Matematika Jangan Jadi Momok Buat Anak-Anak
Selasa, 16 Oktober 2018
8 Komentar
Si
bungsu sudah selesai PTS (Penilaian Tengah Semester) itu artinya lega banget.
Saya juga dong! Saya yang sehari-hari bersama anak dan ikut terlibat dalam
belajarnya merasa bebas dari tanggung jawab mengajarinya.
Anak
saya bukan tipe super rajin belajar. Mengulang pelajaran di sekolah setiap
hari, membaca buku pelajaran yang akan dipelajari besok. Paling dibaca
sebentar, entah kalau cuma dibolak-balik. Untuk mengerjakan tugas sekolah saja
saya mesti mengingatkan. Tapi kalau menyiapkan buku-buku pelajaran untuk besok
hukumnya wajib.
Yang
pasti bermain adalah sesuatu yang tidak pernah dilewatkan. Di sekolah maupun di
rumah. Bermain adalah dunia anak-anak yang menyenangkan. Bahkan melenakan!
Pelajaran
yang paling mengundang emosi saya adalah matematika. Bagaimana mengajarkan
operasi hitung bilangan bulat untuk anak kelas 3 SD dengan cara mudah
dimengerti. Jujur, ini menguras energi dan pikiran.
Setiap
anak memiliki kemampuan yang berbeda. Ada anak yang dijelaskan gurunya saja
sudah mengerti. Di rumah tidak perlu mengerjakan soal-soal latihan. Anaknya
santai saja. Ketika ujian, mudah saja bagi si anak mengerjakannya. Nilainya
juga bagus. Bagi orang tua, memiliki anak yang cerdas adalah idaman, cita-cita,
anugrah dan kebahagiaan. Tapi kalau anak kita tidak seperti itu bukan berarti
anak kita tidak cerdas loh.
Saya
selalu percaya bahwa setiap anak memiliki kelebihannya masing-masing. Tapi yang
namanya berhitung harus bisa, minimal untuk opersi hitung sederhana. Karena dalam
kehidupan sehari-hari kita tidak pernah lepas dari kegiatan berhitung. Meskipun
kita tidak suka dan tidak pandai melakukannya. Contohnya, untuk belanja, kita
pasti menggunakan matematika, sesederhana apapun, tetap terpakai. Tidak mungkin
kan, kalau kita belanja, kasih uang tanpa memikirkan berapa uang yang kita
punya, berapa belanjaan kita, kira-kira ada uangnya kembali berapa, dsb.
Contoh
yang sering saya ulang kepada anak adalah tentang jam. Jam berapa dia bangun,
mandi, dan berangkat sekolah agar tidak terlambat. Inipun masih grubyak-grubyuk
sambil menunggu perintah saya.
Nah,
bicara matematika sejak kelas 1 SD itu rasanya saya ingin ikut masuk kelas,
mendengarkan gurunya menerangkan. Saya merasa ada semacam gap (jarak) antara
zaman saya masih sekolah dan zaman anak-anak saya kini. Sampai suami
berkomentar begini, “Sudah dilesin aja, biar kamu nggak ikut pusing ngajari
anak!”
Tapi
saya masih teguh memegang prinsip, saya masih bisa mengajarinya. Entah kalau
tahun depan....
Masalah
operasi hitung ini ternyata bukan masalah saya saja. Banyak wali murid yang
merasa kesulitan mengajari anak. Di WAG kelas ramai chat membahas tentang
matematika. Mulai dari bagaimana cara mengerjakan soal xyz, hingga jawabannya.
Pusing!
Dibandingkan
zaman saya sekolah, anak-anak sekarang dituntut untuk cepat menguasai berbagai
pelajaran. Suka atau tak suka. Mampu atau tak mampu, semua harus bisa. Minimal
bisa.
Masalah
yang dihadapi anak saya dan teman-temannya sampai sekarang adalah proses
belajar, mengingat, menghafal perkalian dan pembagian. Seringkali saya bertemu dengan
ibu-ibu wali murid dengan tema pembicaraan seperti ini, bagaimana caranya agar
anak bisa menghafal perkalian, bagaimana caranya mengerjakan pembagian. Apakah
ini karena kita tidak bisa/salah mengajari konsep matematika kepada anak. Yang
terakhir adalah bagaimana agar anak mau belajar. PENTING!
Di
tengah keresahan ini, untungnya ada pertemuan wali murid dan guru. Kami diajari mengerjakan perkalian dan pembagian. Gurunya membuat soal di white
board dan menyelesaikannya. Ibu-ibu mendengarkan dengan penuh semangat
sekaligus berbagi trik. Ya Allah, kami sekolah lagi gitu, loh!
Sejak
adanya program hafalan perkalian tahun lalu, saya usahakan mengulang perkalian
yang sudah diajarkan di sekolah. Kemudian ditambah perkalian bilangan
selanjutnya. Kelihatannya memang mudah. Tapi untuk konsisten itu susah. Apalagi
si anak banyak alasan, ibu sibuk, dsb. Klop deh!
Saya berharap matematika tidak menjadi momok buat anak-anak. Baru bilang matematika saja sudah malas. Apalagi kalau diajak belajar, jadi banyak alasan untuk menghindari. Semakin menghindari semakin tidak tahu, semakin tertinggal.
Agar matematika tidak menjadi pelajaran yang mengerikan, penting banget untuk memahami mood anak. Belajar bersama teman juga bisa membuat anak lebih semangat. Kalau sudah belajar, anak akan lebih siap menghadapi ujian. Sedangkan saya, hihi... harus update belajarnya.
Kunci sukses menghafalkan
perkalian:
Diulang-ulang
Kapan belajar matematika?
- Sepulang sekolah
- Setelah puas bermain
- Sesuai kesepakatan dengan anak
- Ketika mood anak sedang bagus
- Sesuai dengan rutinitas belajar
Mengulang-ulang perkalian adalah adalah pendapat yang sering saya jumpai di kalangan guru dan wali murid. Anak-anak saya memiliki tabel hafalan perkalian. Kalau di
sekolah ada mencongak perkalian, nanti tabelnya dicentang. Sementara di rumah,
diulang lagi.
Bagaimana
bisa hafal perkalian kalau tidak mau mengulang-ulang! Ya kan? Kalau anak saya suka
menghindar dengan alasan kemarin sudah. Misalnya kemarin hafalan perkalian 5.
Hari ini diulang lagi, anaknya mogok, melarikan diri ke rumah teman (tetangga)
dan bermain-main. Ibu kudu piye???
Sebelumnya
saya masih memakai alat peraga (benda) seperti stik es krim, kertas, dan
benda-benda lain yang bisa digunakan untuk mengerjakan operasi hitung bilangan
bulat. Misalnya penjumlahan, saya pakai stik es krim. Ini memudahkan anak untuk
membayangkan bilangannya. Semakin bertambah usianya (baca: naik kelas), angka
yang dijumlahkan semakin besar. Stik es krim sudah tidak dipakai. Anak sudah
mengerti konsepnya.
Matematika
bukan saja tentang deretan angka-angka namun juga berlatih pendayagunaan nalar.
Bagaimana mengerjakan soal cerita yang sejatinya menggunakan rumus penjumlahan
sederhana tapi membuat bingung anak. Bingung mencerna soal, harus menyelesaikan
dengan operasi hitung apa, penjumlahan, pengurangan, perkalian atau pembagian.
Buat
teman-teman yang memiliki anak seusia anak saya, sharing dong bagaimana
mengajarkan matematika yang menyenangkan dan mudah dimengerti!
Sharing
is caring!
^_^
Sama dongggg! Kebetulan anak saya baru kelas 2 SD. Setiap hari saya kudu memaksa untuk menghapalkan perkalian. kalau kelamaan mikir, saya jawab lalu saya suruh menghapalkan. Perkalian pakai jari, juga belum paham. Simboknya kudu sabar dan strong! Segala cara dilakukan, hasilnya serahkan pada kemampuan anak
BalasHapusSemangat simboknya..
HapusPadahal penting banget ya matematika dalam semua urusan. Terimakasih triknya mba..
BalasHapusKita nggak bisa lepas dari matematika.
HapusBuat aku matematika itu pelajaran yang paling susah. Nah, ketika ngajari anak bljr mtematika ini...paling jengkel klo sudah sampai materi belakang ...yang depan lupa (lagi)...
BalasHapusTp aku sedikit youtube mmb. Di youtube itu banyak cara2 gampang/simple untuk ngerjain soal..
Baiklah, aku juga mau ikutan nyari di youtube. Cuma anakku itu kalau caranya nggak sama dengan gurunya, nggak mau. Ini yang bikin aku mau nggak mau mesti belajar seperti gurunya.
HapusAnakku masih TK aja rasanya pusing tiap ngajarin. Nunggu moodnya bagus lah, nunggu dia main lah :D
BalasHapusSoal jam juga, PR banget harus ngajarin biar dia tau artinya telat sekolah, wkwk
Kudu sabar ya mbak Mer.
Hapus