Menyelami Samudera Hikmah dalam Kumpulan Cerpen Dalang Kentrung Terakhir
Rabu, 03 April 2019
3 Komentar
Kapan terakhir saya membaca buku sastra?
Entahlah,
mendadak saya malu. Terakhir saya membaca Hujan Bulan Juni entah tahun kapan
ya. Saya sodorkan kepada si sulung, katanya susah. “Aku nggak ngerti ini cerita
apa?”
Saya
sih maklum karena dia suka novel petualangan, detektif, horor. Kalau saya... Rasanya
sudah lama saya tidak mencicipi kata-kata penuh pesan dan hikmah. Ada yang
mengatakan bahwa ketika jatuh cinta dengan sastra, kita akan sulit melepaskannya. Duh,
benar tidak ya?
Akhir-akhir
ini saya banyak membaca novel metropop dengan gaya bahasa yang ringan dan menghibur.
Unsur hiburan lebih dominan. Judulnya memang mencari hiburan di tengah
suntuknya urusan domestik. Lalu lupa bahwa apa yang saya baca mestinya ada
pesan moralnya juga.
Nah,
kali ini saya ingin memperkenalkan buku mas Joyo Juwoto yang berjudul Dalang
Kentrung Terakhir. Saya ingin membuat sedikit pengakuan bahwa saya kurang paham
dalang kentrung itu siapa dan bagaimana cara kerjanya. Mungkinkah seperti dalang-dalang
yang memainkan wayang? Atau ada definisi lain untuk menjabarkan seperti apa
pekerjaan dalang kentrung? Mungkinkah tulisan ini berbau mitos, budaya dan
aroma desa yang kuat?
Mungkin
saya adalah satu diantara orang Jawa yang tercerabut dari akarnya. Bagaimana mungkin
saya yang lahir dan besar di tanah Jawa tidak tahu (lupa) tembang macapat
semacam Dhandhanggula. Ini kalau ada pelajaran bahasa Jawa, saya kesulitan
mengajari anak-anak.
Saya
diburu rasa penasaran dengan hanya membaca judul saja. Tapi malas untuk
membaca. Bagi saya membaca sekedarnya saja tidak akan menjawab semua resah
tentang Dalang Kentrung. Saya memaksakan diri untuk segera membaca dan membuat
coretan tentang isi buku.
Judul:
Dalang Kentrung Terakhir
Penulis:
Joyo Juwoto
Penerbit:
Pataba press
Tahun
terbit: 2017
Jumlah
halaman: 132
Sinopsis:
Dalang
Kentrung berisi 15 cerita pendek penuh hikmah. Saya ambil satu contoh cerpen yang berjudul Jalan
Pulang, tokoh Wira digambarkan sebagai pemuda yang bertekad meninggalkan
kampung halaman tanpa bekal dan tujuan apapun. Kata hati yang mengantarkannya ke kota tujuan. Jalan terjal yang dilalui
membuatnya tegar menjalani hidup sebagai berandalan yang disegani di Ngawi,
Solo dan sekitarnya.
Dalam
kehidupan bermasyarakat Wira dikenal sebagai pemuda yang baik hati dan santun. Dia
bersama teman-temannya nyantri untuk memperoleh ketentraman batin. Namun tetap
melakukan aksi begal di tempat yang jauh dari pesantren. Uang dan perhiasan
hasil rampokan cukup banyak. Hingga suatu
hari kyainya meminta Wira untuk pulang dalam keadaan seperti dia berangkat
meninggalkan kampung.
Wira
merasa gundah. Perang batin membuatnya ragu melangkah. Akankah jalan yang akan
dilalui sama seperti dulu? Ataukah lebih baik dengan melepaskan semua harta
benda dan pekerjaannya selama ini?
***
Pada
cerpen pertama ini saya terkejut. Saya termasuk orang yang terpukai pada awal
cerita. Jika alur dan penokohan kuat, maka progress membaca akan cepat selesai.
Benar saja. Satu cerpen membuat saya ketagihan. Saya tak ingin beranjak dari
tempat tidur dan memandang laptop. Saya membaca dari laptop biar mata saya
nyaman dengan berlembar-lembar tulisan.
Sejak
saat itu, saya ingin segera menyelesaikan buku mas Joyo Juwoto. Harus selesai
hari itu. Karena saya tidak akan sanggup untuk menunggu lebih lama lagi. Tidak
sampai satu hari sudah kelar.
Review singkat ini semoga bisa membantu para pembaca yang ingin menikmati hangatnya suasana desa dalam kumpulan cerpen Dalang Kentrung Terakhir.
Review singkat ini semoga bisa membantu para pembaca yang ingin menikmati hangatnya suasana desa dalam kumpulan cerpen Dalang Kentrung Terakhir.
Kelebihan:
- Diksi
Saya
acungi jempol untuk racikan diksinya. Sungguh kata demi kata dibangun diatas
pemahaman yang paripurna. Saya cuplik dari cerpen Pawang Hujan, halaman 99.
Kilat berkelebat cepat bagai anak panah terlepas dari busurnya. Lidah-lidah api menyambar dan membakar telaga yang berwarna putih susu. Dentuman guntur dan petir mengoyak dinding-dinding telaga itu dan membuatnya berhamburan menjadi keruh kelam kelabu. Awan hitam berarak dan bergulung-gulung laksana banjir bandang yang siap menerjang. Angin berkesiur cepat, riuh mendesau, berputar-putar bagai penari sufi yang mabuk ketuhanan. Pertemuan antara kilat, mendung, petir, dan angin diatas kanvas angkasa adalah bahasa alam yang mengabarkan hujan segera tumpah membasahi bumi.
Penggunaan
kata-kata yang tak familiar memaksa saya untuk membuka kamus bahasa Indonesia
online. Saya yang sering menyimak twit dari Ivan Lanin jadi lewat begitu saja.
- Genre
Benar
apa yang dikatakan oleh Soesilo Toer dalam pengantarnya bahwa kumpulan cerpen
Dalang Kentrung Terakhir ini memiliki ciri realisme – agamis – magis. Pembaca tidak
akan menemukan titik akhir begitu saja. Sebaliknya pembaca diajak menyusuri
jalan yang ditempuh oleh tokoh utama dalam tiap cerpen dan menarik kesimpulan
sendiri.
Cerita-cerita
yang diangkat sebenarnya biasa saja. Seperti tokoh mbah Kardi dalam cerpen
Penderas Legen. Mbah Kardi ini sudah lanjut usia namun masih kuat bekerja
sebagai penderas legen (orang yang mengambil air legen dari pohon siwalan). Usia
bukanlah suatu penghalang untuk mengais rejeki. Jangan sampai meminta belas
kasihan orang untuk kebutuhan hidupnya dan istri.
Tokoh
mbah Kardi ini adalah realita/nyata. Ya, di daerah kami, legen menjadi sebuah
minuman yang banyak dijual di pinggir jalan, di tempat wisata, di
warung-warung. Warga yang memiliki pohon siwalan bisa menyuruh orang untuk
memanjat dan mengambil airnya. Atau langsung menawarkan/menjual kepada
orang-orang yang biasa mengambil legen. Istilahnya ditebas. Satu pohon dihargai
sekian rupiah.
Seburuk
apapun tokoh, dalam kumpulan cerpen ini adalah orang-orang yang mencari jalan
pulang, jalan yang kadang membuat jatuh bertubi-tubi dan ragu. Namun memilih
pada kerinduan yang hakiki.
- Penggunaan istilah
Dari
kumpulan cerpen ini saya baru tahu tentang dalang kentrung. Kentrung adalah seni
hiburan rakyat yang menyuguhkan perpaduan antara tembang dan alat musik. Menjadi
dalang kentrung berarti menjadi semisal bocah angon, anak gembala yang
menggembalakan nafsu-nafsu hewan manusia agar tidak lepas kendali menerjang paugeran Tuhan.
Istilah
santri kreweng membuat saya menebak-nebak santri seperti apa yang dimaksud. Ternyata
santri kreweng adalah santri yang makan sambal kelapa yang dibakar dengan
pecahan gerabah. Kreweng dalam bahasa Jawa adalah pecahan gerabah.
- Alur
Alurnya
mudah dipahami. Tidak ada alur yang maju mundur cantik seperti Syahrini. Karena
mengambil cerita sehari-hari, pembaca seperti sedang diajak berkelana mengunjungi
ladang dengan barisan pohon siwalan yang bertebaran di kabupaten Tuban.
Ketika bercerita tentang pawang hujan, pembaca diajak untuk mengerti kegundahan sang pawang. Masih banyak orang yang menggunakan jasa pawang hujan ketika mengadakan hajatan. Ada lagi adegan di warung kopi. Ini kisah yang merakyak banget. Warga biasa cangkrukan di warung kopi sambil ngobrol apa saja. Warung kopi identik keakraban dan obrolan kegelisahan rakyat. Semuanya diracik dengan jalan cerita yang ringan namun penuh kejutan.
Ketika bercerita tentang pawang hujan, pembaca diajak untuk mengerti kegundahan sang pawang. Masih banyak orang yang menggunakan jasa pawang hujan ketika mengadakan hajatan. Ada lagi adegan di warung kopi. Ini kisah yang merakyak banget. Warga biasa cangkrukan di warung kopi sambil ngobrol apa saja. Warung kopi identik keakraban dan obrolan kegelisahan rakyat. Semuanya diracik dengan jalan cerita yang ringan namun penuh kejutan.
Kekurangan:
Ada
cerita yang hampir mirip yaitu cerpen Khidir dan cerpen Sang Pengembara yang menyebutkan
tentang Nabi Khidir. Tidak masalah juga karena dalam dua cerpen ini jalan ceritanya
beda, tokohnya juga beda.
***
***
Secara
keseluruhan, saya suka dengan semua cerpen yang ditulis mas Joyo Juwoto dengan
detail. Membaca cerita-cerita ini seolah mengajak saya untuk menyelami samudera
hikmah yang terserak. Sebagai pembaca saya dituntun untuk memetik sendiri. Banyak kisah yang sejatinya adalah pergulatan batin,
pencarian jati diri dan keteguhan dalam ikhtiar, yang berakhir pada kerinduan
pada Tuhan.
So,
buat teman-teman yang penasaran dengan kumpulan cerpen Dalang Kentrung
Terakhir, silakan menghubungi penulisnya, mas Joyo Juwoto.
Happy
reading!
^_^
Mbah Joyo penulis asli Tuban yang produktif. Ini salah satu buku yg jadi andalan beliau sepertinya. :-)
BalasHapusKeren mba, penyuka sastra.. sedangkan saya baca buku Hujan Bulan Juni aja ga beres2 😅
BalasHapusJadi penasaran pengen baca buku Dalang kentrung terakhir, dari review mbak Nur saja saya seolah dibawa kepada tokoh Wira
BalasHapus