Jika Anak Sakit di Sekolah





Tiba-tiba saya dikejutkan dengan panggilan telpon dari nomor sekolahnya anak-anak. Hati ini langsung deg-degan juga. Tidak mungkin ustadzah menelpon tanpa alasan pada jam pelajaran di sekolah. Pasti ada sesuatu dengan anak saya. Sesuatu yang penting, bukan!


Tidak hanya sekali ini saya mendapat telpon dari ustadzah. Pernah pula ada pemberitahuan melalui WA. Jujur, saya lebih suka ditelpon. Kalau pesan sih bisa terlewat. Sayang bukan kalau tidak terbaca, padahal penting. Sementara saya tidak selamanya mantengi handphone.

Nah, dengan berbicara lewat telepon, pesan langsung saya terima. Saya juga bisa bertanya mengenai keadaan si anak. Lalu saya segera mengambil keputusan dan tindakan.

Seperti yang terjadi di hari Senin lalu. Saya bergegas mengangkat telpon. Anak saya sakit. Nah, lho. Bagaimana ini? Tadi berangkat ke sekolah baik-baik saja alias sehat wal afiat. Berangkat ke sekolah  dengan naik sepeda. Riang pula wajahnya. Tak ada kesan dia sendang sakit.

Yeah, keadaan seseorang bisa berubah begitu saja. Yang tampak segar bugar bisa saja sakit. Begitu tiba-tiba. Tentang si anak, saya tidak tahu penyebabnya.

Dua hari sebelumnya kami ikut keluar kota, menemani suami yang sedang lembur. Sudah menjadi kebiasaan kami, ikut saja ketika suami ada pekerjaan di hari libur (Sabtu dan Minggu). Selama anak-anak libur, kami berangkat saja. Toh, ini tidak setiap minggu.

Mungkin si anak sedang kecapekan yang mengakibatkan staminanya menurun. Tapi sudahlah, saya harus segera menjemputnya.

Langsung saja saya mencari di kelasnya. Saat itu sedang ada kegiatan belajar mengajar. Ustadzah menyambut saya dan segera mengajak menemui si anak yang terbaring lemas. Badannya panas, kepala pusing.

Untungnya suami sedang ada di rumah. Bisa ikut ke sekolah dan mengurus anak. Perasaan saya juga lebih tenang menghadapi situasi seperti ini.

Tapi beberapa kali saya yang harus menjemput anak sakit, sendirian. Mulai mencari si anak hingga membawanya pulang itu tak mudah. Butuh kesabaran ekstra.

Pernah saya mondar-mandir di sekolah. Waktu itu ashar. Jelas saja, para guru dan murid sedang sholat. Saya lihat di kelasnya, kosong. Di UKS juga tidak ada. Lalu anak saya dimana? Sambil menunggu anak-anak dan guru melaksanakan sholat, saya duduk di bangku. Di dekat saya ada ibu yang mau menjemput anaknya. Seperti biasanya, kamipun mengobrol.

“Kalau tahu anaknya sakit, kenapa nggak dijemput sama ayahnya? Dulu saya boncengan sama suami. Saya pegangi anak, dan ayahnya yang nyetir...”

Saya mendengarkan saya sampai dia selesai bicara. Dalam hati, sayapun ingin ada suami di dekat saya. Siapapun kita, pasti senang bisa bersama-sama mengurus anak-anak. Melalui dalam suka dan duka. Setiap hari bisa bertemu. Faktanya saya harus mengurus sendiri.

“Suami saya di luar kota, bu.” Akhirnya saya buka kartu. Bagaimanapun nasihat si ibu tidak tidak akan memecahkan masalah saya saat itu. Kemudian hening.   

Tentu situasinya berbeda dengan si ibu tadi. Saya harus memutuskan segala sesuatunya sendiri. Saya percaya selalu ada jalan keluarnya. Meski kadang saya galau juga. Banyak pertanyaan yang muncul secara tiba-tiba. Nanti pulangnya bagaimana? Kalau tidak kunjung sembuh harus bagaimana? Persoalan demi persoalan seolah sedang membelit saya. Sementara saya harus melangkah sendiri.

Ketika selesai sholat saya menghampiri ustadzahnya. Ternyata anak saya meringkuk di belakang bangku sekolah. Pantas saja, tadi saya tak menemukan di kelasnya. Saya sih tidak sampai melihat hingga kolong bangku sekolah.

Syukurlah teman-teman sekelasnya baik. Ada yang membantu membereskan semua peralatan tulisnya. Bahkan tempat minum, wadah bekal, sudah siap di depan saya. Tinggal dimasukkan ke dalam tas.

Masalah lainnya adalah ketika dia berangkat sekolah tadi membawa sepeda. Sekarang nasibnya bagaimana kalau si anak pulang bersama saya? Pastinya sepeda terbengkalai. Huff, mulai kacau deh!

Lupakan masalah lain-lain. Saya ingin membawa anak saya pulang. Iya, naik motor. Urusan sepeda, tugas sekolah, menyusul.

Membawa anak yang sedang sakit itu bukan perkara mudah. Tubuh lemas dan saya kesulitan membawanya ke motor.  Diajak berkomunikasi juga susah. Bahkan mau bangun saja sulit. Pusing sekali sehingga seluruh tubuhnya nyeri dan berat. Mau menggendong, ah saya tidak sanggup. Jadi bagaimana ini?

Beberapa anak mengerubunginya. Memanggil namanya dan berusaha membangunkan. Tidak ada reaksi. Seolah sedang kesakitan sekali, dia meringkuk. Tak bergerak.

Ustadzah menceritakan keadaannya. Sebenarnya sudah dari tadi pagi sakitnya, tapi dia bertahan. Akibatnya bukan sembuh, tapi makin parah hingga sulit bangun. Seperti ini, saya harus berkali-kali mengajaknya bangun  dan pulang.

Teman-temannya bahkan menawarkan diri untuk menggendong. Hah! Mendengar suara berisik, akhirnya si anak bangun. Dengan sisa-sisa tenaganya perlahan berdiri. Sampai-sampai dua temannya memegangi lengan dan pundak agar tidak jatuh. Saya merangkul dan menuntunnya berjalan menuju sepeda motor.

Jalannya dekat saja. Motor saya sudah siap di depan kelasnya. Tapi keluhannya bukan main. Antara menahan sakit dan ingin segera tiba di rumah. Situasi semacam ini membuat saya gugup.

Sebelum ke kelasnya saya sudah menemui pak satpam. Saya meminta untuk menjaga sepeda anak saya. Katanya sih aman! Mau seperti apa ketika sepeda ditinggal, bukan hal penting untuk dipermasalahkan. Apalagi ustadzah kemudian mendukung keinginan saya untuk menitipkan sepeda di sekolah.

Sesaat sebelum sepeda motor saya melaju, seorang temannya mendekat, “Te, nanti sepedanya tak bawa pulang saja.”

Anak ini memang rumahnya dekat dengan rumah kami. Sering main ke rumah dan saya bisa percaya kepadanya.

Wah, rasanya ada beban yang turun di pundak saya. Alhamdulillah. Semuanya ada jalan keluar. Pikiran jadi tenang. Lalu motor melaju pelan-pelan.

Dalam kasus seperti ini orang tua meskipun melihat anaknya berangkat sekolah dalam keadaan baik-baik saja, tapi tetap tak bisa menjamin si anak seperti itu. Yang penting sebelum berangkat saya tahu kondisi anak-anak. Tapi kalau sejak berangkat saya tahu bahwa si anak kurang sehat tapi mau sekolah, biasanya saya antar dan jemput. Sekaligus berpesan, jika sakit segera lapor gurunya. Sehingga saya bisa segera datang menjemput. Lalu si anak bisa istirahat dengan tenang di rumah.

^_^
Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

8 Komentar untuk "Jika Anak Sakit di Sekolah"

  1. Yang bikin bisa lepas satu beban adalah, ketika ada temannya yang bilang "sepedanya saya bawa pulang saja" ringan tapi membantu banget ya mbak buat kita emak-emak yang ada di posisi seperti itu. Sudah pasti Allah yang menggerakkan hatinya, mungkin karena anaknya baik di sekolah mbak, makanya teman-temannya pada sayang. Semoga sehat selalu ya Nak?

    BalasHapus
  2. Sehat terus ya nak habis ini... Jadi kbayang nnti klo saat anak tiba2 sakit di sekolah. Klo suami lagi di kantor pasti susah buat mobile ....jemput barengan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Makasih.

      Beneran yang mendadak gini bikin galau. Pokoknya dijemput saja, yang lain-lain dipikirkan nanti.

      Hapus
  3. aku juga pernah nih mbak anak sakit di sekolah..untung sekolahnya deket rumah

    BalasHapus
  4. Temen2 anaknya baek bgd mbk, peduli..
    Btw semoga si kecil lekas pulih ya mbk dan maaksih share ceritanya yak, tambahan ilmu nih buat daku :)

    BalasHapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel