Indonesia Makin Digital Dimulai dari Rumah




Sebagai seorang ibu saya seringkali khawatir jika anak-anak bermain di luar terlalu lama. Misalnya saja sudah pamit sejak pagi ke rumah temannya. Saya tunggu hingga lepas dhuhur belum juga pulang. Apalagi jika saya tidak memiliki nomor telepon yang bisa dihubungi.


Saya tak ingin mengulang kejadian seperti ini. Waktu itu si anak pamit hendak belajar kelompok ke rumah teman. Sebenarnya saya bersedia membantu mengerjakan tugas sekolahnya, namun dia merasa lebih senang bersama teman-temannya. Yeah, namanya juga anak-anak kalau sedang berkumpul dengan teman-temannya pasti senang. Katanya,  kalau belajar bersama teman-teman cepat selesai. Faktanya, belajar hanya sebentar tapi  bermain lama.

Dalam keadaan gelisah menanti kepulangan si anak, saya tetap berdoa semoga baik-baik saja. Semoga tidak bersepeda yang tidak jelas tujuannya. Saya menyesal tidak menanyakan nomor telepon orang tuanya. 

Saat itu saya ingin segera ke rumah temannya. Semua data siswa ada di buku panduan sekolah. Tapi saya kurang yakin rencana ini bakal berbuah manis. Saya tak ingin si anak merasa tak nyaman dengan kedatangan saya. Mungkin dia masih asyik bersama teman-temannya, atau bahkan dia sudah pergi. Saya merasa begitu kacau hari itu.

Oh ya, anak saya ini tidak membawa handphone. Di sekolahpun tidak diijinkan. Segala sesuatu yang berhubungan dengan anak bisa didiskusikan bersama wali kelasnya. Cukup orang tua dan guru-gurunya yang berkomunikasi.

Memiliki handpone itu bukan masalah gaptek atau tidak. Apalagi demi gengsi. Bagi saya, ini adalah masalah tanggung jawab moral terhadap generasi penerus bangsa. Apa yang bisa saya pertanggung jawabkan jika anak terbiasa berinternet tanpa pengawasan. Apakah si anak ini bisa dipercaya seperti keinginan kami, orang tuanya? Apakah dia bisa bertanggung jawab dengan baik? Apakah dia mengerti batas-batas dalam mengakses internet?

Sudah menjadi kebiasaan kami bahwa penggunaan handphone untuk anak-anak dibatasi. Saya ingin apapun yang berhubungan dengan handphone dan internet tetap berada dalam pengawasan orang tua.

Anak saya ini masih duduk di bangku sekolah dasar. Masih perlu bimbingan dalam memilih konten yang sesuai dengan usianya. Seperti anak-anak seusianya, dia gemar bermain game, nonton film dan melihat gambar-gambar mainan kesukaannya. Kalau cuma sebatas itu saja, tapi kalau tertarik untuk melihat yang tak pantas?

Kemudian, dia datang dalam keadaan lelah dan gelisah. Saya menyambutnya di depan pintu rumah. Saya bertanya tapi si anak hanya diam saja. Dia merasa bersalah karena tidak pulang sesuai janjinya. Ternyata dia bersama teman-temannya belajar di warnet. What?

Jika mendengar kata “warnet” kok tingkat kekhawatiran saya naik drastis. Warnet mana? Apa yang kamu lakukan disana? Mencari apa sih? Kenapa tidak di rumah saja?

Pertanyaan yang bertubi-tubi itu hanya dijawab dengan tatapan kosong. Apakah salah dengan pertanyaan saya? Tidak! Wajar bukan jika saya khawatir? Wajar jika saya berpikiran buruk? Tidak! Segala macam prasangka hanya akan membuat hati saya terluka karena tidak bisa mengontrol emosi.

Setelah keadaan membaik dia bercerita kepada ayahnya. Tidak dengan saya! Tidak apalah, yang penting dia mau bercerita dulu. Menjelaskan sebab tidak menepati janji untuk pulang.

Saat itu demi mengerjakan tugas dari sekolah, anak-anak memutuskan pergi ke warnet saja. Soal-soal yang diberikan gurunya mewajibkan mereka untuk mencari di internet. Di buku sekolah, jelas tidak ada. 

Yang jelas berada di warnet tidak menyelesaikan tugas sekolah. Bahkan gara-gara pergi ke warnet, temannya kehilangan sepeda. Penjaga warnet tidak mau tahu. Tentu saja orang tua si anak tidak begitu saja percaya. Dan urusan sepeda hilang inilah yang memakan waktu cukup lama sehingga anak saya terlambat pulang.

Argh...akhirnya saya bisa menarik nafas lega! Saya mendekatinya dan meminta maaf telah berprasangka buruk. Tapi sudahlah. Urusan ke warnet sudah selesai. Selanjutnya saya bertanya, "Mengapa tidak di rumah kita saja? Bisa internetan disini. Gratis!" 

“Temanku nggak mau. Mamanya menginginkan di rumahnya saja,” jawabnya.

Pada dasarnya orang tua lebih suka anak-anak belajar kelompok di rumahnya. Atapun mengajak teman-temannya bermain disana. Saya yakin banyak orang tua yang sepakat dengan saya. Beberapa kali saya mendengar keluhan orang tua yang anaknya bermain dan tidak kunjung pulang. Lalu menelpon teman-temannya hingga mencarinya hingga ketemu.

Dunia anak adalah bermain. Sedikit demi sedikit belajar bertanggung jawab. Jadi, dia tetap boleh bermain dengan waktu yang disepakati bersama. Dimanapun, asal tujuannya jelas dan ijin dahulu sehingga orang tua tidak gelisah. Mau belajar kelompok, mau bermain, terserah. Selama masih bisa diawasi, selama itu pula hati orang tua merasa tentram.

Sejak itu, jika ada tugas kelompok saya memintanya mengerjakan di rumah saja. Kalaupun tetap di rumah temannya saya pastikan sudah memiliki nomor yang bisa dihubungi. Karena anak saya ini hobi bersepeda, kadang saya khawatir juga. Bagaimana jika di jalan sedang ramai? Atau berubah rencana, dari satu teman ke rumah teman lainnya? Kalau tidak sesuai janji kepulangannya tinggal telepon saja. Gampang bukan?

Jika tugasnya individu sih mudah. Bisa dikerjakan sendiri meskipun sedang bepergian. Nah, jika sedang keluar kota demi menjenguk kakaknya yang mondok ataupun ikut ayahnya bekerja, tugas-tugas dari sekolah tetap dibawa. Dikerjakan disana. Kami tak khawatir dengan akses internet.



Untuk jangkauan yang luas dan sinyal kencang saya setia dengan Telkomsel. Buktinya, ketika saya sedang di luar kota atau sedang hiking mencari air terjun, Telkomsel yang paling bisa diandalkan. Dengan Telkomsel perjalanan dan liburan saya lancar jaya.

Well, mari mewujudkan #IndonesiaMakinDigital mulai dari rumah kita. Dengan bimbingan yang baik dari orang tua dan sekolah, saya percaya, generasi penerus bangsa ini mampu menggunakan internet secara bijak. Mulailah dari keluarga kita. Mulailah dengan hal-hal yang dekat dengan kehidupan anak-anak. Semoga!

Sumber:  twitter @simPati

Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

14 Komentar untuk "Indonesia Makin Digital Dimulai dari Rumah"

  1. setuju mbak, di era serba digital seperti ini, sebaiknya kita menghadirkan internet untuk fasilitas belajar anak.. supaya internet tidak disalah gunakan, kita kan bisa memasang beberapa apps yang dapat membantu proteksi dalam berseluncur di internet, tentunya sambil kita bimbing mereka untuk menggunakan internet seperlunya saja sesuai kebutuhan.. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Anak-anak kan mudah penasaran ya. Tetap kudu membimbing mereka dalam mengakses internet.

      Hapus
  2. Aku juga gitu mba terlebih anakku tipe auditori dan visual lewat nyanyian dy langsung nangkep makanya aku pake internet sebagai sarana untuk belajar :)

    BalasHapus
  3. Aku pernah bahas ini juga di blog, Mba. Tentang pengenalan internet untuk anak.
    Intinya kita nggak mungkin membuat anak kita steril dari internet, tapi kita bisa lho menjadikan anak kita imun alias terlindungi. Tentu dengan memberikan pengertian ke si kecil tentang manfaat dan mudharat si internet ini.

    BalasHapus
  4. iya sih, aku juga ikutan parno gara-gara sering baca berita tidak baik tentang penculikan anaklah, pelecehan, dan sebagainya. Serem serem. Jadi kalau anak pulang telat tuh.. duh.. dag dig dur der rasanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Anak saya ini hobi main sepeda. Saya sering khawatir meski dia sudah pamit. Khawatir perginya jauh.

      Hapus
  5. telkomsel memang paling bisa diandalkan sinyalnya ya mbak :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, mba. Sinyal kuat hingga ke pelosok pedesaan, mba.

      Hapus
  6. Kalo aku jadi mbak, mungkin juga akan sama ketika dihadapkan anak nggak kunjung pulang dari belajar kelompok. Pas telat pulang, ditanyain ternyata pergi ke warnet. Denger warnet saja udah rasanya negatif thinking.

    Tapi beruntunglah anak mbak mau terbuka. Dia tidak menutupi kalo pergi ke warnet, dan menjelaskan kenapa pergi kesana dan alasan dia telat pulang, meski ceritanya dengan ayahnya. Jarang lho ada anak yang mau terbuka. Kadang karena takut dimarahin akhirnya mereka bohong. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dia merasa bersalah dan takut dimarahi. Tapi kalau sudah mau mengaku, rasanya saya tak perlu marah ya.

      Hapus
  7. iya, lebih khawatir kalu ke warnet ya, Mba. Jadi sesekali aku kasih pinjem hp ku, blm aku kasih hp sendiri sih. Biar gampang ngawasinnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau ke warnet orang tua nggak bisa ngawasi. Modal kepercayaan saja.

      Hapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel