau merasa suami yang boros, ya istri yang memegang kendali. Atau keduanya saling terlibat. Yang penting tidak neko-neko sampai menghalalkan segala cara. Semoga tidak
ya!
^_^
Saya tidak bisa berkomentar, Mbak. Lha wong saya single. Yo duwitku taksimpen dewe taknggo dewe. 😁😁😁
BalasHapusBaca ini jadi mikir besok keuangan gimana.. Tapi baca baca kebanyakan keuangan memang yang pegang istri. Apa kata besok deh ya masih sigle huhu 😂😂
BalasHapusBagi yang belum menikah, perlu sekali bicara dengan pacarnya tentang bagaimana nanti mau mengatur keuangan setelah menikah. Perlu ada kesepakatan tentang siapa yang mau pegang keuangan rumah tangga, mau ada uang laki atau tidak, mau ada uang perempuan atau tidak. Karena jika tidak ada kesepakatan sebelum menikah, maka potensi konflik rumah tangga akan besar.
BalasHapus