Anak Terluka di Sekolah, Siapa Yang Salah?
Selasa, 11 September 2018
12 Komentar
Halo!
Apa kabar teman-teman?
Membuat
judul kadang terasa susah banget. Maksud hati ingin yang ringkas dan to the
point tapi kadang tersesat dengun judul yang ambigu. Baiklah, saya masih cerita
seputar anak-anak di sekolah. Tulisan ini murni karena pengalaman anak saya
selama di sekolah. Akibat ulah anak itu entah sengaja maupun tidak, jadi
terluka.
Minggu
lalu ketika menjemput si bungsu di kelasnya. Baru tiba di teras tetangga kelas,
teman-teman sekelas si bungsu menghampiri saya, “Tadi Isam kepalanya berdarah.
Disini.” Sambil menunjukkan bagian kepala yang terluka. Anak-anak lainnya bersahutan
menceritakan keadaan si bungsu.
Baiklah,
saya mempercepat langkah menuju ke kelas si bungsu. Ada dua ustadzah di kelas.
Saya mengucap salam. Seorang ustadzah segera mendekati saya dan menceritakan
kejadian yang menimpa si bungsu. Saya sendiri sebenarnya ada sesuatu yang perlu
dibicarakan di gurunya. Jadi waktu itu memang kebetulan sekali ada kejadian ini
ketika saya datang ke kelasnya.
Ustadzahnya
menceritakan kejadian ketika anak saya terluka. Murni karena ulahnya. Jadi si
anak kejeduk meja (bahan kayu). Terluka di dahinya hingga darah menetes di
baju, celana, lantai.
Tapi
anaknya dimana?
Kelas
si bungsu berada di lantai dua. Saya maupun ustadzahnya sudah mencari di
sekitar kelas, namun tak ada. Saya pamit dan langsung mencari si anak.
Biasanya, setelah keluar kelas (jam pulang) anaknya bermain di halaman
sekolah. Biasanya juga saya menunggu si
bungsu di parkiran motor.
Setelah
muter-muter mencari dan tidak berhasil, saya gemes saja. Katanya sakit, tapi
kok anaknya tidak terlihat keberadaannya. Saya bertanya kepada teman-temannya
tidak ada yang tahu. Ada ibu-ibu yang mengatakan, “Mungkin di UKS, ma.’
Ya,
sudah saya tunggu di parkiran lagi. Pasti anaknya akan lewat sini. Setelah
ngobrol dengan ibu-ibu wali murid dan lirik sana-sini barangkali ada anak saya,
eh benar. Lumayan lama juga. Ternyata sejak keluar kelas, si anak menunggu
masjid. Aduh....
Melihat
dahi anak saya yang diplester, jelas saja mengundang banyak pertanyaan dari
ibu-ibu wali murid. Ada yang menyarankan untuk membuka plester dan melihat
lukanya. Ada yang mengatakan.... aah.. saya mau pulang dulu. Tidak tega melihat
wajah lelah si bungsu.
Sepanjang
jalan, si anak mengeluh sakit kepalanya. Naik motor pelan-pelan meski banyak
polisi tidur. Di rumah dia mengeluh pusing. Pulang sekolah siang hari hingga
malam masih pusing. Sebagai orang yang awam dengan urusan seperti ini, saya
meminta anak saya untuk tiduran saja.
Setelah
maghrib saya bawa ke dokter. Mau sore-sore ke dokter tapi anaknya rewel. Disini,
plester dibuka, dilihat lukanya dan diberi obat anti infeksi. Lukanya diobati
dan diperban. Dokter sebenarnya menyarankan untuk dibawa ke UGD untuk dijahit
tapi luka sudah mulai mengering, jadi sudah terlambat.
Ketika
ditanya dokter kapan kejadiannya, si anak maupun saya tidak bisa menjawab. Saya
jelas tidak tahu. Parahnya lagi, tadi ketika bertemu dengan ustadzahnya kok lupa
menanyakan waktu kejadiaannya. Sementara si anak juga ragu-ragu menjawab. Tapi
dokter tidak berhenti menelusuri waktu kejadiaannya. Setelah tanya jawab dengan
dokter, akhirnya saya maupun dokter bisa menyimpulkan bahwa peristiwa itu
terjadi setelah sekitar sholat dhuhur. Kira-kira pukul 12.00. Kurang lebihnya
jam segitu. Pukul 14.00 pulang sekolah.
Yang perlu diperhatikan ketika anak terluka:
- Jika luka lebih dari 1 cm sebaiknya dijahit.
- Bawa ke rumah sakit atau klinik secepatnya. Jangan lebih dari 5 jam. Karena jika lebih sudah tidak bisa dilakukan tindakan tersebut.
- Jika anak pusing, segera beri obat pereda nyeri (obat demam).
- Rawat luka dengan baik.
- Istirahat.
Dokter
mengatakan bahwa lukanya tidak boleh kena air selama 4 hari. Faktanya tidak sampai 4 hari karena perban
lepas. Hanya 3 hari setelah itu sudah lepas perban. Anaknya aktif bergerak
selamat tidak merasa sakit. Tapi saya berkali-kali sounding saja agar lebih
memperhatikan lukanya. Bolehlah bermain apa saja yang penting tidak luka tetap
aman.
Jadi
selama lukanya diperban itu mandi tidak bersih, skip wudhu di bagian luka dan
tidak ikut ekstra renang. Besoknya rasa pusing sudah hilang. Tapi bengkak
akibat benturan masih ada. Masih membiru. Nah, benturan itulah yang menyebabkan
pusing.
Sebenarnya
saya menyesal kenapa tidak saya paksa dia periksa ke dokter saja. Tapi memaksa
anak itu bagaimana ya. Saya kan sendirian membawa anak ke dokter. Kalau dia
memberontak saya jadi kuwalahan. Makanya saya memilih merayunya saja
berkali-kali sampai berhasil. Hasilnya, saya berhasil membawa ke dokter meski
terlambat.
Alhamdulillah,
lukanya sudah mengering. Cuma sehari saja dia tidak main diluar rumah. Esoknya
berangkat sekolah dan bermain bersama teman-temannya. Ketika ada teman-teman
berada di depan rumah, seolah memanggilnya untuk bermain bola, sepeda dan
kejar-kejaran. Padahal kemarin keluhannya bikin kepala saya ikut nyut-nyutan.
Eh, begitu enak sedikit langsung main dengan bebas.
Anak terluka, segera beri pertolongan!
Kejadian ini murni karena ulah anak saya. Begitu penuturan guru dan anak saya. Meski demikian saya cukup prihatin. "Kok, bisa?" Pasti ada pertanyaan seperti itu. Tapi bagaimana mungkin satu guru mengawasi semua murid yang sedang aktif bergerak kesana kemari ketika jam istirahat.
Bagaimanapun sekolah sudah memberikan pertolongan pertama dengan mengobati luka si anak di UKS. Selanjutnya adalah giliran orang tua. Saya berharap tidak ada kejadian seperti ini lagi. Orang tua seperti saya tetap saja panik kalau mendapat kabar anaknya terluka. Daripada sibuk mencari kesalahan, lebih baik segera mengobati luka anak.
^_^
Turut prihatin bu. Smg anaknya lekas sembuh
BalasHapusMakasih. Aamiin.
HapusDi Tk ato SD anakku...kjdian kyk gini pernah terjadi juga mba. Klo pas Tk, anakku pernah kakinya kena paku. Untungnya ga dalam. Tempo hr...ada yang jatuh dr perosotan. Biasanya klo ada kcelakaann pas bermain gitu, ustadzahnya jadi lebih waspada...
BalasHapusPernah ada yang patah tulang, mba karena kena ayunan. Kalau dengar cerita-cerita kayak gini, jadi ikut khawatir.
HapusYa ampun, aku juga pasti akan panik banget kalo anakku kenapa-kenapa. Apalagi teman2nya sebut kata darah... waduh. Tapi jadi orang tua harus siap segala kondisi dan situasi yah... baca ini aku jadi kepikiran, kalo nanti seandainya aku jadi orang tua, apa aku bisa sesigap mbak... liat darahku sendiri aja pingsan ._. Semoga anaknya cepat sembuh ya mbak, ya Allah kasian bener... :(
BalasHapusAkupun demikian mba. Kalau sudah berdarah-darah jadi ngilu sendiri.
HapusJadi kepoooo, sekolah di mana sih mba? ����
BalasHapusKok anak luka di kepalanya dan lumayan besar tapi cumam di plester dan di biarkan berkeliaran juga.
Harusnya kan di suruh tunggu di UKS.
Wali kelasnya juga, wajib mencari tau kronologinya seperti apa.
Biar penanganannya lebih tepat.
Anak saya juga pernah gitu, jatuh dan giginya berdarah.
Saya tanya wali kelas gak jelas, akhirnya saya lapor ke apa ya namanya BK or something, setidaknya ustadz ataupun ustadzah lebih ngeh ke anak2 khususnya yang masih tingkat bawah.
Apalagi yang cedera kepala.
Ih gemes dehh
Sudah di UKS buat diobati dan diplester.
Hapushahaha... begitulah anak-anak mbak, ortunya cemas setengah mati, eh dianya kadang cuek aja
BalasHapusPas kejadian anaknya diam aja. Mungkin karena di depan teman-temannya. Eh, setelah saya jemput baru deh curhat semua keluhannya. Saya makin khawatir.
HapusYang bikin heran itu kok ketika udah luka dan apalagi darahnya cukup banyak, kok nggak langsung di telepon wali muridnya? Bahkan kami pun dulu di tempat les, sampai menyimpan no HP ART atau wali yang mengantar. Dan kok bisa si bocah malah entah di mana, bukannya disuruh istirahat di kantor guru dulu, sembari nunggu orang-tuanya datang.
BalasHapusYang terpenting sekarang si adek cepat sehat ya, Mba. Moga setelah ini anak2 dan pihak sekolah pun sama2 hati2 juga.
Iya, aku pengennya gitu. Orang tua langsung ditelpon biar segera tahu keadaannya.
Hapus