Alarm
Rabu, 13 September 2017
8 Komentar
Sudah
bertahun-tahun ini tubuh saya memiliki alarm untuk bangun pagi. Seolah ada yang
membangunkan, tubuh dengan ikhlas bergerak untuk melakukan rutinitas. Tidak ada
yang menolak. Mata yang berangsur membuka, melihat waktu dan ya...saya bangun.
Tapi
bagaimana dengan anak-anak?
Memiliki
tiga anak bukan berarti urusan bangun tidur ini mudah, semudah orang tuanya.
Mulai dari anak pertama hingga anak ketiga, semuanya memiliki keunikannya
sendiri. Ada yang sekali dipanggil sudah mau bangun. Masih malas, tapi ada
keinginan untuk bangun. Ada juga yang sampai harus bolak-balik membangunkan.
Padahal
urusan di pagi hari bukan hanya membangunkan anak. Tapi saya harus membuat
prioritas. Bahwa saya memiliki tugas untuk membiasakan anak-anak bangun pagi
dan shalat shubuh berjamaah di masjid.
Kadang
sempat terpikir, kapan anak-anak sadar akan hal ini. Bahwa bangun pagi
dilanjutkan sholat shubuh tepat waktu adalah untuk kebaikan mereka juga.
Kasus
seperti yang saya alami ternyata sering melanda anak-anak lain. Lalu terbersit
untuk sharing dengan para ibu. Saya jelas
membutuhkan solusi. Mungkin saya kurang sabar, kurang kreatif, kurang semangat, dsb.
Beberapa
kali saya ngobrol dengan teman-teman tentang cara efektif membangunkan anak-anak.
Intinya tidak ada cara yang benar-benar ampuh. Disesuaikan saja dengan
kebiasaan dalam keluarga kita. Berikut ini saya rangkum dari obrolan kami.
Cara membangunkan
anak:
- Sosialisasi dan sugesti. Malam hari sebelum tidur adalah waktu yang tepat untuk memberi sugesti. Bahwa besok anak-anak akan bangun pagi dengan ceria dan shalat berjamaah di masjid.
- Mematikan AC. Anak-anak itu peka. Ketika ruang tempat dia tidur tidak nyaman, gerah dia akan bangun.
- Memberi sedikit air. Bisa mengusap wajahnya agar segar atau menciprati air. Efeknya, tubuh terasa lebih segar.
- Langsung dibangunkan. Panggil anak-anak dan ajak untuk sholat shubuh.
- Menyalakan alarm. Bisa menggunakan handphone dan jam weker.
Bisa
dikatakan menjelang baligh anak-anak sudah paham kewajibannya. Sudah mengerti
mengapa mereka harus bangun pagi dan sholat shubuh berjamaah di masjid. Sudah
ada kebiasaan.
Membuat
kebiasaan sejak kecil itu lebih mudah. Saya seperti sedang berada di fase A, B,
dst. Di setiap fase itu ada kemajuan. Ada yang cepat dan ada yang perlahan.
Anak-anak dan orang tua adalah sebuah tim. Tidak ada perbuatan yang sia-sia
jika diniatkan karena ikhlas. Meski untuk menikmati proses itu menguras emosi.
***
Pernah
sekali-sekali anak-anak tertinggal shalat shubuh berjamaah. Efeknya luar biasa.
Butuh waktu untuk penyesalan disusul dengan kemarahan. Tapi mereka harus paham
bahwa bangun pagi itu bukan menunggu panggilan ibu dan mengabaikan alarm yang
membuat berisik telinga saya.
Untuk
waktu-waktu yang tidak biasa, saya bisa mengandalkan alarm. Misalnya kalau
ingin bangun malam, mengerjakan sesuatu. Lumayan terbantu. Tapi tidak dengan
anak-anak!
Saya
termasuk orang yang tidak menyukai bunyi-bunyian sebagai pengantar tidur. Seperti
musik, sudah lama membuat jeda. Atau murottaal. Meski sering memperdengarkan
murottal buat si bungsu menjelang tidurnya, tapi begitu dia sudah tidur,
kembali senyap.
![]() |
Gambar: Tokopedia |
Ketika
alarm berbunyi saya langsung bangun dan mematikan. Kalau saya merasa terganggu
sekali, sementara ada yang membiarkannya sampai adzan shubuh berkumandang.
Seperti
anak saya yang masih terlelap ketika alarm handphone berbunyi. Dari pukul
berapa sampai menjelang adzan shubuh, ternyata tidak kunjung bisa membuat si
anak bangun. Saya yang tidur di kamar sebelah sampai bosan mendengarnya.
Sempat
saya menaruh handphone yang sedang berbunyi itu di telinga si anak. Tetap tidak
bisa bangun.
Ibu
bisa kehabisan akal kalau begini. Tetap cara yang ampuh untuk membangunkan si
anak adalah dengan mendekati dan memanggil namanya. Mengelus tubuhnya. Berulang
sampai si anak bangun.
Urusan
bangun tidur belum selesai sebelum si anak benar-benar berangkat sholat
berjamaah di masjid. Bagi saya ini seperti sedang melatih kegigihan orang tua. Sampai
dimana kita bakal sanggup mengajak anak-anak dalam membuat kebiasaan ini.
Mengapa
anak susah bangun pagi?
Biasanya
karena tidur terlalu larut, jadi jatah untuk tidur masih kurang. Akhirnya
ketika bangun pagi masih malas. Masih ingin tidur. Bisa jadi karena kecapekan
dengan kegiatan-kegiatan sebelumnya. Sehingga dibutuhkan waktu istirahat yang
lebih lama.
Bolehlah
si anak membuat bermacam alasan. Entah malas bangun, masih ngantuk, capek. Namun
mengenalkan dan membiasakan kewajiban seorang muslim adalah tugas saya sebagai
orang tua. Betapapun banyak alasan mereka, tetap bangun pagi dan sholat shubuh
berjamaah adalah utama.
Sementara
alarm hanyalah benda, bantuan, dan pengingat agar tertib untuk bangun pagi. Selama
kita mengabaikan, selama itu pula alarm akan sia-sia.
^_^
Baru kemarin kejadian Mb Nur. Si kecil baru bangun 6.30 . Padahal dari jam 6 udah dibangunin. Bukannya langsung mandi. Eh doi malah nonton kartun dulu. Mandi jam 7 kurang 5 menit. 10 menit sebelum dijemput
BalasHapusUdah deh bener-bener drama ... Hihihi
Kalau anak-anakku itu seringnya habis bangun, sholat shubuh lanjut tidur lagi. Ini yang menjadi penyebab drama di pagi hari.
HapusTidur gak lebih dari pukul 9 malam juga jadi salah satu cara saya supaya anak-anak bisa bangun pagi
BalasHapusSetuju, mba.
HapusSemangatttt bunda. Sudah terbayang oleh saya bagaimana repotnya dan menguras emosinya ya. 😃
BalasHapusHehe..iya. Makasih.
HapusAlarm bisa membantu banyak y mbak
BalasHapusKunbal y
Iya.
Hapus