Jelajahi Nusantara, Dari Desa Ke Ibukota
Rabu, 04 April 2018
14 Komentar
Setiap
melihat foto keindahan nusantara saya berharap suatu saat bisa berkunjung ke
tempat-tempat tersebut. Keinginan yang tak muluk, karena tak harus datang dari
ujung ke ujung, pelosok ke pelosok negeri. Saya tahu batas kemampuan tubuh, modal hingga persiapan
lainnya.
Beberapa
tempat wisata yang pernah saya kunjungi membuat saya semakin yakin bahwa
Indonesia itu indah. Ya, kitalah yang memilikinya, kita juga yang mendukungnya
dengan berbagai cara. Support wisata lokal hingga kuliner lokal.
Keelokan pelosok nusantara seperti sebuah magnet, memiliki daya tarik dari
waktu ke waktu. Begitu alami, unik dan tak kalah dengan destinasi wisata di
mancanegara. Seperti Yogyakarta yang selalu bikin kangen, Jakarta yang segudang
keramaiannya, Bali yang cantik dan daerah-daerah lainnya. Semua indah dan mudah
dikunjungi dengan pesan Tiket Pesawat
untuk perjalanan kita.
Oh
ya, minggu lalu saya bersama keluarga besar dari suami berangkat ke Jakarta
dengan tujuan utama menghadiri undangan pernikahan seorang kerabat. Perjalanan yang
melelahkan. Tapi tetap bikin kangen. Suasana perjalanan dan orang-orang yang
sempat saya temui dalam perjalanan.
Untuk
memudahkan perjalanan kita bisa memesan Tiket Pesawat Garuda Indonesia. Unduh dan pasang aplikasi Skyscanner di smartphone kita. Skyscanner merupakan situs pencarian wisata dunia yang jujur dan terpercaya, meliputi penerbangan, hotel dan sewa mobil. Disini ada layanan fitur info harga untuk update tiket pesawat tiap hari. Sst... sering ada promo, loh! Nikmati
kemudahannya hingga kenyamanannya. Aih.... baru datang rasanya ingin pergi
lagi....
Menjelajahi
nusantara bukan saja tentang menginjakkan kaki ke pelosok negeri, namun juga mengenal
wajah Indonesia beserta segenap keunikannya. Mengenal budaya, seperti saat kami melihat dua ondel-ondel dipinggir jalan (Sayang tidak sempat memotret). Segera saja saya memanggil anak-anak. Lalu bercerita sedikit tentang ondel-ondel. Ya, ondel-ondel adalah boneka besar dan tinggi yang biasa digunakan orang-orang Betawi dalam pesta-pesta rakyat. Wajah ondel-ondel perempuan biasanya dicat warna putih sedangkan laki-laki dengan warna merah.
Meski kami sempat
ragu menjelang keberangkatan ke Jakarta, rombongan keluarga kami tetap melakukan persiapan sebelum berangkat. Betapa repotnya
menempuh perjalanan bersama orang tua hingga anak balita. Barang bawaan yang
tak sedikit. Bayangan rute yang jauh juga suasana ibu kota yang jelas berbeda
dengan di daerah. Makanan lokal berbeda dengan daerah pesisir yang cenderung
asin dan pedas.
Demi
memenuhi undangan, maka semua keraguan tersebut disingkirkan. Yang pasti ada
kerinduan untuk berjumpa dengan kerabat. Ah, kapan lagi kalau tidak sekarang. Jarak
hanyalah deretan angka yang membentang.
Selama
di Jakarta, saya sekalian mengunjungi kerabat lainnya. Lumayanlah sekali jalan
bisa mempir ke rumah-rumah kerabat yang ada di Jakarta. Meski sebentar, ada haru yang
menyelimuti relung hati. Sekarang kami bisa bertemu kemudian berpisah. Waktu
tak pernah bisa seperti yang saya inginkan. Bergerak dan terus bergerak....
Ada
pengalaman yang menarik ketika saya dijemput bulik dari Depok. “Kok, lama
sih, katanya jam dua kesini. Sekarang sudah jam tiga lebih,” saya mengeluh
diujung telepon.
“Ini
Jakarta! Bukan Tuban!” kata bulik kemudian tertawa.
Iya
saya juga tahu kalau sedang berada di Jakarta. Tapi kok lama. Saya tetap saja mengeluh.
Masak sih perjalanan butuh waktu selama ini. Hampir dua jam menunggu dan katanya sedang dalam perjalanan. Selama itukah perjalanan harus ditempuh? Ini seperti perjalanan
dari Tuban ke Surabaya kalau jalan lagi lenggang.
“Di
Jakarta, sudah biasa macet. Jangan bayangkan seperti di Tuban. Kemana-mana
dekat. Nggak ada macet,” kata bulik lagi.
Meskipun
saya pernah tinggal di Jakarta di awal pernikahan, tetap saja masih terasa
suasana di kampung halaman. Akhirnya saya menunggu hingga bulik saya datang. Kemudian
saya, suami dan anak-anak ikut ke Depok. Dalam perjalanan, saya juga terus
menerus bertanya, “Masih lama nggak?”
“Nggak
kok, deket,” jawab sepupu santai. Mobil melaju melewati jalanan yang padat, bahkan sempit. Dihimpit kendaraan lain. Sepupu saya sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini tetap tenang.
Entah
sampai berapa kali saya bertanya dan jawabannya tetap sama. Sebagai penduduk jakarta, mereka sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Hanya saja sebagai orang
daerah (baca: desa) tetap saja saya merasa tak biasa. Melihat deretan kendaraan yang
tak bergerak menyisakan tanda tanya, kapan tiba di rumah bulik. Sementara badan sudah
tak karuan rasanya. Ingin segera rebahan di kasur saja.
Mumpung
sedang di Jakarta, kami ingin memaksimalkan waktu dengan silaturahim dan jalan-jalan.
Silaturahim sudah beres, tinggal jalan-jalan. Tapi kemana yang murah meriah dan
dekat dengan tempat kami menginap? Sepupu saya agak ragu menjawab, “Kalau
pengen wisata kemana ya? Kalau mall banyak!”
Mengapa
jawabannya justru ke mall. Jalan-jalan ke mall bisa membuat isi dompet semakin
kurus dan barang bawaan semakin banyak dan berat. Sudahlah, jalan ke mall tidak
ada dalam daftar tempat yang mau dikunjungi. Akhirnya kami berangkat ke Monas. Kalau
lima tahun lalu ke Monas di malam hari, kali ini sore hari hingga malam.
Sayang
membawa orang tua ke tempat seperti ini tidak cocok. Sebentar saja sudah
kelelahan. Sementara anak-anak masih kuat berjalan dan berlarian. Masih ingin berlama-lama
disini. Baiklah, diambil jalan tengah saja. Bapak mertua dan paklik menunggu di
Monas ketika kami sholat di masjid Istiqlal.
Untuk
menuju masjid Istiqlal itu kami naik bajaj. Ini seperti mengulang masa lalu. Dulu
saya juga sempat bepergian dengan bajaj. Suaranya meraung-raung membelah
jalanan yang padat. Untuk mengangkut rombongan keluarga (14 orang termasuk
anak-anak) kami menggunakan tiga bajaj. Per bajaj membayar Rp 20.000 sekali
jalan. Sopirnya sepertinya sama saja, bikin jantung deg-degan. Jalan ugal-ugalan.
Serem!
Tiba
lagi di Monas dalam keadaan bingung. Sebenarnya tadi masuk pintu mana? Ya, sudah
jalan saja, nanti juga ketemu rombongan lainnya. Meski sempat bertanya kabar, akhirnya
rombongan lainnya datang juga.
Kemudian
kami menyusul bapak mertua yang masih di Monas. Maksud hati ingin mengajak pulang, namun bapak memiliki rencana lain. Oh, tidak
bapak ingin membelikan baju dengan tulisan atau gambar Monas. Jadi kami jalan
ke pintu keluar dekat gedung Pertamina sementara yang dimaksud untuk membeli
baju ada di pintu lainnya. Awww...
Dengan
sedikit rayuan, suami berhasil membujuk bapak untuk membeli baju di tempat ini
saja. Kasihan bapak jika harus berjalan lagi. Jauh. Selanjutnya kami memesan
taxi online untuk pulang.
Mengingat
perjalanan ke Jakarta membuat saya ingin melakukan perjalanan berikutnya. Ada saja
cerita seru dan kesan di dalam setiap perjalanan. Pastikan perjalanan kita
dengan Skyscanner. Pesan Tiket Pesawat Garuda jadi lebih mudah.
Artikel
ini diikutsertakan dalam lomba blog yang diselenggarakan oleh ID Corners dan
Skyscanner.
^_^
Mbak Nur aku kok langsung membayangkan dirimu pas bilang " Katanya 2 jam. Ini udah 3 jam lebih ? "
BalasHapusDan aku yakin bakal bereaksi sama kayak bulik Mbak Nur ... Ngakak hahaha
Ini mah orang desa. Katro pol.
Hapuskalau dari Desa Ke Kota Urbanisasi dong Mbak, heheheh....
BalasHapusSaya juga mau Mbak, jalan2 kepelosok negeri, tapi cuma menghayal dululah, soalnya waktu,tenaga dan uangnya belum ada, hehehe...
Cuma plesir, mas...
HapusKenapa tidak berkunjung ke tampat saya juga. Sayang atu, kan bisa kopdar. Bisa berbagi ilmu.
BalasHapusJalan-jalan di monas, hanya dapat cepeknya doang. Lelah letih lesu.
Sudah begitu, pulangnya kena macet. Serem deh.
Iya capek sih tapi tetap senang kalau lihat anak-anak dan lainnya juga senang.
HapusNah ternyata Tuban juga punya kelebihan dibanding kota lain kan Mba, gak ada macet dan ke mana-mana dekat hehehehehe
BalasHapusItulah yang membuat saya betah di kampung halaman.
HapusSekarang lebih mudah pesan tiket pesawat kalau mau bepergian kemana saja ya mbak ^^
BalasHapusMudah banget.
Hapusbaru tau kalau ondel-ondel itu ada bedaanya antara yang laki ama yang perempuan.
BalasHapuswahh ke Monas, btw kalau masuk ke Monas itu bayar e berapa mba? bener juga sih tapi, opsi main di jakarta ga sebanyak tempat main di daerah-daerah. Taapi Monas tetep menarik *belum pernah soalnya* wkwkw jadi pengen
Iya, begitulah ondel-ondel.
HapusJalan jalan tentu menyenangkan apa lagi sambil silaturahmi kan bisa dapat nilai ibadahnya juga in syaa Allah
BalasHapusbetul kota besar tampaknya trend banget sama macetnya ya
saya tinggal di kota kecil, butuh lima jam untuk ke ibu kota propinsi, yah begitulah kalau sudah memasuki area perkotaan langsung disambut dengan si macet kendaraan kadang nyaris tak bergerak
bosan dan lelah kadang anak udah ngomel aja di jalan hehe
Nah, itulah kalau jalan-jalan pas didaerah itu ada kerabat bisa sekalian mampir.
Hapus