Mengantar Anak Merantau
Selasa, 19 September 2017
8 Komentar
Mengantarkan
anak merantau bukan berarti mengantarkan si anak ke tempat tujuan, nun jauh dari kampung halaman. Lebih tepatnya
mengantarkan kesiapan anak untuk merantau. Ya, demi mencari ilmu, saya
melepaskan si sulung untuk merantau.
Di
awal memang terasa berat. Masih ada bayang-banyang anak di rumah. Di setiap
sudut rumah. Di setiap momen yang biasa kita lalui. Tapi saya sadar, tidak ada
yang abadi di dunia. Pun ketika saya selalu bersamanya. Cepat atau lambat
anak-anak akan belajar untuk mandiri. Memulai petualangan barunya sebagai
pelajar, anak kuliah atau pekerja.
Ada
yang menyayangkan keputusan ini. “Buat apa sih sekolah jauh. Kasihan dia, nanti
makannya gimana, nggak bisa ketemu orang tua, dsb!”
Saya
mendengarkan saja semua kata-kata tersebut. Saya yakin dengan keputusan ini. Tidak
ada yang ujug-ujug sekolah ke luar
kota. Semua ada proses. Ada persiapan agar si anak maupun saya “ikhlas” ketika
SMA diluar kota.
Yang
perlu dilakukan orang tua menjelang anak merantau:
- Survey sekolah
- Persiapan psikologis
- Sesuai dengan dana pendidikan
Ketika
kelas 3 SMP, saya mulai mengajak si anak untuk survey sekolah dan pondok. Memang
kita berkunjung ke beberapa sekolah. Dari sana kita bisa melihat situasi dan
kondisi sekolah. Bisa pula memantau lewat website sekolah. Ada sekolah yang welcome banget dengan calon wali murid
dan siswa.
Sayang
di sekolahnya ini tidak. Karena sekolah negeri jadi orang tua yang harus aktif
mencari info. Tidak perlu baper jika rasa ingin tahu kita tidak terjawab dengan
baik. Kita bisa bertanya kepada para alumni atau orang tua yang anaknya sekolah
disana.
Sebenarnya
ketika ada wacana untuk sekolah di luar kota, si anak memang sudah
dipersiapkan. Sering-sering saja kita ajak diskusi tentang sekolah baru. Kalau
mendekati hari pendaftaran baru kita ajak diskusi, khawatirnya anak kaget,
belum siap mental, dsb.
Orang
tua pastinya lebih mengetahui kesiapan si anak. Misal, anaknya sudah mandiri. Baik
untuk mengurus diri sendiri, mengatur waktu, bersosialisasi maupun untuk
mengejar cita-cita. Si anak sudah mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.
Mandiri
itu tidak tergantung oleh usia. Ada anak yang lebih mandiri daripada si sulung.
Tapi ada juga yang menjelang kuliah ke luar kota saja masih berat berpisah
dengan orang tua.
Dalam
tes, pihak sekolah pasti melihat aspek kemandirian ini. Jadi, ketika orang tua mulai
melepas anak, tidak ada kekhawatiran yang berlebihan. Seperti ini, “Nanti
anakku makan apa. Aduh kalau nyuci baju bagaimana.” Dan masih banyak persoalan
lainnya.
Jika
si anak katakanlah sudah mandiri, sudah mampu mencari solusi terhadap
masalahnya. Bagaimana dia akan menyesuaikan diri di lingkungan baru. Bagaimana dia
beraktivitas dan mengembangkan potensi diri.
Kemudian
tentang dana. Ketika sudah niat sekolah, orang tua sebaiknya sudah siap dengan
dana pendidikannya. Termasuk uang saku anak. Memang untuk makan sudah
disediakan dari asrama. Namun apakah anak
tidak membutuhkan biaya lain-lain? Ini yang perlu disepakati oleh orang tua dan
anak agar uang yang dimiliki cukup untuk menunjang hidupnya disana.
Di
awal sekolah merupakan masa yang “berat”. Inilah masa adaptasi yang sebenarnya.
Mungkin kelihatannya sepele, tapi perlahan ada sesuatu yang hilang. Orang tua
yang merasa kehilangan anak dan anak yang merasa menjauh dari segala
kenikmatan. Ops!
Kalau
di rumah keinginan anak terpenuhi, walau tidak semua. Namun di asrama, makan
sesuai dengan jadwal menu. Masih lapar? Nah, usaha sendiri, mencari snack dan
minuman. Sedangkan di rumah, makanan dan minuman sudah tersedia.
Demikian
juga masalah baju. Ada laundry dari pihak sekolah. Sayang, beberapa kasus
membuat si anak harus mencuci sendiri bajunya, dan perlengkapan sekolahnya. Kalau
hujan kehujanan, karena anaknya sekolah. Atau kadang tertukar, dipakai teman,
rusak.
Untungnya
anak saya cuek. Masalah kehilangan barang sepertinya sudah menjadi menu rutin. Kadang
karena teledor, tapi kadang juga karena apes. Ya sudah, diikhlaskan saja.
Di
awal sekolah, karena kita orang pantai sementara disana berhawa sejuk, tubuh
butuh waktu untuk menyesuaikan. Selama enam bulan pertama, anak saya sering sakit
dan tidak masuk sekolah. Kalau batuk pilek itu sudah sehari-hari. Namun kalau
sampai demam, si anak harus istirahat. Alhamdulillah sampai hari ini dia bisa
melewatinya.
Selanjutnya
masalah pendidikan. Benarkah sekolah yang diinginkan itu sesuai dengan
kemampuannya. Tak jarang saya mendengar kabar anak yang keluar setelah beberapa
waktu sekolah. Ada yang merasa tidak betah, baik karena lingkungan maupun
pendidikannya.
Sebisa
mungkin kita mencari tahu seperti apa sistem pendidikannya. Apakah memang
sesuai dengan keinginan dan kemampuan si anak. Kasihan kalau anak merasa
terbebani dengan keinginan orang tua.
Well, sekolah adalah pilihan anak dan orang tua. Kalau melihat anak senang rasanya orang tuapun harus ikut senang.
Pertama
kali saya mengunjungi si sulung, saya bertanya apakah dia sanggup menjalani
sekolah disana. Anak saya santai saja (memang tipe anak seperti itu sih). Jika anak
sudah siap maka insyaAllah dia akan sanggup menjalani beban dan tugas dalam
belajarnya. Saya dan suami jadi lega.
^_^
Tugas orang tua memang melepas anak pelan-pelan supaya mereka mandiri. Berat memang tapi saatnya pasti akan tiba
BalasHapusPerlahan, anak - anak akan keluar dari rumah, mengejar cita-citanya.
HapusInsyaAllah anak mbak Rochma akan menjadi anak yg mandiri dan mampu bertanggungjawab
BalasHapusAamiin.
HapusMungkin begini ya, perasaan mama dan papa saat melepas aku untuk mulai merantau mencari penghidupan di kota lain. Tapi, alhamdulillah semua baik baik saja.
BalasHapusTerima kasih atas sharing-nya.
Sama-sama.
HapusJd inget pas dulu pertama kali hrs pisah dr ortu, pas smu. Tapi jujurnya aku malah happy banget mba hahahahaha.. Berasa lepas dr sarang. Makanya kalo nanti anakku udh mulai smu, aku jg mau lepas. Kalo bisa malah smp. Biar mandiri lbh cepet terasah :)
BalasHapusAku kuliah baru merantau. Kadang nggak sampai sebulan sudah pulang. Nggak jauh-jauh sih. Ada senangnya bisa bebas. Tapi ketika berada dalam posisi sebagai ibu, ternyata rasanya nano-nano.
Hapus