Cerita dari Dapur 1: Jangan Takut Memasak, Nak!

 

dapur

Assalamualaikum,

Dulunya saya tidak bisa memasak sama sekali. Alasannya karena memasak itu ribet dan kotor. Belum lagi hasilnya yang belum apa-apa sudah takut tidak enak, takut diejek dan tidak ada yang mau makan. Satu lagi, saya termasuk takut kena omelan ibu. Serem ini!

 

Alasan terakhir ini membuat saya lebih santai ketika sudah berkeluarga. Saya tidak mau anak-anak takut dengan saya lalu kabur dari dapur. Ya, meskipun semua anak saya adalah laki-laki tetap saja urusan dapur menjadi tanggung jawab bersama.

Seringkali saya katakan kepada anak-anak, “Suka atau tidak, capek atau tidak, kalian tetap kudu bisa survive. Salah satunya harus bisa mandiri ketika ibu pergi. Urusan makan gampang, kan. Nggak selamanya yang namanya gampang itu harus beli. Masak sendiri juga gampang. Modalnya cuma niat dan ikhlas.”

Saat ini urusan makan lebih mudah dengan pesan secara online, baik lewat teman-teman yang berjualan makanan maupun aplikasi pesan makanan. Tapi kalau keseringan apa tidak bikin pengeluaran melonjak?

Saya pikir ada baiknya anak-anak memiliki skill memasak yang standarlah. Tidak perlu yang belajar memasak yang ribet dengan segala bumbu dapur. Cukup dengan bumbu andalan bawang merah (atau bawang bombay), bawang putih, merica bubuk (atau cabe) dan garam sudah bisa bikin macam-macam sayur. Kalau mau  lebih gurih bisa ditambahkan saus tiram. Atau pengen manis, tambah  kecap. Ya, tergantung mau masak apa. Yang seperti ini, anak-anak sudah hafal.

bumbu dapur

 

Masalah makan jangan tergantung sepenuhnya kepada saya. Karena bisa jadi saya sakit, atau yang sering terjadi, saya pergi ke luar kota. Mau tak mau mereka harus masak. Karena di kulkas sudah saya siapkan bahan makanan, tinggal mengolah saja. Atau kalau belanja juga gampang, karena ada tukang sayur yang mangkal di depan rumah.

Karena tidak mau ribet, mereka bikin sesuatu ya simple. Misalnya mau menggoreng telur ya langsung digoreng tanpa dikasih apapun. Mau masak pakai bumbu lebih simple lagi, bawang putih goreng dan garam. 

Tips Agar Anak Senang Belajar Memasak

Belajar dari kesalahan sewaktu kecil saya mendukung, melibatkan bahkan kadang sedikit memaksa anak untuk turun ke dapur. Beberapa hal berikut bisa membuat anak “senang” memasak:

1. Jangan takut kotor. Orang tua jangan takut rumahnya kotor. Karena kotor itu biasa banget. Bisa dibersihkan bersama-sama.

2. Memuji hasil masakan anak. Setelah anaknya senang, barulah memberikan saran apa saja kekurangannya dengan bahasa yang sopan.

3. Memberikan kesempatan anak, bisa dengan menyediakan bahan-bahan makanan dan alat masak yang sesuai.

4. Beri tanggung jawab terhadap kebersihan alat masak sesuai dengan kemampuan anak. Setelah dipakai sebaiknya dibersihkan. Kalaupun ada yang rusak tidak perlu marah.

Anak-anak saya itu paling malas dengan cuci piring. Setelah masak berantakan sampai habis sendok, piring, baru berangkat cuci piring. Tapi sebenarnya mereka tahu, cuma diam saja. Menunggu moodnya balik atau tidak capek lagi.

Masalah barang pecah atau rusak, saya berusaha untuk tetap kalem. Ada teman cerita ketika si mbak ART memecahkan blender lalu dipecat. Ya, bagaimana ya, kadang kita sendiri merasa kok ya eman. Bagaimana kalau itu terjadi kepada anak kita? Mau marah? Toh, sudah rusak.  Kemudian ingat bahwa barang-barang itu juga punya jatah waktu bersama kita. Tidak selamanya awet. Kalau tidak pecah ya rusak.

Pernah saya kaget ketika si bungsu memcahkan gelas dan mangkuk sekaligus. Awalnya karena saya minta membantu mengambil piring, dsb yang sudah dicuci dan menaruh di rak piring. Eh, ternyata tangannya licin. Mangkuk terlepas dari tangannya dan saya menjerit, kaget. Anaknya juga kaget dan merasa bersalah. Lalu menangis di kamar.

alat makan

 

Saya merasa iba. Dikira ibu marah juga. Untung kakak-kakak sigap. Mereka membantu membersihkan pecahan beling dan juga menenangkan adiknya. Support dari keluarga memang penting agar anak tidak takut dan ragu. Pekerjaan seperti akan berlangsung terus. Saya tidak mau anak ini trauma dan takut membantu ibu.

Baru-baru ini, si kakak nomor dua saya minta menuang air galon. Sayangnya kurang pas sehingga galon terpental dan pecah, air meluber membanjiri dapur. Kebayang dapur banjir itu repotnya seperti apa. Ya, mau bagaimana lagi. Tinggal tanggung jawab saja membersihkan air. Kakaknya membantu menuang sisa air dan bersih-bersih. Saya juga ikut bersih-bersih.

Dulu saya takut sekali ketika merusak barang di rumah. yang sering itu piring, gelas, cangkir pecah. Alat makan seperti ini memang rentan pecah. Seingat saya, sudah hati-hati. Bahkan ketika sedang barang pecah belah itu ibu sudah membunyikan alarm, disuruh fokus, hati-hati. Entah mengapa, ada saja masanya barang tersebut meleset dari tangan. Terjun bebas ke lantai. Belum lagi saya suka kacau membawa barang dari tempat cucian yang berada di luar dapur. Di luar ya. Kalau dibawa dua-dua kok ya lama. Bawa banyak malah pecah.

Bahkan membersihkan meja makanpun saya takut. Takut dimarahi ibu karena memindahkan barang. Maksudnya biar rapi. maksud saya ternyata berbeda dengan ibu. Akibat diomeli ini, saya pernah kabur tapi cuma sebentar kok, sejam dua jamlah dan balik lagi. Konyol memang. Ini kan bukan kabur! Tapi ketakutan mengalahkan segalanya. Mau ngomong apa ketika merusakkan barang. Mulut rasanya terkunci rapat. Saya mengaku salah dan tidak menyalahkan orang tua. Bagaimanapun latar belakang seseorang itu memiliki pengaruh terhadap cara berpikir dan berpendapat. Saya memaklumi ibu.

***

Saya dan suami sepakat untuk tidak marah karena terjadi ketidaksenagajaan seperti ini. Mungkin beberapa orang seperti teman saya merasa rugi ketika ada yang teledor menggunakan barang-barang di rumah. Tapi kembali lagi, memberikan kepercayaan untuk menggunakan barang dengan baik akan meningkatkan rasa percaya diri anak. Barang yang rusak kalau bisa diperbaiki ya diperbaiki, tidak perlu marah atau dendam. Kalau tidak, ya apes saja. Mungkin tandanya kita harus membeli yang baru. Karena memang tak ada yang abadi.

Nah, teman-teman ada cerita menarik dari dapurnya? Cerita dong di kolom komentar.

^_^

 

 

 

Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

3 Komentar untuk "Cerita dari Dapur 1: Jangan Takut Memasak, Nak!"

  1. sebenernya aku tuh pengen bisa mondar mandir di dapur kayak acara tv begitu mbak, cuman kalau aku di dapur bantuin ibuku masak, yang ada malah dikira mengganggu.
    dulu waktu nge-kos masih bisa utak atik resep masakan, sekarang palingan bikin roti bakar aja hehe

    BalasHapus
  2. Aku bisa masak sejak punya suami hahahha, sebelumnya aku ga bisa, sejak merantau dan jd anak kos diki2 belajar masak kalau weekend hahahah.

    Sampe skrg lebih pinter suami kalau urusan masak, tp paksu ttep pengennya aku yg masak, sampe akhirnya anak udah MPASI, aku semangat bgt masaknya hahaha

    BalasHapus
  3. Soal malas mencuci peralatan setelah memasak itu memang betul, sih. Aku sendiri mengalaminya. Hehe. Alasannya karena habis memasak itu capek. Apalagi masaknya di dapur kos, yang notabene dapurnya dipake bersama.
    Jadi setelah makanan mateng, bawaannya pengin kabur dari dapur karena takut tetangga (sesama anak kos) ada yang mau pake dapurnya untuk masak. Entah itu masak mie, telur atau nugget.
    Walaupun malas, bukan berarti peralatannya enggak dicuci, ya. Peralatan masak dan makannya tetap dicuci, hanya waktunya yang berbeda. Kalau waktu masak itu siang hari, maka waktu mencucinya adalah malam hari. Persis setelah peralatan makan dan minumnya selesai dipakai. Biar sekalian, gitu. hehe

    BalasHapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel