Matematika Jangan Jadi Momok Buat Anak-Anak



matematika, waktu, jam


Si bungsu sudah selesai PTS (Penilaian Tengah Semester) itu artinya lega banget. Saya juga dong! Saya yang sehari-hari bersama anak dan ikut terlibat dalam belajarnya merasa bebas dari tanggung jawab mengajarinya.

Anak saya bukan tipe super rajin belajar. Mengulang pelajaran di sekolah setiap hari, membaca buku pelajaran yang akan dipelajari besok. Paling dibaca sebentar, entah kalau cuma dibolak-balik. Untuk mengerjakan tugas sekolah saja saya mesti mengingatkan. Tapi kalau menyiapkan buku-buku pelajaran untuk besok hukumnya wajib.

Yang pasti bermain adalah sesuatu yang tidak pernah dilewatkan. Di sekolah maupun di rumah. Bermain adalah dunia anak-anak yang menyenangkan. Bahkan melenakan!

Pelajaran yang paling mengundang emosi saya adalah matematika. Bagaimana mengajarkan operasi hitung bilangan bulat untuk anak kelas 3 SD dengan cara mudah dimengerti. Jujur, ini menguras energi dan pikiran.

Setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda. Ada anak yang dijelaskan gurunya saja sudah mengerti. Di rumah tidak perlu mengerjakan soal-soal latihan. Anaknya santai saja. Ketika ujian, mudah saja bagi si anak mengerjakannya. Nilainya juga bagus. Bagi orang tua, memiliki anak yang cerdas adalah idaman, cita-cita, anugrah dan kebahagiaan. Tapi kalau anak kita tidak seperti itu bukan berarti anak kita tidak cerdas loh.

Saya selalu percaya bahwa setiap anak memiliki kelebihannya masing-masing. Tapi yang namanya berhitung harus bisa, minimal untuk opersi hitung sederhana. Karena dalam kehidupan sehari-hari kita tidak pernah lepas dari kegiatan berhitung. Meskipun kita tidak suka dan tidak pandai melakukannya. Contohnya, untuk belanja, kita pasti menggunakan matematika, sesederhana apapun, tetap terpakai. Tidak mungkin kan, kalau kita belanja, kasih uang tanpa memikirkan berapa uang yang kita punya, berapa belanjaan kita, kira-kira ada uangnya kembali berapa, dsb.

Contoh yang sering saya ulang kepada anak adalah tentang jam. Jam berapa dia bangun, mandi, dan berangkat sekolah agar tidak terlambat. Inipun masih grubyak-grubyuk sambil menunggu perintah saya.

belajar matematika


Nah, bicara matematika sejak kelas 1 SD itu rasanya saya ingin ikut masuk kelas, mendengarkan gurunya menerangkan. Saya merasa ada semacam gap (jarak) antara zaman saya masih sekolah dan zaman anak-anak saya kini. Sampai suami berkomentar begini, “Sudah dilesin aja, biar kamu nggak ikut pusing ngajari anak!”

Tapi saya masih teguh memegang prinsip, saya masih bisa mengajarinya. Entah kalau tahun depan....

Masalah operasi hitung ini ternyata bukan masalah saya saja. Banyak wali murid yang merasa kesulitan mengajari anak. Di WAG kelas ramai chat membahas tentang matematika. Mulai dari bagaimana cara mengerjakan soal xyz, hingga jawabannya. Pusing!

Dibandingkan zaman saya sekolah, anak-anak sekarang dituntut untuk cepat menguasai berbagai pelajaran. Suka atau tak suka. Mampu atau tak mampu, semua harus bisa. Minimal bisa.

Masalah yang dihadapi anak saya dan teman-temannya sampai sekarang adalah proses belajar, mengingat, menghafal perkalian dan pembagian. Seringkali saya bertemu dengan ibu-ibu wali murid dengan tema pembicaraan seperti ini, bagaimana caranya agar anak bisa menghafal perkalian, bagaimana caranya mengerjakan pembagian. Apakah ini karena kita tidak bisa/salah mengajari konsep matematika kepada anak. Yang terakhir adalah bagaimana agar anak mau belajar. PENTING!

Di tengah keresahan ini, untungnya ada pertemuan wali murid dan guru. Kami diajari mengerjakan perkalian dan pembagian. Gurunya membuat soal di white board dan menyelesaikannya. Ibu-ibu mendengarkan dengan penuh semangat sekaligus berbagi trik. Ya Allah, kami sekolah lagi gitu, loh!

Sejak adanya program hafalan perkalian tahun lalu, saya usahakan mengulang perkalian yang sudah diajarkan di sekolah. Kemudian ditambah perkalian bilangan selanjutnya. Kelihatannya memang mudah. Tapi untuk konsisten itu susah. Apalagi si anak banyak alasan, ibu sibuk, dsb. Klop deh!

Saya berharap matematika tidak menjadi momok buat anak-anak.  Baru bilang matematika saja sudah malas. Apalagi kalau diajak belajar, jadi banyak alasan untuk menghindari. Semakin menghindari semakin tidak tahu, semakin tertinggal.  

Agar matematika tidak menjadi pelajaran yang mengerikan, penting banget untuk memahami mood anak. Belajar bersama teman juga bisa membuat anak lebih semangat. Kalau sudah belajar, anak akan lebih siap menghadapi ujian. Sedangkan saya, hihi... harus update belajarnya.


Kunci sukses menghafalkan perkalian:

Diulang-ulang

Kapan belajar matematika?


  • Sepulang sekolah
  • Setelah puas bermain
  • Sesuai kesepakatan dengan anak
  • Ketika mood anak sedang bagus
  • Sesuai dengan rutinitas belajar


Mengulang-ulang perkalian adalah adalah pendapat yang sering saya jumpai di kalangan guru dan wali murid. Anak-anak saya memiliki tabel hafalan perkalian. Kalau di sekolah ada mencongak perkalian, nanti tabelnya dicentang. Sementara di rumah, diulang lagi.

Bagaimana bisa hafal perkalian kalau tidak mau mengulang-ulang! Ya kan? Kalau anak saya suka menghindar dengan alasan kemarin sudah. Misalnya kemarin hafalan perkalian 5. Hari ini diulang lagi, anaknya mogok, melarikan diri ke rumah teman (tetangga) dan bermain-main. Ibu kudu piye???

Sebelumnya saya masih memakai alat peraga (benda) seperti stik es krim, kertas, dan benda-benda lain yang bisa digunakan untuk mengerjakan operasi hitung bilangan bulat. Misalnya penjumlahan, saya pakai stik es krim. Ini memudahkan anak untuk membayangkan bilangannya. Semakin bertambah usianya (baca: naik kelas), angka yang dijumlahkan semakin besar. Stik es krim sudah tidak dipakai. Anak sudah mengerti konsepnya. 

Matematika bukan saja tentang deretan angka-angka namun juga berlatih pendayagunaan nalar. Bagaimana mengerjakan soal cerita yang sejatinya menggunakan rumus penjumlahan sederhana tapi membuat bingung anak. Bingung mencerna soal, harus menyelesaikan dengan operasi hitung apa, penjumlahan, pengurangan, perkalian atau pembagian.

Buat teman-teman yang memiliki anak seusia anak saya, sharing dong bagaimana mengajarkan matematika yang menyenangkan dan mudah dimengerti!

Sharing is caring!

^_^

Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

8 Komentar untuk "Matematika Jangan Jadi Momok Buat Anak-Anak"

  1. Sama dongggg! Kebetulan anak saya baru kelas 2 SD. Setiap hari saya kudu memaksa untuk menghapalkan perkalian. kalau kelamaan mikir, saya jawab lalu saya suruh menghapalkan. Perkalian pakai jari, juga belum paham. Simboknya kudu sabar dan strong! Segala cara dilakukan, hasilnya serahkan pada kemampuan anak

    BalasHapus
  2. Padahal penting banget ya matematika dalam semua urusan. Terimakasih triknya mba..

    BalasHapus
  3. Buat aku matematika itu pelajaran yang paling susah. Nah, ketika ngajari anak bljr mtematika ini...paling jengkel klo sudah sampai materi belakang ...yang depan lupa (lagi)...

    Tp aku sedikit youtube mmb. Di youtube itu banyak cara2 gampang/simple untuk ngerjain soal..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Baiklah, aku juga mau ikutan nyari di youtube. Cuma anakku itu kalau caranya nggak sama dengan gurunya, nggak mau. Ini yang bikin aku mau nggak mau mesti belajar seperti gurunya.

      Hapus
  4. Anakku masih TK aja rasanya pusing tiap ngajarin. Nunggu moodnya bagus lah, nunggu dia main lah :D

    Soal jam juga, PR banget harus ngajarin biar dia tau artinya telat sekolah, wkwk

    BalasHapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel