Menyelami Samudera Hikmah dalam Kumpulan Cerpen Dalang Kentrung Terakhir


dalang kentrung terakhir


Kapan terakhir saya membaca buku sastra?

Entahlah, mendadak saya malu. Terakhir saya membaca Hujan Bulan Juni entah tahun kapan ya. Saya sodorkan kepada si sulung, katanya susah. “Aku nggak ngerti ini cerita apa?”

Saya sih maklum karena dia suka novel petualangan, detektif, horor. Kalau saya... Rasanya sudah lama saya tidak mencicipi kata-kata penuh pesan dan hikmah. Ada yang mengatakan bahwa ketika jatuh cinta dengan sastra, kita akan sulit melepaskannya. Duh, benar tidak ya?

Akhir-akhir ini saya banyak membaca novel metropop dengan gaya bahasa yang ringan dan menghibur. Unsur hiburan lebih dominan. Judulnya memang mencari hiburan di tengah suntuknya urusan domestik. Lalu lupa bahwa apa yang saya baca mestinya ada pesan moralnya juga.

Nah, kali ini saya ingin memperkenalkan buku mas Joyo Juwoto yang berjudul Dalang Kentrung Terakhir. Saya ingin membuat sedikit pengakuan bahwa saya kurang paham dalang kentrung itu siapa dan bagaimana cara kerjanya. Mungkinkah seperti dalang-dalang yang memainkan wayang? Atau ada definisi lain untuk menjabarkan seperti apa pekerjaan dalang kentrung? Mungkinkah tulisan ini berbau mitos, budaya dan aroma desa yang kuat?

Mungkin saya adalah satu diantara orang Jawa yang tercerabut dari akarnya. Bagaimana mungkin saya yang lahir dan besar di tanah Jawa tidak tahu (lupa) tembang macapat semacam Dhandhanggula. Ini kalau ada pelajaran bahasa Jawa, saya kesulitan mengajari anak-anak.

Saya diburu rasa penasaran dengan hanya membaca judul saja. Tapi malas untuk membaca. Bagi saya membaca sekedarnya saja tidak akan menjawab semua resah tentang Dalang Kentrung. Saya memaksakan diri untuk segera membaca dan membuat coretan tentang isi buku.

Judul: Dalang Kentrung Terakhir
Penulis: Joyo Juwoto
Penerbit: Pataba press
Tahun terbit: 2017
Jumlah halaman: 132

Sinopsis:

Dalang Kentrung berisi 15 cerita pendek penuh hikmah. Saya ambil satu contoh cerpen yang berjudul Jalan Pulang, tokoh Wira digambarkan sebagai pemuda yang bertekad meninggalkan kampung halaman tanpa bekal dan tujuan apapun. Kata hati yang mengantarkannya ke kota tujuan. Jalan terjal yang dilalui membuatnya tegar menjalani hidup sebagai berandalan yang disegani di Ngawi, Solo dan sekitarnya.

Dalam kehidupan bermasyarakat Wira dikenal sebagai pemuda yang baik hati dan santun. Dia bersama teman-temannya nyantri untuk memperoleh ketentraman batin. Namun tetap melakukan aksi begal di tempat yang jauh dari pesantren. Uang dan perhiasan hasil rampokan  cukup banyak. Hingga suatu hari kyainya meminta Wira untuk pulang dalam keadaan seperti dia berangkat meninggalkan kampung.

Wira merasa gundah. Perang batin membuatnya ragu melangkah. Akankah jalan yang akan dilalui sama seperti dulu? Ataukah lebih baik dengan melepaskan semua harta benda dan pekerjaannya selama ini?

***

Pada cerpen pertama ini saya terkejut. Saya termasuk orang yang terpukai pada awal cerita. Jika alur dan penokohan kuat, maka progress membaca akan cepat selesai. Benar saja. Satu cerpen membuat saya ketagihan. Saya tak ingin beranjak dari tempat tidur dan memandang laptop. Saya membaca dari laptop biar mata saya nyaman dengan berlembar-lembar tulisan.

Sejak saat itu, saya ingin segera menyelesaikan buku mas Joyo Juwoto. Harus selesai hari itu. Karena saya tidak akan sanggup untuk menunggu lebih lama lagi. Tidak sampai satu hari sudah kelar.  

desa

Review singkat ini semoga bisa membantu para pembaca yang ingin menikmati hangatnya suasana desa dalam kumpulan cerpen Dalang Kentrung Terakhir.


Kelebihan:

- Diksi

Saya acungi jempol untuk racikan diksinya. Sungguh kata demi kata dibangun diatas pemahaman yang paripurna. Saya cuplik dari cerpen Pawang Hujan, halaman 99.


Kilat berkelebat cepat bagai anak panah terlepas dari busurnya. Lidah-lidah api menyambar dan membakar telaga yang berwarna putih susu. Dentuman guntur dan petir mengoyak dinding-dinding telaga itu dan membuatnya berhamburan menjadi keruh kelam kelabu. Awan hitam berarak dan bergulung-gulung laksana banjir bandang yang siap menerjang. Angin berkesiur cepat, riuh mendesau, berputar-putar bagai penari sufi yang mabuk ketuhanan. Pertemuan antara kilat, mendung, petir, dan angin diatas kanvas angkasa adalah bahasa alam yang mengabarkan hujan segera tumpah membasahi bumi.


Penggunaan kata-kata yang tak familiar memaksa saya untuk membuka kamus bahasa Indonesia online. Saya yang sering menyimak twit dari Ivan Lanin jadi lewat begitu saja.

- Genre

Benar apa yang dikatakan oleh Soesilo Toer dalam pengantarnya bahwa kumpulan cerpen Dalang Kentrung Terakhir ini memiliki ciri realisme – agamis – magis. Pembaca tidak akan menemukan titik akhir begitu saja. Sebaliknya pembaca diajak menyusuri jalan yang ditempuh oleh tokoh utama dalam tiap cerpen dan menarik kesimpulan sendiri.

Cerita-cerita yang diangkat sebenarnya biasa saja. Seperti tokoh mbah Kardi dalam cerpen Penderas Legen. Mbah Kardi ini sudah lanjut usia namun masih kuat bekerja sebagai penderas legen (orang yang mengambil air legen dari pohon siwalan). Usia bukanlah suatu penghalang untuk mengais rejeki. Jangan sampai meminta belas kasihan orang untuk kebutuhan hidupnya dan istri.

Tokoh mbah Kardi ini adalah realita/nyata. Ya, di daerah kami, legen menjadi sebuah minuman yang banyak dijual di pinggir jalan, di tempat wisata, di warung-warung. Warga yang memiliki pohon siwalan bisa menyuruh orang untuk memanjat dan mengambil airnya. Atau langsung menawarkan/menjual kepada orang-orang yang biasa mengambil legen. Istilahnya ditebas. Satu pohon dihargai sekian rupiah.

Seburuk apapun tokoh, dalam kumpulan cerpen ini adalah orang-orang yang mencari jalan pulang, jalan yang kadang membuat jatuh bertubi-tubi dan ragu. Namun memilih pada kerinduan yang hakiki.

- Penggunaan istilah

Dari kumpulan cerpen ini saya baru tahu tentang dalang kentrung. Kentrung adalah seni hiburan rakyat yang menyuguhkan perpaduan antara tembang dan alat musik. Menjadi dalang kentrung berarti menjadi semisal bocah angon, anak gembala yang menggembalakan nafsu-nafsu hewan manusia agar tidak lepas kendali menerjang paugeran Tuhan.

Istilah santri kreweng membuat saya menebak-nebak santri seperti apa yang dimaksud. Ternyata santri kreweng adalah santri yang makan sambal kelapa yang dibakar dengan pecahan gerabah. Kreweng dalam bahasa Jawa adalah pecahan gerabah.

- Alur

Alurnya mudah dipahami. Tidak ada alur yang maju mundur cantik seperti Syahrini. Karena mengambil cerita sehari-hari, pembaca seperti sedang diajak berkelana mengunjungi ladang dengan barisan pohon siwalan yang bertebaran di kabupaten Tuban. 

Ketika bercerita tentang pawang hujan, pembaca diajak untuk mengerti kegundahan sang pawang. Masih banyak orang yang menggunakan jasa pawang hujan ketika mengadakan hajatan. Ada lagi adegan di warung kopi. Ini kisah yang merakyak banget. Warga biasa cangkrukan di warung kopi sambil ngobrol apa saja. Warung kopi identik keakraban dan obrolan kegelisahan rakyat. Semuanya diracik dengan jalan cerita yang ringan namun penuh kejutan.

Kekurangan:

Ada cerita yang hampir mirip yaitu cerpen Khidir dan  cerpen Sang Pengembara yang menyebutkan tentang Nabi Khidir. Tidak masalah juga karena dalam dua cerpen ini jalan ceritanya beda, tokohnya juga beda.

***

Secara keseluruhan, saya suka dengan semua cerpen yang ditulis mas Joyo Juwoto dengan detail. Membaca cerita-cerita ini seolah mengajak saya untuk menyelami samudera hikmah yang terserak. Sebagai pembaca saya dituntun untuk memetik sendiri. Banyak kisah yang sejatinya adalah pergulatan batin, pencarian jati diri dan keteguhan dalam ikhtiar, yang berakhir pada kerinduan pada Tuhan.  

So, buat teman-teman yang penasaran dengan kumpulan cerpen Dalang Kentrung Terakhir, silakan menghubungi penulisnya, mas Joyo Juwoto.

Happy reading!

^_^
Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

3 Komentar untuk "Menyelami Samudera Hikmah dalam Kumpulan Cerpen Dalang Kentrung Terakhir"

  1. Mbah Joyo penulis asli Tuban yang produktif. Ini salah satu buku yg jadi andalan beliau sepertinya. :-)

    BalasHapus
  2. Keren mba, penyuka sastra.. sedangkan saya baca buku Hujan Bulan Juni aja ga beres2 😅

    BalasHapus
  3. Jadi penasaran pengen baca buku Dalang kentrung terakhir, dari review mbak Nur saja saya seolah dibawa kepada tokoh Wira

    BalasHapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel