Bersahabat dengan Anak
Selasa, 19 Maret 2019
2 Komentar
Suatu
hari, seorang teman bercerita tentang anaknya yang mondok. Biarpun berjauhan,
namun komunikasi tetap lancar. Yang terpenting, teman saya sangat terbuka
dengan anaknya. Sehingga obrolan ringan sampai masalah yang sedang dihadapi
pasti diketahuinya.
“Ada
kejadian (yang berkesan) apa di sekolah pasti dia cerita. Jadi aku tahu
bagaimana dia di sekolah, bagaimana di berteman dan bagaimana dia bertahan di
pondok,” katanya serius.
Saya
menyimak dengan seksama.
“Memangnya,
anaknya nggak pernah cerita?” tanyanya.
Duh,
ini sepertinya menjadi pertanyaan yang menohok bagi saya.
Ketiga
anak saya memiliki karakter yang berbeda. Si sulung cenderung pendiam. Saya
justru mengetahui kejadian “berkesan” dari orang lain. ketika saya tanyakan
langsung, anak saya santai saja menjawabnya. Saya percaya dia bisa
menyelesaikan masalahnya sendiri.
Waktu
itu mau rekreasi ke Bali. Beberapa wali murid mengeluhkan anak-anak perempuan
mereka. Takut cinlok! Masalah ini sampai dilaporkan ke kepala sekolah loh. Tapi
anak saya menanggapinya dengan santai. “Ibu-ibu terlalu berlebihan!”
Pada
waktu penerimaan rapor saya sempat curhat kepada wali kelasnya di SMP. Karena wali
kelasnya laki-laki, jawabannya seperti yang saya duga. “Tidak ada masalah
dengan anak ibu. Lha wong saya saja sering ketawa-ketawa sama dia. Kadang saya
godain juga. Kalau tidak cerita ya tidak ada masalah. Gitu saja nggak perlu
mikir macam-macam.”
Kalau
kata teman, meski pendiam tetap harusnya bisa cerita apa saja. Itu harus
dilatih, dirangsang dengan pertanyaan-pertanyaan agar anak mampu bercerita
dengan santai, tidak merasa diinterogasi oleh orang tua. Misalnya hari ini ada
kejadian apa di sekolah. Pasti ada dong kejadian yang berkesan. Meski bukan
tentang dia. Tak masalah. Contohnya, ada temannya yang jatuh ketika bermain.
Memang
hal-hal sepele tapi buat obrolan bersama keluarga tetap astik juga. Nah, kalau
yang seperti ini saya sering kok bertanya kepada anak-anak. Kalau lagi tidak
capek, tidak ada tugas sekolah, jawaban bisa panjang. Tapi kalau lagi bete,
siap-siap saja dengan jawaban ala kadarnya.
Berbeda
dengan kakaknya, si bungsu tanpa diminta langsung bercerita apa saja. Dia bisa
bercerita tentang teman-temannya yang lucu, jahil dan menyenangkan. Kalau lagi
bete dengan gurunya, dia cerita. Kadang saya merasa lucu saja. Namanya juga
anak kecil, sudut pandang dia pasti sangat subyektif.
Biasanya
ketika tiba di rumah, si bungsu cerita tentang teman-temannya.
“Ibu...
tadi temanku tabrakan.”
“Hah?”
“Iya,
si A dari timur lari-lari kemudian si B dari barat juga lari-larian. Terus tabrakan.
Aku juga lari, tapi nggak sampai tabrakan. Karena aku bisa menghindar.”
“Memang
kena apanya?”
“Kepalanya.
Sakit. Tapi sebentar.”
“Oww.”
Menjadi
sahabat anak tidak mudah. Sampai saat ini saya masih belajar menjadi ibu yang baik bagi anak-anak. Belajar mengerti mereka dan belajar memahami keinginan yang kadang berseberangan dengan saya. Bagaimanapun saya ingin menjadi orang pertama ketika
mereka berkeluh-kesah dan mencari jawaban atas masalahnya.
Jangan mudah berprasangka
Di mata anak-anak, sosok ibu bisa jadi seorang peri atau sebaliknya, monster. Jika ibu adalah peri, semoga anak-anak senang berada di dekatnya. Namun jika ibu adalah seorang monster, pastinya menakutkan. Baru melihat sosok kita saya sudah mau kabur. Takut dimarahi, takut disalahkan, dan banyak ketakutan lainnya.
Salah satu kunci untuk dekat anak adalah dengan menjauhi prasangka. Ya, prasangka itu menimbulkan efek negatif yang meracuni pikiran. Coba kalau sebentar-sebentar saya berprasangka buruk, bagaimana kalau benar-benar terjadi. Apa tidak kecewa?
Atau menjadi seorang ibu yang mudah menyalahkan anak. Di kemudian hari, sia anak menjadi tak percaya lagi. Tak mudah untuk bercerita apa saja. Yang ada dalam pikiran anak, "Nanti juga aku disalahin."
Saya pernah seperti itu. Karena kebiasaan saja. Ketika si anak berulang kali melakukan kesalahan, kemudian ada kejadian baru. Saya langsung menuduh.
"Bukan aku!" protes si anak.
Namun karena saya terlanjur menuduh, dia menjadi tak percaya lagi. Ya sudah, saling meminta maaf dan damai. Memulai cara berkomunikasi agar lebih efektif tanpa prasangka. Dengan begitu, anak bisa santai ngobrol apa saja.
Jangan
sampai mereka justru mencari orang yang nyaman untuk bercerita, kemudian
tersesat dengan pergaulan tak jelas. Atau mereka jusrtu mencari pembenaran atas
kesalahannya. Mencari teman seiya sekata tanpa perlu ada yang mengkoreksi.
Saya
ingin menjadi sahabat yang dipercaya anak-anak. Bukan yang ditakuti. Kala
mereka merasa lelah dan galau, saya ada untuk mendengarkan resahnya. Ada waktu untuk menemaninya.
Semoga saya dan juga ibu-ibu lainnya, diberikan kesabaran dan usia untuk menemani anak-anak mengembangkan passionnya dan menjadi sahabat yang baik sampai kapanpun.
^_^
Maasya allah. Jadi Ibu yang bisa dekat dengan anak memang butuh perjuangan ya, mbak. Aamiin semoga mba Rochma sehat walafiat terus
BalasHapusAamiin. Doa yang sama buat mba Ipeh.
Hapus