Hadiah dari Ustadzah Fida
Selasa, 22 November 2016
7 Komentar
Alfi
selalu berharap bunda terlambat menjemputnya. Entah dengan alasan apa! Yang
penting terlambat, lama. Dengan begitu alfi memiliki banyak waktu untuk bermain
di sekolah. Berkumpul bersama teman-teman yang belum dijemput juga. Menjelajahi
sudut-sudut sekolahnya yang luas. Bersembunyi di tempat yang jarang dilewati
anak-anak.
Nyatanya,
sampai detik ini bunda tak pernah terlambat menjemput. Meski tak juga tepat
waktu. Menjelang waktu pulang, Alfi lebih suka berdiam di kelas. Tapi begitu
Alfi keluar kelas, sudah bisa dipastikan ada bunda diantara para penjemput itu.
Baca juga Hadiah Untuk Kebaikan Sang Guru...
Bunda selalu tersenyum ketika melihat Alfi keluar kelas. Kadang melambaikan tangannya, sebagai petunjuk bahwa bunda sudah datang dan sekaligus perintah, “Ayo pulang”. Tak ada tawar menawar sesudah itu karena Alfi tahu bunda masih harus kerja.
Bunda selalu tersenyum ketika melihat Alfi keluar kelas. Kadang melambaikan tangannya, sebagai petunjuk bahwa bunda sudah datang dan sekaligus perintah, “Ayo pulang”. Tak ada tawar menawar sesudah itu karena Alfi tahu bunda masih harus kerja.
Sejak
Alfi kehujanan di rumah Rara, ustadzah Hani sering mengingatkan agar anak-anak
selalu meminta ijin sebelum pergi bermain. Alfi kan sudah ijin nenek. Bunda
masih kerja. Sudah benar apa yang dilakukannya. Ustadzah tak perlu mengingatkan
ataupun marah.
Rara
dan Nis sudah jarang bermain ke rumahnya. Katanya Alfi tidak punya mainan.
Tidak asyik saja. Bagi Alfi keputusan sepihak ini sungguh menyakitkan meskipun
di sekolah mereka tetap akrab dan bermain bersama.
Hari
ini Alfi mengeluh kenapa pelajaran terakhir ini harus menulis sekitar setengah
halaman. Baru sebaris saja, tangan sudah pegal.
Kenapa tidak membaca saja. Bukankah sudah ada buku. Kenapa masih disuruh
menulis lagi. Kenapa?
Sebenarnya
bukan hanya Alfi yang ketinggalan menulis. Ada dua anak lagi yang mesti
melanjutkan menulis setelah sekolah usai. Meski jengkel tapi Alfi senang. Dia
masih memiliki teman yang bisa diajak ngobrol macam-macam. Sementara dia tak
kunjung menulis. Sesekali pura-pura pinjam penghapus. Padahal dia punya. Tidak
ditaruh di tempat pensil, namun di saku tasnya. Lalu pinjam rautan. Ah, Alfi
selalu memiliki alasan untuk menolak menulis.
Sekarang,
kedua temannya kini sudah selesai menulis. Tinggallah Alfi bersama teman-teman
yang belum dijemput. Tapi mereka ini boleh bermain-main di luar kelas. Sementara
Alfi tetap duduk menghadap papan tulis. Sebal!
Mungkin
ini adalah hukuman ustadzah. Hukuman buat anak yang suka ngobrol. Alfi semakin
jengkel, tangannya semakin malas diperintah untuk menulis.
Bunda
mungkin sudah menjemputnya disana tapi kata ustadzah Hani, Alfi harus harus
selesai menulis. “Capek, ustadzah!”
“Pelan-pelan
nulisnya. Kalau tidak mau menulis ya tidak akan selesai.”
Lalu
Alfi berpikir, andai saja memiliki ilmu sulap, bimsalabim dengan satu kali
gerakan tongkat sihir langsung beres tulisannya. Tapi ilmu seperti itu kan
harus sekolah dulu ya. Ehm...ternyata tetap harus belajar, termasuk menulis.
Siang
begini sekolah sudah mulai sepi. Alfi menegok ke arah pintu keluar kelas, “Ustadzah,
apakah bunda sudah datang?”
Ustadzah
berdiri dan memandang keluar. Dari balik jendela kaca, ustadzah melihat deretan
orang yang menjemput anak-anaknya sudah banyak berkurang. Pandangannya berhenti
pada seorang ibu yang dikenalnya. Ya, bunda Alfi sudah datang! Mungkin sudah
sejak tadi.
“Sudah.
Ayo ditulis ya!”
Alfi
mendengus. Kenapa harus menulis. Itu saja pertanyaan yang belum
bisa dijawab.
Ustadzah
Hani melirik jam dinding. Sudah dua puluh menit berlalu. Alfi tidak kunjung
selesai menulis. Sebaliknya, dia malah mengajak ustadzah ngobrol. Lalu
memainkan pensilnya. Merautnya hingga pendek. Kini pensil Alfi kira-kira hanya
sepanjang 3 cm. “Alfi, nulisnya dilanjutkan di rumah saja ya.”
Alfi
menatap ustadzah tak percaya. Segera saja, ia memasukkan semua buku dan alat
tulisnya ke dalam tas. Berantakan sekali tasnya. Buku dan peralatan tulis
berjejalan di dalam tas. Resleting ditarik dengan paksa hingga hampir saja terlepas.
Untung tangan kirinya memegang ujung restleting yang sobek. Dengan tergesa-gesa
ia meraih tangan ustadzah dan menciumnya lalu berlari keluar kelas.
“Bunda!”
teriak Alfi di depan kelasnya.
“Kok
lama?” sapa bunda.
“Aku
nggak suka menulis. Ustadzah galak!”
Bunda
merasa harus berpikir keras. Apa hubungan antara menulis dan ustadzah galak.
Bisa jadi Alfi dihukum gara-gara jahil atau nakal. Ah, nanti saja bertanya. Sekarang
waktunya pulang!
“Aiii!
Bu..ku..” Kak Amel selalu menyambut kedatangan Alfi. Dengan wajah riang dia
berteriak, seolah banyak yang hendak diceritakan kepada adiknya.
Hari
ini Alfi pulang terlambat. Kak Amel mengomel tak jelas. Antara teriakan dan
kata-kata yang keluar dari bibirnya. Semuanya kacau. Dia menyodorkan beberapa
kertas dengan gambar yang belum selesai.
Alfi
tak peduli. Ternyata pulang sekolah
terlambat membuatnya semakin capek saja. Capek berpikir dan capek tubuhnya.
Rasanya ingin langsung rebahan di atas kasur. Tapi tadi dia sudah berjanji pada bunda, akan segera ganti baju sebelum
melakukan kegiatan lain. Termasuk mencomot pisang goreng bikinan nenek.
Bunda
sudah melesat pergi. Suara motor bunda sudah tak terdengar lagi. Melanjutkan
pekerjaannya hingga sore. Ah, andai saja bunda selalu ada di dekatnya, seperti
dulu, menemaninya bermain dan belajar. Mungkin hidupnya tidak sekacau ini.
Sudahlah.
Kata bunda tidak boleh mengingat kesedihan. Alfi melangkah ke kamar. Sebelum
sempat menutup pintu, kak Amel sudah berada
didalam kamar.
“Hei,
aku mau ganti baju!” Alfi melotot melihat kak Amel.
Ada
sesuatu yang harus diperhatikan dulu. Tapi Alfi terlanjur capek dan malas.
Tentang kertas itu, Alfi sudah bisa menebaknya.
“Hu..hu...”
kak Amel menyodorkan beberapa kertas yang sejak tadi belum diliriknya. Mencoba
sekali lagi mencari perhatiannya. Sungguh ini adalah karya yang sangat ingin
ditunjukkan kepada Alfi. Kenapa Alfi tidak mau?
“Pasti
gambarnya begitu-begitu juga,” pikir Alfi yang segera saja mendorong kak Amel
keluar. Sayangnya tubuh kak Amel lebih besar dan berat sehingga dia hanya
bergeser sedikit. Alfi mendorong lagi. Semua tenaga sudah dikerahkan, namun
tetap saja kak Amel belum keluar kamar.
Dalam
keadaan capek seperti ini, menangis adalah cara yang dianggap paling tepat
untuk menyelesaikan masalah. Lupakan kata teman-teman bahwa menangis adalah
perilaku cengeng, tidak berani dan memalukan. Biarlah, biar orang lain
mendengarnya. Biarlah orang lain mau mengatakan apa saja. Menangis itu bikin
hati menjadi lega.
Nenek
berjalan tergopoh-gopoh mendekati kedua cucunya. Alfi dan Amel masih berada di
dalam kamar yang sama. Nenek menarik lengan Alfi, mengelus rambutnya. Nenek
berusaha menenangkan Alfi. Sementara kak Amel yang masih berdiri mematung,
dihardiknya keluar.
Kak
Amel masih menatap nenek dan Alfi sambil bersuara, “Hu...hu..hu..” Entah apa
maunya. Nenek masih belum bisa mengerti kata-kata ajaib kak Amel. Bagi nenek
kalau Alfi menangis mungkin gara-gara dipukul oleh kak Amel. Jadilah nenek
memarahinya.
Nenek
geram. Ditariknya lengan kak Amel keluar kamar. Tangis Alfi reda. Dia menang. Tapi
perasaannya menjadi tak nyaman saja. Dia tahu seharusnya kak Amel tidak perlu
dibentak. Kak Amel pasti tak suka.
Wajah
kak Amel datar saja. Dia menyendiri sekarang. Lalu gantian kak Amel yang
meraung-raung di depan kamarnya.
“Aku
nggak dipukul kak Amel, nek,” kata Alfi kemudian.
Nenek melongo mendengar jawaban Alfi. Menyesal telah memarahi kak Amel tanpa tahu persoalannya. Marah karena berisik mendengar kedua cucunya bertengkar. Nenek menghela nafas panjang. “Ya, sudah, jangan nangis lagi.” Nenek
kembali melanjutkan pekerjaannya di dapur.
Siang
itu Alfi memang sudah rebahan diatas tempat tidur. Sayangnya sudah beberapa
kali mencoba memejamkan mata tetap tidak bisa tidur. Alfi bangkit dan keluar
kamar.
Kak
Amel masih sibuk dengan gambarnya. Crayon 12 warna dalam kotak persegi panjang
itu sudah patah-patah. Ada yang hilang. Lantai dibawahnya ikut diwarnai. Kak Amel
mau bikin masalah. Nanti kalau ketahuan nenek pasti kena marah. Nenek tidak
suka rumahnya dikotori.
Kak
Amel yang melihat kehadiran Alfi, langsung saja bangkit dan menyodorkan lagi
kertas-kertasnya yang sudah diwarnai tadi.
Alfi
berseru, “Iya, bagus.” dengan begitu Alfi berharap kak Amel tidak akan
mengganggunya lagi.
“Kak
Amel, itu dibersihkan.”
“Ha!”
Alfi
menunjuk bagian lantai yang diwarnainya. Lantai berwarna putih dengan semburat
abu-abu berubah menjadi gambaran anak kecil.
Kak
Amel tersenyum riang. Mungkin menurutnya gambar di lantai itu sungguh indah.
Tapi kalau Alfi boleh jujur, gambar itu berantakan sekali. Hanya
coretan-coretan yang tak jelas bentuknya. Jika Alfi jadi gurunya, pasti akan
memberi nilai 50. Itu saja sudah terlalu banyak. Kata ustadzah, nilai dibawah
50 termasuk jelek, harus rajin lagi dan lagi sampai nilainya bagus.
Sore
ini Alfi bermain sepeda saja. Tak masalah tidak ada anak kecil di sini.
Sepanjang bolak-balik depan rumah pasti nenek mengijinkan. Lagipula, kalau
jauh-jauh ih Alfi takut saja. Takut tersesat atau bisa jadi diculik orang.
Diiming-imingi mainan, jajan, uang terus ikut saja. tidak! alfi pasti menolak
yang seperti itu.
Alfi
mengayuh sepeda pelan. Sudah dua kali bolak balik bersepeda di depan gang Soka.
Kalau dibelakang gang ini ada banyak anak kecil. Tapi Alfi belum kenal sama
mereka.
Alfi
hanya diam ketika rombongan anak dari gang sebelah melewatinya. Dia ingin
bergabung tapi ada yang bilang tidak boleh. Karena tidak satu gang. Ah, kenapa
sih urusan bermain sepeda saja sesulit ini. Kenapa tidak bersepeda bersama
saja. Tidak peduli kamu dari gang mana, sekolah dimana, umur berapa, suka apa.
“Lebih
baik ke rumah Rara saja,” pikir Alfi. Tekadnya sudah bulat. Dia ingin ke rumah
Rara. Sepanjang jalan, tak henti-hentinya berdoa. Mengucap basmalah.
Entah
sudah berapa kali sampai dia benar-benar yakin dengan jalan yang dituju.
“Assalamualaikum,
Rara. Rara!” Satu kali salam tidak ada yang menjawab. Diulanginya lagi. Pintu
pagar setinggi 1,5 meter itu tetap saja tak bergeser. Masih ada satu kali
kesempatan untuk mengucapkan salam. Andai sekali ini tetap tidak ada seorangpun
yang menjawab, wajib baginya untuk pulang.
Mata
bening Alfi mengintip dari celah-celah pagar berwarna hitam legam. Deretan
sandal-sandal masih berserakan di depan teras. Pintu rumah Rara masih tertutup
rapat. Tapi daun jendela dengan bingkai kayu bercat coklat masih terbuka.
Semilir angin membuat gorden putih dengan gambar bunga berwarna kuning keemasan
melambai perlahan. Di samping teras, ada mobil berwarna hitam. Biasanya kalau
ada mobil papa Rara, artinya keluarga Rara ada di rumah.
Alfi
menyandarkan punggungnya pada pagar rumah Rara. Mengatur nafasnya yang lelah
setelah bersepeda. Berharap ada keajaiban setelah ketiga salamnya. Satu bunga
kamboja gugur didekatnya. Alfi mendongak. Menatap bunga-bunga berwarna pink
yang terayun angin.
Sepi
sekali rumah Rara. Kalau salam boleh tiga kali, sementara kalau memanggil nama
Rara tidak ada batasannya. Alfi memanggil temannya, berulang.
“Rara...Rara...Rara...”
Suara
berisik di depan pintu pagar itupun mengusik hati mama Rara yang sedang
memanggang roti. “Oh, mbak Alfi. Mau main ya?”
Alfi
tersenyum ramah.
“Rara
masih tidur.”
Saya
senangnya kemudian pudar. Rara masih tidur. Pasti mamanya tidak mau
membangunkan Rara.
“Ayo
masuk! Tante sedang membuat kue." Mama Rara berharap Alfi senang dengan kue buatannya. Sekaligus
promosi.
Setengah
jam kemudian, Rara bangun. Matanya masih mengantuk, tapi dipaksa untuk melek
demi menyenangkan temannya.
Alfi
menatap wajah kusut Rara. Mungkin Rara masih ingin tidur. Tapi sudahlah, mama
Rara sudah membangunkannya.
Rara
memilih bersandar di sofa. Sementara Alfi masih berdiri tegak memandang temannya
yang sedang menguap lebar. Kenapa tidak tidur di dalam kamar saja. Alfi akan
pulang daripada disini cuma lihat wajah kusut dan tampang juteknya.
“Main
sepedaan yuk!” Akhirnya Alfi menemukan kata ajaib untuk memulai pembicaraan.
Tidak mudah. Butuh konsentrasi tinggi untuk beberapa patah kata yang dianggap
sangat fantastis.
Dengan
suara lembut, akhirnya Rara bertanya, “Kamu
sudah sholat ashar?”
Ehm..alfi
tersenyum getir. Kenapa ajakannya tidak dijawab. Bahkan sebaliknya, Rara
menanyakan sholat ashar. Apa mungkin Rara belum sholat atau sekedar bertanya.
Tidak
mungkin Rara tidak mendengar adzan ashar. Musholla hanya berjarak satu blok
dari tempatnya. Suara adzan pasti terdengar hingga sini. Mungkin kalau sedang
tidur, tidak bisa mendengar bunyi apapun. termasuk suara adzan.
Sebelum
berangkat ke rumah Rara, Alfi sudah sholat bersama nenek. Sholatnya sebentar,
tanpa berdoa. Sudah capek saja karena nenek sholatnya lama. Setelah itu Alfi
diperbolehkan pergi bermain.
“Aku
sudah sholat, Ra. Sekarang aku mau sepedaan. Kamu mau ikut nggak?”
“Ha?”
Rara menguap lagi. Rupanya Rara belum benar-benar sadar apa yang dikatakan.
Jadi
Alfi keluar saja dari rumah Rara. Tidak pamit juga. Rara tidak melihatnya. Dia
masih mengantuk berat.
Rara
yang baru menyadari kepergian Alfi segera saja berteriak memanggilnya.
Dicarinya keluar pagar, dan tubuh Alfi sudah melesat jauh. Sepeda warna pink
itu sudah dikayuh cepat-cepat. Rara melihatnya sesaat sebelum berbelok.
Sebelum
pulang ke rumah, Alfi mampir di depan rumah ustadzah Fida. Rumahnya tampak
sepi. Jam segini biasanya ustadzah Fida sedang menyiram tanaman-tanaman.
Sepeda
motor ustadzah juga tak ada. Sebagai pedoman kalau ada ustadzah ya ada sepeda
motornya. Ya, sudah, Alfi pulang saja. Daripada gagal bermain ke rumah teman
dan ustadzah.
Tiba
di depan rumah, sebenarnya rumah kakek, tapi lebih enak kalau menyebut rumah Alfi
saja. Agar teman-teman juga mudah mengingatnya. Alfi terkejut ada sepeda motor
yang dikenalnya.
Sepeda
motor ustadzah Fida! Tapi buat apa ustadzah main ke rumahnya. Biasanya Alfi
yang datang. Bukan ustadzah! Atau mungkin ustadzah mau melaporkan kata-kata Alfi
beberapa waktu lalu. Bahwa Alfi tidak suka tinggal di rumah ini.
Deg-degan
rasanya. Alfi melangkah pelan. “Assalamualaikum....”
Nenek
dan ustadzah Fida menjawab salam Alfi. “Semoga tak terjadi apa-apa.” Doa Alfi
sepanjang langkah menemui mereka.
Ustadzah
sedang mengajari kak Amel. Ada garis-garis berwarna-warni di buku gambarnya. Garisnya
tebal-tebal. Ada juga macam-macam gambar bangun datar. Mulai ukuran kecil
hingga besar. Ada yang sudah diwarnai dan ada yang belum.
Kak
Amel memperhatikan tangan ustadzah Fida yang bergerak-gerak membuat gambar. Pandangannya
lurus saja. Kedua tangan kak Amel tak berhenti bergerak. Membolak balik crayon kadang menekannya hingga patah. Tak sedikitpun memperhatikan Alfi yang baru datang.
“Sekarang
diwarnai ya!” perintah ustazah Fida. Kak Amel memandang deretan crayonnya yang
patah-patah. Satu diambil kemudian dikembalikan lagi. Ganti lagi. Sampai
ustadzah bingung melihatnya.
“Warnanya
terserah Amel. Ayo diwarnai!”
Kak
Amel mantap memilih warna kuning. Gerakan tangannya kasar dan ceroboh. Warnanya
keluar dari garis-garis. Berantakan sekali. Tapi ustadzah Fida senyum-senyum
dan tetap memberi semangat untuk mewarnai semuanya.
Semua
gambar sudah diwarnai kak Amel. Ustadzah membuat gambar lagi. Katanya buat
diwarnai besok. Tapi kak Amel menolak. Dia bersikeras untuk mewarnai sekarang
saja.
Ustadzah
Fida menyerah. Mau diwarnai sekarang atau besok tidak apa-apa. Tapi kemudian
ustadzah tertawa. Senang sekali melihat gambar kak Amel yang sudah lebih baik. Masih
ada yang keluar garis, tapi tidak sebanyak tadi.
Sebelum
pulang, ustadzah merogoh sesuatu dari dalam tas coklatnya. Sebuah benda yang
dibungkus kertas kado. Ada dua. Lalu memanggil Alfi agar mendekat. “Ini buat Alfi
dan satunya lagi buat kak Amel.”
Alfi
tak sabar ingin segera membukanya. Alfi bersorak-sorak riang. Loncat-loncat
kegirangan. Ada kotak pensil dan satu set peralatan tulis baru untuknya. Sedangkan kak Amel
mendapatkan satu set crayon. Alfi pernah cerita kalau kak Amel suka mewarnai,
dan sekarang crayon sudah patah-patah dan hilang.
Kak
Amel juga senang menerima hadiah dari ustadzah Fida. Berkali-kali dia
menganguk-angguk berterima kasih. Setelah mencium punggung tangan ustadzah Fida
dia ikut loncat-loncat seperti Alfi.
Ustadzah
bilang, Alfi harus belajar lagi. Agar tidak lupa dengan pelajaran yang
dulu-dulu. Kalau cuma sekali pasti gampang banget lupanya. Tapi kalau sering
diulang-ulang, mudah-mudahan gampang ingat.
Tapi
kenapa tiba-tiba ustadzah memberinya hadiah?
“Karena
Alfi bisa menjawab soal-soal bahasa Inggris dengan benar.”
“Kalau
kak Amel? Bukannya ustadzah belum pernah mengajarinya? Memberikan soal?
Bertanya apapun? Mengapa dia juga mendapat hadiah?”
“Oh,
ya, karena kak Amel suka menggambar dan mewarnai. Jadi kak Amel butuh crayon
baru.”
Alfi
mengangguk. Semudah itukah kak Amel mendapatkan hadiah? Rasanya tak adil. Coba
bandingkan dengannnya. Setiap hari harus membantu bunda dan nenek. Belajar pula.
Sementara kak Amel masih mendengkur dengan keras dikamar. Tidak adil!
“Kalau
aku mewarnai, menggambar, apakah aku juga mendapatkan crayon seperti milik kak Amel?”
Ustadzah
fida tersenyum, “InsyaAllah.”
“Oh
ya, Alfi sudah lama tidak pernah main lagi ke rumah ustadzah?”
Alfi
bukannya tidak mau menjawab. Tapi dia tidak cukup memiliki alasan untuk menuduh
ustadzah membohonginya. Perkara ini cukup rumit. Nanti kalau bilang seperti itu
jangan-jangan ustadzah tidak suka dan tidak mengijinkannya bermain lagi. Tidak
mendapatkan hadiah lagi.
Bukankah
ustadzah sendiri yang mengatakan ada acara jadi Alfi harus pulang. Tapi
kenyataannya, ustadzah malah ngobrol dengan temannya. Alfi tidak suka
dibohongi. Jadi Alfi tidak pernah main lagi dua minggu ini.
“Sekarang
aku mau ikut ustadzah saja!” rengeknya sebelum ustadzah beranjak pergi.
Ustadzah
melirik jam tangannya. “Ehm...besok-besok saja gimana.”
Alfi
mengangguk. Artinya ustadzah sudah tidak berbohong lagi. Jadi mulai besok sore Alfi
bisa bermain ke rumahnya.
***
Sejak
pulang sekolah Alfi sudah tak sabar ingin pergi ke rumah ustadzah Fida. Dia
membawa buku gambar. Ada gambarnya yang belum selesai apalagi diwarnai. Belum.
Nanti mau dikerjakan di rumah ustadzah Fida saja. Alfi ingin hadiah yang sama seperti
kak Amel.
Kalau
boleh jujur, Alfi tidak begitu suka mewarnai. Tidak telaten meski disekolah ada
pelajaran mewarnai, menggambar sesuatu sesuai dengan pelajarannya. Tidak
seperti kak Amel yang betah berjam-jam duduk atau kadang sambil tiduran,
menghabiskan crayon dan pensil warna untuk mewarnai gambar-gambar.
Tapi
Alfi suka hadiah. Dia ingin mendapatkan hadiah yang sama seperti kak Amel. Tak
susah. Karena mewarnai tu mudah. Siapapun pasti bisa. Tidak ada alasan untuk
tidak mendapatkan hadiah.
Alfi
memperkirakan bahwa saat ini adalah waktunya bermain ke rumah ustadzah Fida.
Hanya dikira-kira saja sekitar angkanya. Alfi belum hafal cara membaca jam. Baginya,
setelah adzan ashar artinya boleh bermain.
Tunggu
dulu. Kalau setelah sholat ashar pasti ustadzah baru pulang sekolah. Baru
mengajar di sekolahnya. Jadi Alfi masih duduk-duduk di teras sambil menunggu
waktu yang tepat untuk pergi.
Dia
sudah ijin ke nenek. Ah, nenek suka lupa sudah ijin atau belum. Nenek terus
saja bertanya mau kemana. Padahal jelas-jelas suara Alfi keras dan mestinya
terdengar nenek.
Alfi
melihat jam dinding. Jarum pendek sudah bergerak melebihi angka 4. “Wah sudah
kelewatan!” Alfi berteriak lantang. Dikayuhnya sepeda itu kuat-kuat. Tiba juga
dirumah ustadzah Fida. Seperti biasa, ustadzah mdasih menyiram tanaman.
Alfi
menunggu di teras sambil menceritakan kejadian selama dua minggu di sekolah. Teman-temannya yang jahil bin usil
tetap saja melakukan kegiatan yang dibencinya. Menyembunyikan penghapus, benda
kecil yang mudah hilang baik sengaja maupun tidak. Alfi sampai menangis. Satu minggu
kehilangan 5 penghapus. Ustadzah Hani bertindak cepat. Sayangnya mereka yang
menyembunyikan pensil ini selalu lupa menaruh. Hilang!
Ustadzah
Fida memintanya untuk menggambar saja. Tidak perlu menunggunya sampai selesai
menyiram. Pasti lama. Tapi Alfi tetap bertahan. Dia bercerita apa saja. Satu
cerita tentang kejadian di sekolah selesai, lanjut dengan cerita tentang kak Amel
dan nenek. Cerita Alfi seperti air bah, mengalir deras tak terbendung. Kata-katanya
meluncur cepat seolah tak punya waktu lama untuk bertemu ustadzah.
Ustadzah
Fida, diam saja tak memberinya komentar selain senyum atau tertawa kecil. Tapi
bagi Alfi itu saja sudah cukup menyenangkan.
Sayangnya
kebersamaan dengan ustadzah Fida harus segera berakhir. Ada tamu yang memiliki
urusan penting. Iya, kalau bukan penting lalu mengapa Alfi disuruh pulang cepat-cepat.
Ceritanya belum selesai.
Wajah
ustadzah Fida bersemu merah. Senyumnya tak pernah lepas semenjak kedatangan
tamu tadi. Lalu, sedikit ragu berkata pelan.
Alfi
masih diam tak mengerti. Urusan orang dewasa terlalu rumit baginya. Dia rela
jika harus menunggu hingga tamu itu pulang. Tapi ustadzah Fida buru-buru masuk ke
dalam rumah dan berganti baju. Lama.
“Besok
main lagi ya,” kata ustadzah begitu saja.
Alfi
murung. Ditatapnya sekali lagi laki-laki di depannya. Dia pulang tanpa mengucap
salam. Dibawanya kembali buku gambar itu. Ustadzah Fida belum sempat
melihatnya. Dan hadiah yang diinginkan tak akan pernah ada.
Ustadzah
Fida berbohong lagi. Dia sibuk berurusan dengan orang itu. Dulu juga begitu. Orang
yang sama seperti dua minggu yang lalu. Yang merampas waktunya bersama ustadzah
Fida.
#blogtobook
^_^
sumber gambar: internet kecuali kotak pensil.
sumber gambar: internet kecuali kotak pensil.
Hai mba, tulisan yang daya ceritanya kece :)
BalasHapusMakasih sudah berbagi :)
Terima kasih mba Al.
HapusSek ta Mbak, Amel di DS ta?
BalasHapusini ada sambungannya bkn mba? hehe
BalasHapusIya, mba. Kelanjutannya masih dalam proses...hihi.
Hapuskayak lagi ngikutin kisah beneran mba hihi
BalasHapusHahaha..makasih mba.
Hapus