Jika Anak Sakit di Sekolah
Selasa, 07 Februari 2017
8 Komentar
Tiba-tiba
saya dikejutkan dengan panggilan telpon dari nomor sekolahnya anak-anak. Hati ini langsung deg-degan juga. Tidak mungkin ustadzah
menelpon tanpa alasan pada jam pelajaran di sekolah. Pasti ada sesuatu dengan
anak saya. Sesuatu yang penting, bukan!
Tidak
hanya sekali ini saya mendapat telpon dari ustadzah. Pernah pula ada pemberitahuan melalui
WA. Jujur, saya lebih suka ditelpon. Kalau pesan sih bisa terlewat. Sayang
bukan kalau tidak terbaca, padahal penting. Sementara saya tidak selamanya
mantengi handphone.
Nah,
dengan berbicara lewat telepon, pesan langsung saya terima. Saya juga bisa
bertanya mengenai keadaan si anak. Lalu saya segera mengambil
keputusan dan tindakan.
Seperti
yang terjadi di hari Senin lalu. Saya bergegas mengangkat telpon. Anak saya sakit. Nah, lho. Bagaimana ini? Tadi
berangkat ke sekolah baik-baik saja alias sehat wal afiat. Berangkat ke sekolah dengan naik sepeda. Riang pula wajahnya. Tak ada kesan dia sendang sakit.
Yeah,
keadaan seseorang bisa berubah begitu saja. Yang tampak segar bugar bisa saja
sakit. Begitu tiba-tiba. Tentang si anak, saya tidak tahu penyebabnya.
Dua
hari sebelumnya kami ikut keluar kota, menemani suami yang sedang lembur. Sudah
menjadi kebiasaan kami, ikut saja ketika suami ada pekerjaan di hari libur
(Sabtu dan Minggu). Selama anak-anak libur, kami berangkat saja. Toh, ini tidak
setiap minggu.
Mungkin
si anak sedang kecapekan yang mengakibatkan staminanya menurun. Tapi sudahlah,
saya harus segera menjemputnya.
Langsung
saja saya mencari di kelasnya. Saat itu sedang ada kegiatan belajar mengajar. Ustadzah
menyambut saya dan segera mengajak menemui si anak yang terbaring lemas. Badannya
panas, kepala pusing.
Untungnya
suami sedang ada di rumah. Bisa ikut ke sekolah dan mengurus anak. Perasaan saya
juga lebih tenang menghadapi situasi seperti ini.
Tapi
beberapa kali saya yang harus menjemput anak sakit, sendirian. Mulai mencari si anak
hingga membawanya pulang itu tak mudah. Butuh kesabaran ekstra.
Pernah
saya mondar-mandir di sekolah. Waktu itu ashar. Jelas saja, para guru dan murid
sedang sholat. Saya lihat di kelasnya, kosong. Di UKS juga tidak ada. Lalu anak
saya dimana? Sambil menunggu anak-anak dan guru melaksanakan sholat, saya duduk
di bangku. Di dekat saya ada ibu yang mau menjemput anaknya. Seperti biasanya, kamipun
mengobrol.
“Kalau
tahu anaknya sakit, kenapa nggak dijemput sama ayahnya? Dulu saya boncengan
sama suami. Saya pegangi anak, dan ayahnya yang nyetir...”
Saya
mendengarkan saya sampai dia selesai bicara. Dalam hati, sayapun ingin ada suami di dekat saya. Siapapun kita, pasti
senang bisa bersama-sama mengurus anak-anak. Melalui dalam suka dan duka. Setiap hari bisa bertemu. Faktanya saya harus mengurus
sendiri.
“Suami
saya di luar kota, bu.” Akhirnya saya buka kartu. Bagaimanapun nasihat si ibu
tidak tidak akan memecahkan masalah saya saat itu. Kemudian hening.
Tentu
situasinya berbeda dengan si ibu tadi. Saya harus memutuskan segala sesuatunya
sendiri. Saya percaya selalu ada jalan keluarnya. Meski kadang saya galau juga. Banyak pertanyaan yang muncul secara tiba-tiba.
Nanti pulangnya bagaimana? Kalau tidak kunjung sembuh harus bagaimana? Persoalan
demi persoalan seolah sedang membelit saya. Sementara saya harus melangkah
sendiri.
Ketika
selesai sholat saya menghampiri ustadzahnya. Ternyata anak saya meringkuk di
belakang bangku sekolah. Pantas saja, tadi saya tak menemukan di kelasnya. Saya
sih tidak sampai melihat hingga kolong bangku sekolah.
Syukurlah
teman-teman sekelasnya baik. Ada yang membantu membereskan semua peralatan
tulisnya. Bahkan tempat minum, wadah bekal, sudah siap di depan saya. Tinggal
dimasukkan ke dalam tas.
Masalah
lainnya adalah ketika dia berangkat sekolah tadi membawa sepeda. Sekarang nasibnya
bagaimana kalau si anak pulang bersama saya? Pastinya sepeda terbengkalai. Huff,
mulai kacau deh!
Lupakan
masalah lain-lain. Saya ingin membawa anak saya pulang. Iya, naik motor. Urusan
sepeda, tugas sekolah, menyusul.
Membawa
anak yang sedang sakit itu bukan perkara mudah. Tubuh lemas dan saya kesulitan
membawanya ke motor. Diajak berkomunikasi
juga susah. Bahkan mau bangun saja sulit. Pusing sekali sehingga seluruh
tubuhnya nyeri dan berat. Mau menggendong, ah saya tidak sanggup. Jadi bagaimana
ini?
Beberapa
anak mengerubunginya. Memanggil namanya dan berusaha membangunkan. Tidak ada
reaksi. Seolah sedang kesakitan sekali, dia meringkuk. Tak bergerak.
Ustadzah
menceritakan keadaannya. Sebenarnya sudah dari tadi pagi sakitnya, tapi dia
bertahan. Akibatnya bukan sembuh, tapi makin parah hingga sulit bangun. Seperti
ini, saya harus berkali-kali mengajaknya bangun
dan pulang.
Teman-temannya
bahkan menawarkan diri untuk menggendong. Hah! Mendengar suara berisik, akhirnya
si anak bangun. Dengan sisa-sisa tenaganya perlahan berdiri. Sampai-sampai dua
temannya memegangi lengan dan pundak agar tidak jatuh. Saya merangkul dan
menuntunnya berjalan menuju sepeda motor.
Jalannya
dekat saja. Motor saya sudah siap di depan kelasnya. Tapi keluhannya bukan
main. Antara menahan sakit dan ingin segera tiba di rumah. Situasi semacam ini membuat
saya gugup.
Sebelum
ke kelasnya saya sudah menemui pak satpam. Saya meminta untuk menjaga sepeda
anak saya. Katanya sih aman! Mau seperti apa ketika sepeda ditinggal, bukan hal
penting untuk dipermasalahkan. Apalagi ustadzah kemudian mendukung keinginan
saya untuk menitipkan sepeda di sekolah.
Sesaat
sebelum sepeda motor saya melaju, seorang temannya mendekat, “Te, nanti
sepedanya tak bawa pulang saja.”
Anak
ini memang rumahnya dekat dengan rumah kami. Sering main ke rumah dan saya bisa
percaya kepadanya.
Wah,
rasanya ada beban yang turun di pundak saya. Alhamdulillah. Semuanya ada jalan
keluar. Pikiran jadi tenang. Lalu motor melaju pelan-pelan.
Dalam
kasus seperti ini orang tua meskipun melihat anaknya berangkat sekolah dalam keadaan
baik-baik saja, tapi tetap tak bisa menjamin si anak seperti itu. Yang penting
sebelum berangkat saya tahu kondisi anak-anak. Tapi kalau sejak berangkat saya
tahu bahwa si anak kurang sehat tapi mau sekolah, biasanya saya antar dan
jemput. Sekaligus berpesan, jika sakit segera lapor gurunya. Sehingga saya bisa segera datang menjemput. Lalu si anak bisa istirahat dengan tenang di rumah.
^_^
Yang bikin bisa lepas satu beban adalah, ketika ada temannya yang bilang "sepedanya saya bawa pulang saja" ringan tapi membantu banget ya mbak buat kita emak-emak yang ada di posisi seperti itu. Sudah pasti Allah yang menggerakkan hatinya, mungkin karena anaknya baik di sekolah mbak, makanya teman-temannya pada sayang. Semoga sehat selalu ya Nak?
BalasHapusIya, alhamdulillah semuanya dimudahkan.
HapusSehat terus ya nak habis ini... Jadi kbayang nnti klo saat anak tiba2 sakit di sekolah. Klo suami lagi di kantor pasti susah buat mobile ....jemput barengan
BalasHapusAamiin. Makasih.
HapusBeneran yang mendadak gini bikin galau. Pokoknya dijemput saja, yang lain-lain dipikirkan nanti.
aku juga pernah nih mbak anak sakit di sekolah..untung sekolahnya deket rumah
BalasHapusKalau dekat, gampang jemputnya ya.
HapusTemen2 anaknya baek bgd mbk, peduli..
BalasHapusBtw semoga si kecil lekas pulih ya mbk dan maaksih share ceritanya yak, tambahan ilmu nih buat daku :)
Saling menolong, mba.
Hapus