Secercah Harapan Untuk Hidup Sehat dan Bahagia dengan Dompet Duafa
Jumat, 19 April 2019
12 Komentar
Maghrib.
Seorang tetangga tiba-tiba mengetuk pintu rumah. Saya sudah mengenakan mukena, siap untuk
sholat di rumah. Tapi ketukan yang berulang membuat saya ragu. Haruskah saya
mengurungkan niat untuk sholat saat itu dan menemui tamu? Ataukah saya biarkan
saja menunggu di depan pintu rumah.
Naluri saya memerintahkan untuk segera membuka pintu.
Ah,
saya mengenal ibu ini sebagai tetangga yang ramah. Rumahnya tepat di seberang jalan
raya. Sering menyapa ketika saya
berhenti di depan gang rumah bapak. Dengan terburu-buru si ibu bertanya, “Mbak,
suaminya ada?”
“Sholat
di masjid, buk.”
“Ogh...”
“Ada
apa, ya?”
“Eh....
mau minta tolong mbak. Suamiku sakit. Barusan pingsan. Mau tak bawa ke rumah
sakit. ” Raut wajah ibu itu semakin sendu. “Ya, sudah mbak.” Buru-buru dia
pulang.
“Eh,
iya. Nanti saya sampaikan kepada suami.”
Kepergian
si ibu menyisakan tanda tanya. Tapi saya mau sholat dulu. Urusan dia semoga
dipermudah.
Ketika
suami tiba di rumah, saya segera menyampaikan pesan dari si ibu tadi.
Bergegas suami pergi ke rumahnya. Hanya beberapa langkah di depan rumah, saya
melihat si ibu pontang-panting mencari pertolongan. Ada tetangga yang
melaporkan bahwa dia tidak bisa membantu karena mobilnya sedang tidak ada.
Suami
saya segera membawa mobil dan berhenti tepat di depan rumah ibu. Satu orang
tetangga menghentikan kendaraan-kendaraan yang melintas. Dua orang tetangga
membantu mengangkut seorang laki-laki yang tergolek lemas. Dua orang termasuk
istrinya masuk ke dalam mobil. Kemudian mobil melaju membelah jalanan yang
ramai.
Dada
saya berdebar. Agak cemas memikirkan keadaan orang sakit. Tentu dia sudah
menahan sakit sejak tadi. Semenit dua menit adalah waktu yang panjang ketika
sakit menjalar tubuhnya. Sementara untuk segera berobat membutuhkan bantuan
orang lain. Mau naik sepeda motor pasti susah. Naik becak, bakal lama.
Sungguh,
saya tidak tahu ada tetangga bapak saya yang sedang sakit dan sangat
membutuhkan bantuan. Memang rumah kami berdekatan. Hanya dipisahkan jalan raya.
Tapi karena saya tidak sepanjang waktu tinggal di rumah orang tua, jadi kabar
seperti ini sering terlambat saya ketahui.
Tak
lama suami pulang. Katanya cuma disuruh mengantarkan saja ke rumah sakit. Sudah
ada keluarganya yang menjaga di rumah sakit. Sayang, pagi hari ada kabar duka. Tetangga
yang sakit tersebut menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit. Kemudian
langsung dibawa pulang ke kampung halamannya di Solo.
Beberapa
bulan kemudian, si ibu sudah kembali disini dan bekerja lagi. Berjualan jamu
keliling kampung. Dengan sepeda yang diberi wadah untuk menaruh jamu-jamu
tradisional, si ibu tak lelah menjemput rejeki. Saya berjumpa dengan si ibu ketika
mengantar anak saya les. Si ibu mengucapkan terima kasih. Ah, saya jadi
bingung. Saya sudah lupa kejadian waktu maghrib itu. Saya merasa apa yang
dilakukan oleh suami adalah hal yang sangat wajar, yang biasa saja dan bisa
saja orang lain akan seperti kami.
Si
ibu merasa perlu untuk memberikan penegasan. Menyalami saya sambil mengucap
terima kasih berulang. Saya tersenyum bahagia. Ternyata untuk membuat orang lain senang
itu mudah. Tidak perlu takut bakal menghabiskan bensin atau kelelahan jadi
sopir sekejab.
Sayapun
menyampaikan rasa terima kasih itu kepada suami. “Harusnya kita, punya mobil
dulu-dulu. Biar berkah. Biar bisa dipakai orang. Ya, minimal buat menyenangkan
keluarga (besar) atau buat bantu orang kayak gini.”
“Iya,
tapi kan dulu kita masih susah. Boro-boro mikir mobil, rumah aja pindah-pindah
kontrakan. Mikir bayar kontrakan.”
Di
awal menikah dulu, tidak terpikir bakal punya mobil dan bisa membantu orang
yang membutuhkan. Bahkan ketika sudah memiliki mobil, saya pikir untuk
bersenang-senang dengan mengajak keluarga piknik. Tapi ketika ibu saya sakit
hingga akhirnya meninggal, mobil itupun digunakan untuk keperluan berobat
keluar kota. Demikian juga ketika keluarga suami membutuhkan kendaraan untuk
kondangan dan keperluan lainnya. Saya pikir sudah semestinya seperti itu.
Sebagai
makhluk sosial, manusia pasti saling membutuhkan. Tak mungkin bisa hidup
seorang diri. Meski dalam keadaan sehat wal’ afiat, pasti membutuhkan orang
lain. Kebutuhan dasar manusia seperti sandang, pangan dan papan tidak mungkin
dihasilkan sendiri. Kita membutuhkan orang lain karena hidup adalah jalinan
persaudaraan.
Sesama umat
muslim adalah bersaudara. Kalau ada tetangga kesusahan, sakit, ibaratnya
keluarga sendiri juga. Maka, tetangga-tetangga terdekat berusaha membantu.
Sebisanya. Semampunya. Dengan kendaraan bisa mengantarkan tetangga. Dengan harta bisa mengurangi biaya berobat. Dengan tenaga bisa dengan menemani ketika sedang berobat. Memberinya semangat untuk melewati masa sulit ini.
Saya
ingat almarhum ibu saya sering berkata, “Jangan egois! Memang kamu bisa hidup
sendiri! Mau masuk liang kubur saja butuh orang lain.”
Nah!
Ini nasihat yang jleb banget. Saya pasti mengingat selamanya.
Kematian
adalah sebaik-baik pengingat agar hidup lebih terarah. Agar hidup lebih
bermakna. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat buat orang lain! Lalu
bagaimana dengan saya?
Berbagi itu Bikin Kita Bahagia!
Kadang
saya berpikir, apa sih yang sudah saya lakukan sehingga hidup ini lebih
bahagia? Memiliki keluarga, pekerjaan atau harta? Keluarga menjadi tempat
bersandar, tempat melimpahkan kasih dan sayang. Pekerjaan, harta dan benda akan
melengkapi kebahagiaan sebuah keluarga. Sudahkah semuanya memberi makna buat saya, buat orang lain?
Kunci
kebahagiaan ada di hati. Ketika hati ini rusuh, memandang suatu masalah dengan emosi. Namun bila sebaliknya, setiap masalah adalah jalan untuk meningkatkan ketaqwaan kita. Semua yang kita miliki ini
fana. Harta adalah titipan Allah yang harus kita kelola dengan baik. Di dalamnya ada hak-hak orang lain yang bakal menjadi bekal hidup kita selanjutnya. Segera tunaikan dengan ziswaf (zakat, infak, shodaqoh dan wakaf) untuk menyucikan harta dan jiwa.
"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir dan adalah pembelanjaan itu ditengah-tengah yang demikian," (QS Al Furqan (25):67)
Lalu bagaimana jika kita tidak memiliki harta dan benda yang berlimpah, masihkah bisa mengulurkan tangan kepada orang yang membutuhkan?
"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir dan adalah pembelanjaan itu ditengah-tengah yang demikian," (QS Al Furqan (25):67)
Lalu bagaimana jika kita tidak memiliki harta dan benda yang berlimpah, masihkah bisa mengulurkan tangan kepada orang yang membutuhkan?
Masih.
Bahkan dengan menampakkan wajah cerah dan senyum yang ikhlas, kita masih bisa
menyenangkan orang lain. Kita juga masih bisa berbagi dengan ilmu, pikiran dan
tenaga. Insyaallah tubuh yang kita miliki adalah sebagai sarana untuk
memberikan sumbangsih kepada orang lain.
Saya
ingin di sisa usia ini, tetap bisa melakukan kegiatan yang positif. Saya, demikian
juga teman-teman tidak ada yang bisa menebak sampai kapan bisa dengan leluasa
bernafas. Sebagai ibu rumah tangga, keluarga adalah prioritas saya. Namun saya
masih memiliki waktu untuk hal-hal lain. Maka dengan passion menulis, saya
berbagi banyak tulisan yang tentang pengalaman dan info seputar tempat makan, tempat wisata, cerita parenting bahkan
resep masakan untuk keluarga.
Dengan
tenaga dan ide-ide segar saya ikut berpartisipasi dalam paguyuban wali murid.
Saya bukan pengurus, namun saya dengan senang hati membantu pengurus untuk
menyukseskan program-program dari sekolah. Contohnya kegiatan business day di
sekolah. Anak-anak diminta mempersiapkan makanan dan minuman yang dijual di
sekolah. Wali murid membantu membuat makanan dan kostum anak.
Selain
itu saya bergabung sebagai relawan di BSMI Tuban (Bulan Sabit Merah Indonesia).
Kegiatan yang rutin dilakukan adalah pengobatan gratis dan bakti sosial.
Sebagai relawan, tidak harus memiliki latar medis. Awalnya saya merasa kaku.
Namun karena sudah beberapa kali ikut, saya terbiasa dengan kegiatan ini.
Menjadi
relawan BSMI membuat saya berkesan. Saya berkesempatan mengunjungi kecamatan
selain di kota, yang jauh dari sarana kesehatan. Rombongan kami selalu disambut
hangat oleh warga. Saya berinteraksi dengan warga lokal. Menanyakan keluhan
mereka dan mencatatnya. Selanjutnya teman-teman medis yang memeriksa dan
memberi obat.
Saya
senang ketika warga bisa mendapatkan akses kesehatan secara cuma-cuma. Sayangnya,
ini saja tak mungkin berkelajutan. Bakti sosial dan pengobatan gratis selalu
berpindah tempat. Maka, bolehlah saya berharap di pelosok nusantara ada sarana
kesehatan yang mampu dijangkau warga. Minimal orang-orang desa mendapatkan
pertolongan pertama ketika sakit. Selanjutnya jika sakitnya tidak kunjung sembuh bisa dirujuk di rumah sakit di kota.
Di
Jawa Timur sudah ada peningkatan sarana kesehatan dari tahun 2008 hingga 2018. Mungkin
tidak bisa secara drastis menjangkau seluruh wilayah. Dengan
adanya peningkatan seperti ini, secercah harapan untuk hidup sehat mulai terbit. Karena setiap warga negara Indonesia
memiliki kesempatan yang sama untuk menikmati sarana kesehatan.
Sedih
ya, kalau ada yang meninggal karena tidak bisa segera dibawa ke rumah sakit. Contohnya, pasien demam berdarah yang terlambat dibawa ke rumah sakit karena rumahnya di desa dan menganggap ini demam biasa. Beberapa hari dirawat di rumah sakit akhirnya meninggal.
Sedihnya lagi karena tak ada dana dan kendaraan yang segera siap. Juga tak ada sarana kesehatan terdekat. Semoga dengan uluran tangan kita, donasi untuk masyarakat di pelosok, bukan saja di Jawa Timur namun di seluruh Indonesia membuat hidup mereka lebih baik.
Sedihnya lagi karena tak ada dana dan kendaraan yang segera siap. Juga tak ada sarana kesehatan terdekat. Semoga dengan uluran tangan kita, donasi untuk masyarakat di pelosok, bukan saja di Jawa Timur namun di seluruh Indonesia membuat hidup mereka lebih baik.
Percayakan
niat baik kita kepada Dompet Duafa yang sudah berperan aktif di bidang kesehatan dengan melayani kaum
duafa sejak tahun 2001. Kemudian pada tahun 2009 Dompet Duafa membangun rumah
sakit gratis bagi pasien dari kalangan miskin. Berlokasi di desa Jampang,
Kemang kabupaten Bogor rumah sakit ini memiliki fasilitas lengkap antara lain
poliklinik, dokter spesialis, rawat inap, UGD, apotik hingga metode pengobatan
komplementer. Selain di bidang kesehatan, Dompet Duafa juga bergerak di bidang pendidikan, ekonomi dan pengembangan sosial.
Nah,
sudah siapkah kita menjadi penyalur kebaikan? Hidup sehat dan bahagia adalah harapan kita semua, tak terkecuali pada kaum duafa dan orang-orang di pelosok. #JanganTakutBerbagi karena senyum bahagia mereka adalah kebahagiaan kita bersama.
Tulisan
ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Jangan Takut Berbagi yang diselenggarakan
oleh Dompet Dhuafa.
^_^
Sumber bacaan:
https://www.dompetdhuafa.org/kesehatan/profil
https://www.bps.go.id/
https://tirto.id/bps-penduduk-miskin-di-indonesia-2595-juta-orang-pada-maret-2018-cPhj
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/01/15/angka-kemiskinan-indonesia-sentuh-966-terendah-sepanjang-sejarah
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/01/15/angka-kemiskinan-indonesia-sentuh-966-terendah-sepanjang-sejarah
Alhamdulillah ya untuk si Ibu. Iya mba, pernah juga ngalami yang mirip begini kejadiannya, saat kita menolong orang lain dan melupakannya, orang itu datang dan mengucapkan terima kasih bertubi-tubi, Baru setelah dia bercerita panjang lebar, jadi tahu ksulitannya yang mendalam.
BalasHapusAda perasaan lega dan senang ketika kita bisa menolong orang.
HapusTerkadang, pertolongan Allah itu di saat yang tepat ya, mbak. Dan allhamdulillahnya masih dikasih kesempatan istimewa buat nolong orang. Masya allah.
BalasHapusIya, mba. Coba kalau telat sedikit dan si ibu sudah ada yang membantu, sudah mendapat kendaraan untuk ke rumah sakit. Duh..., pasti ada sesal.
HapusBahagia ya kalau bisa berbagi. Semoga ibu tetangga Mbak itu selalu diberi kekuatan untuk menjemput rezeki halal dan mengasuh anak-anaknya.
BalasHapusAamiin.
HapusSenangnya membaca kisah inspiratif seperti ini. Sayapun juga berharap kendaraan yang kami miliki bisa jadi perantara untuk menolong orang lain. Terimakasih sudah berbagi inspirasi, mbak ^^
BalasHapusAamiin. Semoga apa yang kita miliki menjadi sarana menjemput kebaikan.
Hapussangat dipermudah denagn dompet dhuafa ya
BalasHapusKita mau manyalurkan donasi jadi mudah.
Hapussangat terketuk dengan cerita ini mbak, memang benar bagaimanapun dengan berbagi akan membuat hati bahagia, berkah dan banyak pahala. Saat kita berbuat baik kepada orang lain makan akan ada krang lain yang melakukan hal sama kepada kita
BalasHapusSemoga semakin banyak yang tergerak hati dan langkahnya untuk berbuat baik. Karena berbuat baik itu menyenangkan.
Hapus