Indonesia Makin Digital Dimulai dari Rumah
Rabu, 26 Oktober 2016
14 Komentar
Sebagai
seorang ibu saya seringkali khawatir jika anak-anak bermain di luar terlalu
lama. Misalnya saja sudah pamit sejak pagi ke rumah temannya. Saya tunggu
hingga lepas dhuhur belum juga pulang. Apalagi jika saya tidak memiliki nomor
telepon yang bisa dihubungi.
Saya
tak ingin mengulang kejadian seperti ini. Waktu itu si anak pamit hendak
belajar kelompok ke rumah teman. Sebenarnya saya bersedia membantu mengerjakan
tugas sekolahnya, namun dia merasa lebih senang bersama teman-temannya. Yeah,
namanya juga anak-anak kalau sedang berkumpul dengan teman-temannya pasti
senang. Katanya, kalau belajar bersama teman-teman cepat selesai. Faktanya,
belajar hanya sebentar tapi bermain lama.
Dalam
keadaan gelisah menanti kepulangan si anak, saya tetap berdoa semoga baik-baik
saja. Semoga tidak bersepeda yang tidak jelas tujuannya. Saya menyesal tidak menanyakan nomor telepon orang tuanya.
Saat itu saya ingin segera ke rumah temannya. Semua data siswa ada di buku panduan sekolah. Tapi saya kurang yakin rencana ini bakal berbuah manis. Saya tak ingin si anak merasa tak nyaman dengan kedatangan saya. Mungkin dia masih asyik bersama teman-temannya, atau bahkan dia sudah pergi. Saya merasa begitu kacau hari itu.
Oh
ya, anak saya ini tidak membawa handphone. Di sekolahpun tidak diijinkan. Segala
sesuatu yang berhubungan dengan anak bisa didiskusikan bersama wali kelasnya. Cukup
orang tua dan guru-gurunya yang berkomunikasi.
Memiliki
handpone itu bukan masalah gaptek atau tidak. Apalagi demi gengsi. Bagi saya, ini
adalah masalah tanggung jawab moral terhadap generasi penerus bangsa. Apa yang
bisa saya pertanggung jawabkan jika anak terbiasa berinternet tanpa pengawasan.
Apakah si anak ini bisa dipercaya seperti keinginan kami, orang tuanya? Apakah dia bisa bertanggung jawab dengan baik? Apakah dia mengerti batas-batas dalam mengakses internet?
Sudah
menjadi kebiasaan kami bahwa penggunaan handphone untuk anak-anak dibatasi. Saya
ingin apapun yang berhubungan dengan handphone dan internet tetap berada dalam
pengawasan orang tua.
Anak
saya ini masih duduk di bangku sekolah dasar. Masih perlu bimbingan dalam memilih
konten yang sesuai dengan usianya. Seperti anak-anak seusianya, dia gemar
bermain game, nonton film dan melihat gambar-gambar mainan kesukaannya. Kalau cuma sebatas itu saja, tapi kalau tertarik untuk melihat yang tak pantas?
Kemudian,
dia datang dalam keadaan lelah dan gelisah. Saya menyambutnya di depan pintu rumah. Saya
bertanya tapi si anak hanya diam saja. Dia merasa bersalah karena tidak pulang
sesuai janjinya. Ternyata dia bersama teman-temannya belajar di warnet. What?
Jika
mendengar kata “warnet” kok tingkat kekhawatiran saya naik drastis. Warnet
mana? Apa yang kamu lakukan disana? Mencari apa sih? Kenapa tidak di rumah
saja?
Pertanyaan
yang bertubi-tubi itu hanya dijawab dengan tatapan kosong. Apakah salah dengan
pertanyaan saya? Tidak! Wajar bukan jika saya khawatir? Wajar jika saya
berpikiran buruk? Tidak! Segala macam prasangka hanya akan membuat hati saya
terluka karena tidak bisa mengontrol emosi.
Setelah
keadaan membaik dia bercerita kepada ayahnya. Tidak dengan saya! Tidak apalah,
yang penting dia mau bercerita dulu. Menjelaskan sebab tidak menepati janji
untuk pulang.
Saat
itu demi mengerjakan tugas dari sekolah, anak-anak memutuskan pergi ke warnet
saja. Soal-soal yang diberikan gurunya mewajibkan mereka untuk mencari di internet. Di buku sekolah, jelas tidak ada.
Yang jelas berada di warnet tidak menyelesaikan tugas sekolah. Bahkan gara-gara pergi ke warnet, temannya kehilangan sepeda. Penjaga warnet tidak mau tahu. Tentu saja orang tua si anak tidak begitu saja percaya. Dan urusan sepeda hilang inilah yang memakan waktu cukup lama sehingga anak saya terlambat pulang.
Yang jelas berada di warnet tidak menyelesaikan tugas sekolah. Bahkan gara-gara pergi ke warnet, temannya kehilangan sepeda. Penjaga warnet tidak mau tahu. Tentu saja orang tua si anak tidak begitu saja percaya. Dan urusan sepeda hilang inilah yang memakan waktu cukup lama sehingga anak saya terlambat pulang.
Argh...akhirnya saya bisa menarik nafas lega! Saya mendekatinya dan meminta
maaf telah berprasangka buruk. Tapi sudahlah. Urusan ke warnet sudah selesai.
Selanjutnya saya bertanya, "Mengapa tidak di rumah kita saja? Bisa internetan
disini. Gratis!"
“Temanku
nggak mau. Mamanya menginginkan di rumahnya saja,” jawabnya.
Pada
dasarnya orang tua lebih suka anak-anak belajar kelompok di rumahnya. Atapun mengajak teman-temannya bermain disana. Saya
yakin banyak orang tua yang sepakat dengan saya. Beberapa kali saya mendengar keluhan orang tua yang anaknya bermain dan tidak kunjung pulang. Lalu menelpon teman-temannya hingga mencarinya hingga ketemu.
Dunia anak adalah bermain. Sedikit demi sedikit belajar bertanggung jawab. Jadi, dia tetap boleh bermain dengan waktu yang disepakati bersama. Dimanapun, asal tujuannya jelas dan ijin dahulu sehingga orang tua tidak gelisah. Mau belajar kelompok, mau bermain, terserah. Selama masih bisa diawasi, selama itu pula hati orang tua merasa tentram.
Dunia anak adalah bermain. Sedikit demi sedikit belajar bertanggung jawab. Jadi, dia tetap boleh bermain dengan waktu yang disepakati bersama. Dimanapun, asal tujuannya jelas dan ijin dahulu sehingga orang tua tidak gelisah. Mau belajar kelompok, mau bermain, terserah. Selama masih bisa diawasi, selama itu pula hati orang tua merasa tentram.
Sejak
itu, jika ada tugas kelompok saya memintanya mengerjakan di rumah saja. Kalaupun
tetap di rumah temannya saya pastikan sudah memiliki nomor yang bisa dihubungi.
Karena anak saya ini hobi bersepeda, kadang saya khawatir juga. Bagaimana jika
di jalan sedang ramai? Atau berubah rencana, dari satu teman ke rumah teman
lainnya? Kalau tidak sesuai janji kepulangannya tinggal telepon saja. Gampang
bukan?
Jika
tugasnya individu sih mudah. Bisa dikerjakan sendiri meskipun sedang
bepergian. Nah, jika sedang keluar kota demi menjenguk kakaknya yang mondok
ataupun ikut ayahnya bekerja, tugas-tugas dari sekolah tetap dibawa. Dikerjakan
disana. Kami tak khawatir dengan akses internet.
Untuk jangkauan yang luas dan sinyal kencang saya setia dengan Telkomsel. Buktinya, ketika saya sedang di luar kota atau sedang hiking mencari air terjun, Telkomsel yang paling bisa diandalkan. Dengan Telkomsel perjalanan dan liburan saya lancar jaya.
Well,
mari mewujudkan #IndonesiaMakinDigital mulai dari rumah kita. Dengan bimbingan
yang baik dari orang tua dan sekolah, saya percaya, generasi penerus bangsa
ini mampu menggunakan internet secara bijak. Mulailah dari keluarga kita. Mulailah
dengan hal-hal yang dekat dengan kehidupan anak-anak. Semoga!
![]() |
Sumber: twitter @simPati |
setuju mbak, di era serba digital seperti ini, sebaiknya kita menghadirkan internet untuk fasilitas belajar anak.. supaya internet tidak disalah gunakan, kita kan bisa memasang beberapa apps yang dapat membantu proteksi dalam berseluncur di internet, tentunya sambil kita bimbing mereka untuk menggunakan internet seperlunya saja sesuai kebutuhan.. :)
BalasHapusAnak-anak kan mudah penasaran ya. Tetap kudu membimbing mereka dalam mengakses internet.
HapusAku juga gitu mba terlebih anakku tipe auditori dan visual lewat nyanyian dy langsung nangkep makanya aku pake internet sebagai sarana untuk belajar :)
BalasHapusYang penting aman buat anak-anak ya.
HapusAku pernah bahas ini juga di blog, Mba. Tentang pengenalan internet untuk anak.
BalasHapusIntinya kita nggak mungkin membuat anak kita steril dari internet, tapi kita bisa lho menjadikan anak kita imun alias terlindungi. Tentu dengan memberikan pengertian ke si kecil tentang manfaat dan mudharat si internet ini.
Makasih sharingnya, mba.
Hapusiya sih, aku juga ikutan parno gara-gara sering baca berita tidak baik tentang penculikan anaklah, pelecehan, dan sebagainya. Serem serem. Jadi kalau anak pulang telat tuh.. duh.. dag dig dur der rasanya
BalasHapusAnak saya ini hobi main sepeda. Saya sering khawatir meski dia sudah pamit. Khawatir perginya jauh.
Hapustelkomsel memang paling bisa diandalkan sinyalnya ya mbak :D
BalasHapusIya, mba. Sinyal kuat hingga ke pelosok pedesaan, mba.
HapusKalo aku jadi mbak, mungkin juga akan sama ketika dihadapkan anak nggak kunjung pulang dari belajar kelompok. Pas telat pulang, ditanyain ternyata pergi ke warnet. Denger warnet saja udah rasanya negatif thinking.
BalasHapusTapi beruntunglah anak mbak mau terbuka. Dia tidak menutupi kalo pergi ke warnet, dan menjelaskan kenapa pergi kesana dan alasan dia telat pulang, meski ceritanya dengan ayahnya. Jarang lho ada anak yang mau terbuka. Kadang karena takut dimarahin akhirnya mereka bohong. :)
Dia merasa bersalah dan takut dimarahi. Tapi kalau sudah mau mengaku, rasanya saya tak perlu marah ya.
Hapusiya, lebih khawatir kalu ke warnet ya, Mba. Jadi sesekali aku kasih pinjem hp ku, blm aku kasih hp sendiri sih. Biar gampang ngawasinnya
BalasHapusKalau ke warnet orang tua nggak bisa ngawasi. Modal kepercayaan saja.
Hapus