Kisah Liburan
Sabtu, 26 November 2016
6 Komentar
Ustadzah Hani bertanya tentang cita-cita anak-anak. Alfi menjawab ingin jadi
dokter. Cita-citanya masih sama seperti dulu. Karena pekerjaan seorang dokter
itu baik, menolong orang sakit, memberi resep obat. Ada juga yang langsung
memberikan obat. Ada juga yang suka melarang makan ini itu sampai sehat lagi.
Kalau
Rara ingin jadi koki hebat. Seperti mamanya. Dia ingin sekolah memasak di luar
negeri. Keren ya!
Nis
lain lagi, dia ingin jadi guru. Karena guru itu berhati mulia. Dia mengajar
murid-murid dengan sabar, termasuk anak-anak nakal dan bandel. Yang suka bikin
kegaduhan di dalam dan di luar kelas. Yang suka berkelahi dengan
teman-temannya. Pokoknya pekerjaan seorang guru itu mengajari anak-anak supaya
pintar dan baik.
Teman-teman
lainnya ada yang ingin jadi pilot, tentara, polisi, profesor, hafidz dan
ilmuwan. Seluruh murid tertawa bahagia. Ustadzah Hani melangitkan cita-cita
semua muridnya.
Alfi
membayangkan seperti apa jadinya kalau semua temannya sudah besar nanti. Sudah
bekerja. Tercapai cita-citanya. Tubuh
mereka sudah besar dan pasti banyak yang berubah.
Tak
terasa kelas 1 sudah berakhir, semua anak berharap mendapat nilai terbaik.
Meraih prestasi yang diinginkan. Demikian juga harapan setiap orang tua.
Bunda
cukup bahagia dengan nilai rapor Alfi. Meskipun tidak ada sistem rangking tapi
nilai rapor Alfi adalah yang tertinggi di kelasnya. Bunda tak henti-hentinya
mengucap syukur.
Ada
berita yang mengejutkan buat anak-anak kelas 1C. Pada penerimaan rapor itu mama
Rara sekaligus pamit. Alfi yang ikut menemani bunda ikut terkejut juga.
“Rara
mau kemana?” selidiknya.
“Ikut
papa, pindah,” jawab Rara datar.
Mama
Rara sekaligus mengurus surat pindah. Meminta maaf kepada ustadzah dan
mama-mama yang ikut hadir disana.
Sejak
itu Alfi merasa sangat kehilangan seorang teman baiknya. Padahal rumahnya
paling dekat. Dan dia bakal merindukan kue-kue lezat buatan mama Rara.
“Apakah
kamu akan kesini lagi?” Alfi masih berharap bisa bertemu dengan Rara. Lalu
bersepeda bersama. Tidak perlu takut dimarahi ustadzah, karena mereka sudah
memasuki masa liburan.
Rara
mengangkat bahu. Sorot matanya datar. Ada sesuatu yang masih mengganjal di
hatinya. Dia akan pindah ke tempat baru yang belum dikenalnya. Sekolah baru,
teman baru, tetangga baru. Semuanya perlu waktu untuk saling kenal.
Alfi merasa baru saja mengenal Rara. Kepindahan Rara pasti membuatnya kehilangan teman bermain sekaligus. Lalu dengan siapa dia akan menghabiskan waktu di sore. Kak Amel jelas tak bisa diajak bermain. Dia hanya membuat masalah saja.
Alfi berpikir keras mencari pengganti Rara. Sulit. Teman sekolahnya tak ada yang ebih dekat lagi. Hanya Nis. Tapi dia sering les. Waktunya terbatas. Belum lagi kalau dilarang mamanya.
Alfi merasa baru saja mengenal Rara. Kepindahan Rara pasti membuatnya kehilangan teman bermain sekaligus. Lalu dengan siapa dia akan menghabiskan waktu di sore. Kak Amel jelas tak bisa diajak bermain. Dia hanya membuat masalah saja.
Alfi berpikir keras mencari pengganti Rara. Sulit. Teman sekolahnya tak ada yang ebih dekat lagi. Hanya Nis. Tapi dia sering les. Waktunya terbatas. Belum lagi kalau dilarang mamanya.
***
Liburan
ini Alfi tidak ada kegiatan apapun. Sebenarnya dia ingin ikut menemani bunda
bekerja. Tapi bunda menginginkan agar di rumah saja, menemani kak Amel.
Alfi
merajuk. Dia rela melakukan apapun asal bisa ikut bunda. Dia ingin cerita
liburan. Ya, cerita seru ketika anak-anak menghabiskan liburan tidak di rumah. Dimana
saja yang penting tidak di rumah.
Seperti
Nis, yang selalu pulang kampung setiap liburan semester. Bertemu dengan
keluarga besarnya. Bermain di sawah dan ladang. Memberi makan hewan ternak.
Lalu semua anak mendengarkan semua cerita liburannya. Sampai selesai. Semua
ikut merasakan aura kebahagiaan cerita liburan Nis. Dan Alfi ingin cerita
liburan yang seru!
Betapa
membosankan liburan hanya dihabiskan di rumah. Bertemu bunda, kak Amel nenek
dan kakek sudah setiap hari. Bermain sepeda juga sudah sehari-hari. Beres-beres
rumah sudah.
Pergi ke suatu tempat yang indah memang asyik. Tapi bunda tak punya uang banyak. Alfi harus tahu. Ke sawah, ladang, tidak ada di dekat sini. Di desa seperti Nis, tapi di rumah siapa.
Satu-satunya tempat berbeda adalah di pusat grosir tempat bunda bekerja. Teman-temannya pasti ada yang pernah belanja kesana. Tapi kalau bekerja? Ehm...Alfi yakin tak seorangpun dari mereka yang mau bersusah payah disana. Bekerja adalah hal lain. Buat anak-anak dimanapun yang penting bukan di rumah adalah tempat piknik.
Alfi memikirkan rencananya. Bunda harus setuju. Tidak mungkin berada di rumah sepanjang hari. Bersama kak Amel yang membosankan dan nenek yang cerewet.
Rencana awal itu ditentang mentah-mentah oleh bunda. Apalagi nenek. "Ikut ke tempat kerja bunda hanya akan menyusahkan saja. Anak kecil tahu apa. Paling cuma lari-lari. Mengganggu saja. Di rumah saja sama nenek. Nonton film kartun. Liburan biasanya banyak film anak."
Alfi melengos. Tapi nenek masih saja bicara. "Pokoknya nggak usah ikut!"
Tatapan marah sang nenek membuat hati Alfi panas. "Aku mau ikut bunda!"
Suara Alfi melengking, menembus batas kesabaran nenek. Sahut menyahut umpatan tak terelakkan lagi. Pagi yang kacau mengintai mereka. Bunda tak suka mendengarkan ataupun terlibat dalam debat ini. Anak kecil tak mau menyerah. Dia seolah merong-rong telinga bunda dan nenek. Tidak berhenti.
Bunda ingin sekali mengakhiri perdebatan tentang ini. Tapi Alfi selalu saja memunculkan masalah yang sama. Setiap pagi, menjelang makan pagi. Lalu nenek seperti biasanya akan terus saja membuat narasi yang panjang seolah-olah Alfi yang salah.
Pembicaraan tak sehat itu jika ada emosi yang menggelora. Membuat dirinya dan orang lain yang terlibat ingin menang. Tak peduli apapun alasannya. Yang penting kehendaknya harus dituruti. Dan bunda tak sanggup lagi mengacaukan makan pagi yang susah payah dibuatnya.
Pergi ke suatu tempat yang indah memang asyik. Tapi bunda tak punya uang banyak. Alfi harus tahu. Ke sawah, ladang, tidak ada di dekat sini. Di desa seperti Nis, tapi di rumah siapa.
Satu-satunya tempat berbeda adalah di pusat grosir tempat bunda bekerja. Teman-temannya pasti ada yang pernah belanja kesana. Tapi kalau bekerja? Ehm...Alfi yakin tak seorangpun dari mereka yang mau bersusah payah disana. Bekerja adalah hal lain. Buat anak-anak dimanapun yang penting bukan di rumah adalah tempat piknik.
Alfi memikirkan rencananya. Bunda harus setuju. Tidak mungkin berada di rumah sepanjang hari. Bersama kak Amel yang membosankan dan nenek yang cerewet.
Rencana awal itu ditentang mentah-mentah oleh bunda. Apalagi nenek. "Ikut ke tempat kerja bunda hanya akan menyusahkan saja. Anak kecil tahu apa. Paling cuma lari-lari. Mengganggu saja. Di rumah saja sama nenek. Nonton film kartun. Liburan biasanya banyak film anak."
Alfi melengos. Tapi nenek masih saja bicara. "Pokoknya nggak usah ikut!"
Tatapan marah sang nenek membuat hati Alfi panas. "Aku mau ikut bunda!"
Suara Alfi melengking, menembus batas kesabaran nenek. Sahut menyahut umpatan tak terelakkan lagi. Pagi yang kacau mengintai mereka. Bunda tak suka mendengarkan ataupun terlibat dalam debat ini. Anak kecil tak mau menyerah. Dia seolah merong-rong telinga bunda dan nenek. Tidak berhenti.
Bunda ingin sekali mengakhiri perdebatan tentang ini. Tapi Alfi selalu saja memunculkan masalah yang sama. Setiap pagi, menjelang makan pagi. Lalu nenek seperti biasanya akan terus saja membuat narasi yang panjang seolah-olah Alfi yang salah.
Pembicaraan tak sehat itu jika ada emosi yang menggelora. Membuat dirinya dan orang lain yang terlibat ingin menang. Tak peduli apapun alasannya. Yang penting kehendaknya harus dituruti. Dan bunda tak sanggup lagi mengacaukan makan pagi yang susah payah dibuatnya.
Bunda
menyerah. Awal liburan ini boleh ikut bunda. Rencana cuma sehari tapi akhirnya
sampai seminggu juga. Setiap bangun tidur Alfi selalu mendekati bunda.
Merayunya sampai air matanya menetes di baju bunda.
“Baiklah,
Alfi boleh ikut.” Kata-kata bunda membuatnya gembira. Tangisannya berubah
menjadi derai tawa yang nyaring.
Alfi
mendengarkan semua perintah bunda. Suasana musim liburan di tempat bunda
bekerja sedikit berbeda. Di saat seperti ini biasanya banyak orang yang ingin jalan-jalan.
Sekaligus belanja di pusat grosir. Makanya bunda mempersiapkan stok barang
lebih banyak dari hari-hari biasa.
Beruntung
di kiosnya bunda sudah ada dua pelayan yang membantu. Bunda tidak perlu
khawatir meninggalkan kios sebentar. Mereka baik dan mau ngobrol dengan Alfi.
Bekerja
itu capek. Alfi membantu mengeluarkan baju-baju yang dipajang di depan kios.
Kadang juga mengambilkan pesanan pelanggan. Belajar membungkus baju. Belum bisa
rapi seperti mbak-mbak disini.
Awalnya
Alfi pusing melihat orang lalu lalang. Setelah dua hari Alfi mulai terbiasa
dengan keramaian. Suasana hiruk pikuk antara teriakan antara penjual dan
pembeli, juga suara musik keras-keras.
Buat
orang dewasa mungkin tidak capek. Bekerja bisa menyenangkan. Alfi melihat wajah
bunda cerah ketika menerima uang dari orang-orang yang datang dan membeli
barangnya.
Bunda
selalu ramah menyapa mereka, menanyakan barang apa yang diinginkan. Lalu bunda
mengajak mereka melihat-lihat contoh barangnya. Kalau cocok bunda akan
mengambilkan di tumpukan barang.
Kios
bunda memang kecil. Bunda menyewa 1 kios saja. Padahal menurut Alfi sih terlalu
sempit. Hanya bisa dipakai untuk duduk-duduk saja. Mau tiduran juga tidak bisa.
Mau sholat ya mesti di mushola. Tapi kadang si mbak lebih suka sholat diantara
tumpukan baju. Katanya yang penting bersih.
Alfi
mengangguk saja.
Dua
hari ikut bekerja bunda lumayan juga. Lumayan capek, dan jenuh. Kalau sudah
begini dia akan jalan-jalan sepanjang lorong. Bunda meminta salah satu
pelayannya menemaninya.
Alfi
berlari-lari kecil sepanjang lorong. Kadang menabrak orang, kadang menyerempet
barang dagangan di depan kios-kios. Cuma baju-baju yang melambai dan pelayannya
gusar melihat tingkah Alfi.
Benar
kata bunda, ramai sekali. Sebagian besar adalah orang dewasa. Langkahnya
berhenti di depan kios boneka. Ada macam-macam boneka, mulai dari yang kecil
untuk gantungan kunci hingga boneka setinggi anak-anak. Alfi menyebutnya boneka
raksasa.
Dari
depan kios ini, Alfi bisa membelai rambut boneka gadis kecil. Rambut palsu
warna hitam pekat tetap saja menarik. Lucu. Sudah berapa lama tidak mainan
boneka?
“Mau
yang ini?” Tiba-tiba saja seorang wanita muda keluar dari tumpukan boneka.
Alfi
menggeleng.
“Yang
mana?”
Alfi
menengok ke belakang. “Mbak!” Seketika dia sadar telah kehilangan mbak. Lalu
bagaimana jalan pulang? Mendadak rasa takut menyergap hatinya. “Bagaimana ini?
Mbak dimana? Aduh, aku tak tahu jalan?”
Ramainya
suara pembeli dan penjual semakin membuat hatinya kacau. Musik mengiringi
kegelisahannya. Pengeras suara tak henti-hentinya menawarkan diskon, harga
murah, dsb. Semuanya hanya ingin memikat hati calon pembeli.
Di
tengah keramaian itu Alfi merasa sendiri. Tak ada seorangpun yang dikenalnya.
Orang sebanyak ini hanya lewat saja. Menenteng belajaan di kedua tangannya atau
sekedar melihat-lihat dagangan. Sementara para pelayan disekitarnya sibuk
dengan barang dagangan dan merayu calon pembeli.
Dia
ingin segera berjumpa dengan bunda. Oh bunda ada dimana? Ingatannya berusaha
mencari nama kios bunda... oh dia lupa... Mengapa bisa semudah itu lupa. Dua
hari ini selalu membantu bunda membungkus barang dengan label kiosnya. Dan dia lupa begitu saja.
Alfi
berlari kesana kemari, berharap bertemu mbak yang bersamanya tadi. Sia-sia. Lorong-lorong
disini ini terlalu banyak, sempit dan terlalu sulit dihafal. Alfi berhenti. Kepalanya
pusing. Tubuhnya tersungkur di lantai ketika seorang laki-laki tinggi besar
tiba-tiba menabraknya. Laki-laki berbaju biru itu tetap berjalan seolah tak
terjadi apa-apa. Meninggalkan Alfi begitu saja.
Alfi
terisak. Tubuhnya gemetar. “Bunda!” Semua ini adalah kesalahannya. Mengapa
tidak mau berjalan bersama mbak. Malah lari-lari dan sembunyi.
“Hei,
dik. Itu bundamu!” teriak seorang wanita dengan logat Madura.
Tangan
bunda meraih tubuh Alfi. Ketakutan itu sudah sirna. “Untung masih di lantai
dua. Nggak turun atau naik. Pasti bunda sulit mencarimu.”
Alfi
memeluk bunda. Erat! Si mbak ada di belakangnya. Alfi janji tidak akan
pergi-pergi lagi.
***
Liburan
ini Alfi sengaja tidak bermain ke rumah ustadzah Fida. Hatinya belum sembuh
tapi Alfi sudah mulai bisa melupakan ustadzah Fida. Kebohongan ustadzah Fida
itu sudah keterlaluan.
Anehnya
selama tiga hari ikut bunda bekerja, nenek bercerita kalau sudah dua kali
datang ke rumah. Dua kali? Ada apa? Apakah ustadzah hendak meminta maaf?
Ataukah ustadzah mau memberikan hadiah seperti keinginannya? Ataukah ustadzah
hanya menanyakannya?
Biarlah,
Alfi masih ingin ikut bunda. Asal tetap berpegang pada janjinya. Dia tidak
kapok. Dia masih ingin menikmati liburan bersama bunda di kios.
Jadi
nanti kalau sudah masuk sekolah, Alfi bisa bercerita tentang liburannya. Memang
tidak seperti teman-teman yang piknik kemana-mana. Tapi pengalaman liburan kali
ini seru! Pasti tak ada yang memiliki pengalaman tersesat sepertinya. Atau
bertemu dengan pembeli yang galak yang selalu minta harga murah,
semurah-murahnya.
Alfi
tersenyum geli jika mengingat pengalamannya bersama bunda di kios. Ada-ada saja
ulah pembeli. Tapi bunda selalu sabar melayani. Tidak pernah marah jika ada
yang mencela barangnya.
Tentang
ustadzah Fida, jika nanti bertemu lagi, Alfi tetap seperti biasa. Begitupun
dengan rasa penasarannya. Semoga saja ustadzah masih mau berteman dengannnya.
Segala
macam tanda tanya tentang kedatangan ustadzah Fida akhirnya terjawab di minggu
kedua libur sekolah. Sesuai janji, Alfi tidak perlu ikut bunda lagi. Alfi di
rumah saja menemani kak Amel bermain.
Kak
Amel bersorak ketika melihat kedatangan ustadzah Fida. Melompat girang dan
berlari mengambil buku gambarnya. Seolah sudah saling kenal, kak Amel berusaha
mencari perhatian.
Semua
gambar kak Amel ditunjukkan kepada ustadzah Fida. Ada yang cuma goresan pensil.
Ustadzah takjub dengan perilaku kak Amel. Tapi dia tetap menghargai segala gerak-geriknya.
Memberi pujian pada setiap hasil karyanya.
Hari
ini ustadzah membawa kartu bergambar yang biasa dipakai sebagai alat peraga
dalam mengajar bahasa Inggris. Kalau selama ini Alfi mengucapkan kata dalam
bahasa Inggris, tapi tidak demikian dengan kak Amel. Dia belajar bicara. Hanya
untuk mengucapkan satu kata, susah sekali.
Ustadzah
Fida membuka mulutnya lebar-lebar dan mengucapkan kata-kata dalam bahasa
Indonesia. Satu kata diucapkan dengan intonasi jelas, perlahan, berulang-ulang
dan tetap dengan konsentrasi yang tinggi.
Kak
Amel mengikuti grakan mulut ustadzah. Tapi suara yang keluar tidak ssesuai
harapan. Ustadzah memberi semangat. Kak Amel lelah. Dia menjerit marah.
Alfi
diam, memperhatikan dari sudut ruang tamu. Jadi ustadzah bermain dengan kak
Amel, bukan dengannya?
“Alfi!”
Ustadzah Fida mengajak Alfi mendekat. Bukan untuk belajar melainkan bermain
saja. Kak Amel sepertinya sudah tidak mau lagi. Sekarang ustadzah mengajak main
tebak-tebakan. Mencari kartu sesuai dengan kata yang disebutkan ustadzah.
Alfi
merasa bukan waktunya lagi bersama ustadzah. Ada kak Amel. Ustadzah lebih
memilih kak Amel. Kenapa?
Kak
Amel tak henti-hentinya memanggil Alfi. Buat apa kalau bukan untuk melihat
gambarnya.
Alfi
tak peduli. Ia memandang keluar. Kak Amel tiba-tiba saja menarik lengannya.
Memaksanya duduk berdua. Di depannya ada sebuah meja belajar lipat. Meja
sekecil itu hanya cukup buat kak Amel. Sementara Alfi duduk diam disamping kak
Amel. Seolah sedang belajar bersama ustadzah.
Ustadzah
bertanya kepada Alfi. Seperti dahulu di rumah ustadzah Fida, dia suka belajar
kosakata bahasa Inggris. Mengeja nama-nama benda lalu menghafalnya. Ketika
sudah siap, ustadzah akan menanyakan. Dan Alfi bisa menjawab. Setiap jawaban
yang benar mereka akan toss.
Tiba-tiba
Alfi rindu teman-teman sekolahnya. Daripada liburan seperti ini lebih baik sekolah
saja. Di sana dia bertemu dengan teman-temannya dan bermain bersama. Padahal baru
libur satu minggu. Adakah teman-temannya merasakan seperti ini? Atau mungkin
cuma Alfi.
Alfi
teringat kalau sore-sore begini biasa main ke rumah Rara. Alfi tak mungkin
bertemu dengannya. Pasti dia sudah memiliki teman baru. Mungkin saja dia telah
melupakan Alfi.
Di
akhir liburan ini ustadzah Fida tetap datang ke rumah. Tiap dua hari sekali.
Kak Amel sampai hafal kapan ustadzah Fida datang. Dia akan bersiap, bahkan rela
berdiri di depan pintu.
Karena
urusan ustadzah tidak lagi sama Alfi maka dia tetap keluar rumah. Seperti biasa,
bersepeda di depan rumah sampai di depan gang Soka.
Kak
Amel masih berdiri di depan pintu rumah. setiap sore menunggu ustadzah Fida.
Tapi kata nenek, hari ini ustadzah tidak akan ke rumah. Ustadzah sibuk. Kak
Amel tak peduli. Seperti dia tak pernah peduli sekarang hari apa.
Sambil
bersepeda Alfi membantu nenek membeli kebutuhan rumah tangga. Kemarin dia
membeli sabun mandi dan shampo. Ada sisa kembaliannya dipakai untuk membeli
jajan sekalian. Mumpung ke warung.
Kali
ini dia disuruh membeli gula pasir dan kopi. Alfi bersemangat sekali. Dia
mengayuh sepedanya cepat-cepat. Bayangan jajan sudah ada di pelupuk matanya. Menyenangkan
sekali karena dia bisa memilih jajan yang diinginkan sendiri. Dan titipan
nenek, semoga saja tidak lupa.
“Gula
satu kilo dan kopi satu renteng.” Tangan Alfi menunjuk kopi susu sachet yang
ada gambar cangkir penuh dengan kopi susu yang asapnya mengepul.
Titipan
nenek sudah beres. Dia sudah menerima uang kembalian. Tapi tunggu dulu.
Dihitungnya uang kembalian itu. Masih cukup untuk membeli jajan.
Kedua
matanya berbinar melihat deretan snack di etalase. Dia menunjuk barang yang
diinginkan. Membaca harganya dan membawanya ke meja kasir. Ehm...tidak boleh
melebihi uang yang dibawa.
Alfi
pulang dengan riang. Belanjaan ditaruh di di stang sepeda bagian kiri. Tidak ada keranjang. Wah, keranjang sepedanya
sudah penyok sejak lama. Sejak dia sering jatuh dari sepeda.
Dalam
perjalanan pulang Alfi berpapasan dengan rombongan anak yang bersepeda dari
gang sebelah. Seorang anak laki-laki mengayuh sepedanya cepat-cepat. Tiba di
atas polisi tidur yang tingginya kira-kira 10 cm sepeda itu seolah melayang
sebentar. Anak-anak lainnya bersorak. Yang lainnya ikut mencoba.
Alfi
menepi hingga pertunjukan mereka selesai. Alfi tergoda. Dia pasti bisa
melakukannya. Gampang! Dia mengayuh sepedanya cepat-cepat.
Ketika
melewati polisi tidur dia oleng ke samping kiri. Dia tidak mampu menahan
keseimbangan. Gubrak! Alfi jatuh tersungkur di jalan berpaving. Kerangka sepeda
menimpa tubuhnya.
Ada
yang nyeri. Oh kakinya. Seolah ditusuk pisau yang tajam. Tajam sekali hingga
dia mengerang kesakitan.
Alfi
meihat sekelilingnya. Tak ada seorangpun disana. Tak ada yang datang
menolongnya.
Alfi
berusaha bangun. Berat sekali. Kaki kirinya tak mau bergerak. Oh tidak,
dipaksanya sekali lagi untuk bergerak. Tidak usah naik sepeda. Jalan kaki saja.
Tapi sungguh, kaki ini rasanya nyeri. Tetap tak mau diajak bergerak.
Rasanya
ingin menyerah saja. Tapi di jalan ini sepi. Tak ada seorangpun yang lewat. Pasti
nenek mencarinya. Mudah-mudahan segera sampai disini.
Sia-sia
saja dia menangis, menjerit. Air matanya tumpah hingga di kerudung putihnya.
Rumah-rumah yang berdiri kokoh didepannya mungkin tak berpenghuni. Entahlah,
disini dia merasa sepi saja.
Di
gang ini ada sekitar 20 rumah, dua diantaranya kosong. Selebihnya rumah-rumah
itu dihuni oleh orang-orang yang sibuk. Mungkin masih di luar sana. Mungkin masih
bekerja seperti bunda.
Alfi
duduk perlahan, meraba bagian sepedanya. Masih utuh. Tapi ada apa dengan
kakinya. Rasa sakit itu kian menjalar di sekujur kakinya. Tak berubah. Tak bisa
bergerak.
Sekantung
gula di dalam plastik bening tercecer di tanah. Sekelompok semut hitam buru-buru
datang mengerubungi. Memanggil teman-temannya. Semakin banyak saja. Sedangkan
satu renteng kopi sachetnya masih utuh.
Kemasannya cukup tebal sehingga aman hingga terjatuh sekalipun.
Langit
mendung. Gerombolan awan hitam bergerak, menggeser awan putih yang cerah.
Semakin lama semakin cepat. Seolah ingin menutupi seluruh langit saja.
Sekawanan
burung bertengger diatas kabel listrik bersahut-sahutan. Lalu pergi beriringan.
Mungkin sudah waktunya pulang, sebelum hujan tiba.
Sekali
lagi Alfi berusaha untuk menggerakkan kakinya. “Oww...sakit!” Alfi merintih.
Dia terus saja memandangi kakinya. Tak ada luka. Tapi mengapa sesakit ini.
Ini
bukan pertama kalinya Alfi jatuh dari sepeda. Lecet-lecet itu sudah biasa. Kata
bunda, Alfi pemberani. Alfi tidak akan menangis gara-gara jatuh dari sepeda.
Alfi
ingat cerita teman-temannya yang baru belajar naik sepeda. Jatuh. Setiap anak
yang belajar naik sepeda pasti pernah jatuh. Alfi sampai lupa sudah berapa kali
terjatuh. Besok-besok lukanya sudah kering dan dia kembali bersepeda lagi.
Luka
kali ini sungguh aneh. Hanya lecet sedikit. Tak ada darah yang menetes, tapi
sakit sekali. Bergerak saja tak bisa. Dia masih duduk, mengelus kakinya. Kenapa
ya?
Tidak
ada yang kebetulan di muka bumi. Allah menggerakkan hati orang-orang untuk
saling bertemu. Seperti sore itu, Alfi yang masih duduk lemas, mendengar deru
sepeda motor. Semakin lama semakin dekat. Tiba-tiba saja berhenti di depannya.
Pengendara
motor ini adalah seorang laki-laki tua yang baru pulang kerja. Dia iba melihat
Alfi. Segera saja kedua tangannya mengangkat tubuh Alfi.
Alfi
menjerit. “Kakiku!”
“Kenapa?”
Laki-laki itu melihat kedua kakinya. Tak ada luka.
“Sakit.”
Alfi
meringis menahan sakit. Dia harus pulang. Kalau tidak digendong seperti ini
pasti dia tidak akan pulang.
Langit
semakin gelap. Hembusan angin membuat rasa sakit ini semakin menjadi-jadi.
Rintik hujan menemani kepulangan Alfi.
Nenek
tergopoh-gopoh menemuinya. Alfi didudukkan di sofa. Tangisnya pecah. Tidak
bisa. Kaki Alfi harus diselonjorkan saja. Alfi tiduran diatas sofa. Kakinya
masih menyisakan nyeri.
Yang
terbersit di benak nenek adalah memanggil tukang urut saja. Nenek sudah menelepon
bunda tapi sayangnya tak kunjung ada jawaban. Mungkin sore ini bunda sedang
dalam perjalan pulang.
Setelah
laki-laki yang menolongnya pulang, ustadzah Fida datang. Wajahnya selalu cerah.
Dia terkejut melihat keadaan Alfi. “Cepat sembuh ya,” kata ustadzah Fida sambil
membelai lengannya.
Ustadzah
tidak membawa kartu ataupun alat tulis. Tak ada hadiah. Tidak pula mengajari
kak Amel. Dia hanya sebentar saja mampir ke rumah. Dia membawa undangan berwarna krem. Ada gambar bunga di sisi kirinya.
Alfi
memandang langit-langit rumahnya. Masih berwarna putih. Masih bersih. Kecuali
dinding yang sudah berwarna-warni. Nenek masih sibuk menekan nomor ponsel.
Entah menghubungi siapa lagi. Kak Amel duduk di depannya. Tak ada suara. Lalu bangkit mengejar ustadzah Fida di ambang pintu.
Liburan seharusnya buat bersenang-senang. Mungkin teman-temannya
seperti itu. Sedangkan Alfi, kini tak
berdaya. Pengalaman seru apa lagi yang akan terjadi.
Alfi
menghela nafas. Diliriknya undangan yang tergeletak diatas meja di depannya. Semacam undangan pernikahan. Ustadzah Fida dengan laki-laki itu... Hatinya perih menyaksikan orang yang pernah dekat
dengannya perlahan menjauh.
#blogtobook
^_^
pasingnya terlalu cepat. dinikmati aja alurnya saat menulis :)
BalasHapusSiap pak guru!
HapusBaca bagian ikut berjualan di kios jadi ingat masa kecilku. Sama juga ingin bantu ibu di pasar tapi ujung-ujungnya numpang tidur aja
BalasHapusanak-anak biasanya pengen ikut ortu kerja.
Hapusayoo Alfi jangan sedih. Cari temen lagi yang lebih banyak. Eh,
BalasHapus:D
Rasanya berkali-kali ingin memeluk Alfi...
BalasHapus