Anak Penurut vs Pemberontak, Bagaimana Menghadapinya?
Selasa, 15 Oktober 2019
4 Komentar
Assalamualaikum
Akhir-akhir
ini saya jadi malas menulis label parenting karena anak-anak sudah beranjak
remaja, dewasa. Tinggal si bungsu yang masih anak-anak. Kadang saya merasa tak
ada yang menarik untuk dibahas lagi. Padahal masalah anak-anak kadang membuat
kepala saya nyut-nyutan tiada henti. Contoh kali ini adalah ketika anak saya
sakit karena ulahnya. Mengapa tidak mau patuh dengan orang tua. Toh, orang tua
pasti ingin yang terbaik buat anak-anak.
Yang
sering terjadi itu ketika anak sedang batuk eh, minum es di sekolah. Dikasih es
orang. Mencuri-curi waktu untuk minum es. Aduh...anak-anak itu melakukan segala
cara agar nasihat ibu seperti angin lalu. Akibatnya batuk tidak kunjung
berhenti. Badan deman dan tidak masuk sekolah.
Atau
kasus lainnya yang tak kalah seru. Hari Senin seperti biasanya si anak waktunya
puasa sunnah. Setelah maghrib berbuka dengan minuman manis, ngemil lalu sholat
di masjid. Setelah itu dia mengeluh pusing dan tidur. Bangun tidur bukannya
makan nasi atau sumber karbohidrat lainnya eh makan junk food. Pedas pula! Akibatnya,
pagi hari perut mulas, diare sampai tidak sanggup masuk sekolah.
Kasus
lainnya masih banyak dan seru pula. Tapi cukup dua saja sudah mewakili semacam
pemberontakan (ketidakpatuhan) anak-anak. Kalau masih kecil, dengan sedikit
rayuan plus pemaksaan, maka urusan makanan beres. Tapi menghadapi anak remaja
tidak semudah itu.
Dengan
anak remaja saya lebih banyak diskusi tapi sering mengalami jalan buntu.
Jawabannya “Iya, ibu.” Begitu terus. Sampai saya lelah dan emosi. Akhirnya saya
menyerah. Daripada terus menerus menunggu anak sampai mau makan, toh tidak ada
hasilnya, lebih baik saya melakukan kegiatan lain yang lebih menyenangkan untuk
jiwa dan raga.
Minggu
lalu ketika saya mengantar anak periksa ke dokter langganan, bapak dokter ini
semakin mamahami kondisi anak zaman now. Tidak bisa kita melarang tidak boleh
mengonsumsi makanan ini dan itu tanpa sebab. Nah, dari sinilah terjadi diskusi
tentang penyakit, penyebab hingga pengobatannya. Siklusnya seperti apa,
dijelaskan dengan sederhana dengan singkat. Jadi anak tidak penasaran lagi
ketika harus menghindari makanan atau aktivitas tertentu agar proses
penyembuhan penyakit berjalan dengan lancar.
Meski
demikian, saya tetap kena omelan dokter karena sudah 4 hari baru periksa. Aduh,
pak dokter, kalau anaknya mau, dari kemarin juga sudah berangkat kesini. Berhubung
si anak menolak terus sampai akhirnya menyerah karena sakitnya bertambah parah,
barulah saya bawa periksa.
***
Ada
anak yang begitu dinasihati bisa menerima, segera melaksanakan. Ini membuat
orang tua gembira tanpa banyak tantangan Ada juga yang sebaliknya. Bahkan
mengamuk karena dia merasa baik-baik saja. Tapi, tunggu dulu. Ada suatu waktu
ketika omongan orang tua itu benar adanya. Saya tidak mau menakut-nakuti anak,
seperti ini, “Nanti kamu kalau tidak mau makan, sakit loh! Nanti kalau kamu
main game terus, lupa pelajaran sekolah, nilai anjlok, dsb!”
Pada
anak yang suka tantangan tapi acuh, mau ibu ngomong seperti apa ya terserah
saja. “Hidup itu harus dijalani saja.” Byuh...motto darimana itu, Nak. Semua
hal ada aturannya. Ada hukum sebab akibat. Jangan cuma bilang cuma menjalani tanpa tahu ilmu dan adabnya. Bisa kacau!
Kadang
anak butuh merasakan akibatnya dulu baru mengerti. Hukum sebab akibat akan
berlaku ketika dia benar-benar terjatuh, sakit, dsb. Barulah dia mengerti apa
yang mesti dilakukan.
Sementara
orang tua maunya sih sederhana. Tidak perlu aneh-aneh, neko-neko. Hidup sewajarnya
agar tidak terjadi hal-hal buruk. Tapi faktanya, anak tidak bisa menerima. Dia butuh
waktu untuk mencerna semua kosakata ajaib dari orang tua.
Jadi
inti dari curhat ngalor-ngidul ini apa sih?
Anak penurut bisa bikin adem hati orang tua. Tapi kalau sebaliknya? Orang tua baru ngomong satu dua kalimat sudah dibantah. Eh gimana sih? Sedih, kesel, jengkel.... Tapi saya yakin selalu ada cara untuk menghadapinya.
Memahami
karakter anak tidak mudah. Tidak pula sebentar. Kalau anaknya penurut, orang
tua tidak perlu bersusah payah debat kusir. Sekali saya ngomong, si anak sudah
mengerti. Tapi buat anak yang suka memberontak, atau membantah, pasti butuh pendekatan lain. Sesekali bisa mendekati teman-temannya sehingga saya bisa memahami dunia mereka.
Namun,
kadang tidak perlu nasihat apapun. Seperti salah satu anak saya. Dia akan
mengatakan “Iya” ketika dia sudah merasakan akibatnya. Selama belum pernah, dia
tidak akan sependapat dengan saya.
Sampai saat ini saya masih belajar dari anak-anak. Setiap hal menurut kacamata saya "buruk", saya ingin tidak mudah tersulut emosi. Ini berat! Karena seringkali terjadi debat panjang kali lebar. Di satu sisi, orang tua terlalu fokus dengan kesalahan anak. Sedangkan anak merasa tidak ada yang salah atau tidak bermasalah.
Selain itu, faktor pergaulan dengan teman-teman sekolah, bermain bisa jadi salah satu memicu perilaku anak. Misalnya ketika banyak temannya yang malas belajar. Sedikit atau banyak, hal tersebut mempengaruhi anak kita.
Jadi,
bagaimanapun karakter anak kita, semoga kita selalu diberikan kesabaran. Jangan
pernah lelah untuk berdoa untuk melembutkan hati ananda.
^_^
Amin, mudah2an kita selalu sabar dan bisa mendidik anak dgn cara yg benar ya mbak
BalasHapusTerima kasih mba.
Hapusmakasih sharingnya, anak pertama penuru dan anak kedua pemberontak, lengkap nih
BalasHapusLengkap, rasanya nano-nano mengurus mereka.
Hapus