Anak Penurut vs Pemberontak, Bagaimana Menghadapinya?

remaja


Assalamualaikum

Akhir-akhir ini saya jadi malas menulis label parenting karena anak-anak sudah beranjak remaja, dewasa. Tinggal si bungsu yang masih anak-anak. Kadang saya merasa tak ada yang menarik untuk dibahas lagi. Padahal masalah anak-anak kadang membuat kepala saya nyut-nyutan tiada henti. Contoh kali ini adalah ketika anak saya sakit karena ulahnya. Mengapa tidak mau patuh dengan orang tua. Toh, orang tua pasti ingin yang terbaik buat anak-anak.


Yang sering terjadi itu ketika anak sedang batuk eh, minum es di sekolah. Dikasih es orang. Mencuri-curi waktu untuk minum es. Aduh...anak-anak itu melakukan segala cara agar nasihat ibu seperti angin lalu. Akibatnya batuk tidak kunjung berhenti. Badan deman dan tidak masuk sekolah.

Atau kasus lainnya yang tak kalah seru. Hari Senin seperti biasanya si anak waktunya puasa sunnah. Setelah maghrib berbuka dengan minuman manis, ngemil lalu sholat di masjid. Setelah itu dia mengeluh pusing dan tidur. Bangun tidur bukannya makan nasi atau sumber karbohidrat lainnya eh makan junk food. Pedas pula! Akibatnya, pagi hari perut mulas, diare sampai tidak sanggup masuk sekolah.

Kasus lainnya masih banyak dan seru pula. Tapi cukup dua saja sudah mewakili semacam pemberontakan (ketidakpatuhan) anak-anak. Kalau masih kecil, dengan sedikit rayuan plus pemaksaan, maka urusan makanan beres. Tapi menghadapi anak remaja tidak semudah itu.

Dengan anak remaja saya lebih banyak diskusi tapi sering mengalami jalan buntu. Jawabannya “Iya, ibu.” Begitu terus. Sampai saya lelah dan emosi. Akhirnya saya menyerah. Daripada terus menerus menunggu anak sampai mau makan, toh tidak ada hasilnya, lebih baik saya melakukan kegiatan lain yang lebih menyenangkan untuk jiwa dan raga.

Minggu lalu ketika saya mengantar anak periksa ke dokter langganan, bapak dokter ini semakin mamahami kondisi anak zaman now. Tidak bisa kita melarang tidak boleh mengonsumsi makanan ini dan itu tanpa sebab. Nah, dari sinilah terjadi diskusi tentang penyakit, penyebab hingga pengobatannya. Siklusnya seperti apa, dijelaskan dengan sederhana dengan singkat. Jadi anak tidak penasaran lagi ketika harus menghindari makanan atau aktivitas tertentu agar proses penyembuhan penyakit berjalan dengan lancar.

Meski demikian, saya tetap kena omelan dokter karena sudah 4 hari baru periksa. Aduh, pak dokter, kalau anaknya mau, dari kemarin juga sudah berangkat kesini. Berhubung si anak menolak terus sampai akhirnya menyerah karena sakitnya bertambah parah, barulah saya bawa periksa.


***

Ada anak yang begitu dinasihati bisa menerima, segera melaksanakan. Ini membuat orang tua gembira tanpa banyak tantangan Ada juga yang sebaliknya. Bahkan mengamuk karena dia merasa baik-baik saja. Tapi, tunggu dulu. Ada suatu waktu ketika omongan orang tua itu benar adanya. Saya tidak mau menakut-nakuti anak, seperti ini, “Nanti kamu kalau tidak mau makan, sakit loh! Nanti kalau kamu main game terus, lupa pelajaran sekolah, nilai anjlok, dsb!”

Pada anak yang suka tantangan tapi acuh, mau ibu ngomong seperti apa ya terserah saja. “Hidup itu harus dijalani saja.” Byuh...motto darimana itu, Nak. Semua hal ada aturannya. Ada hukum sebab akibat. Jangan cuma bilang cuma menjalani tanpa tahu ilmu dan adabnya. Bisa kacau!

Kadang anak butuh merasakan akibatnya dulu baru mengerti. Hukum sebab akibat akan berlaku ketika dia benar-benar terjatuh, sakit, dsb. Barulah dia mengerti apa yang mesti dilakukan.

Sementara orang tua maunya sih sederhana. Tidak perlu aneh-aneh, neko-neko. Hidup sewajarnya agar tidak terjadi hal-hal buruk. Tapi faktanya, anak tidak bisa menerima. Dia butuh waktu untuk mencerna semua kosakata ajaib dari orang tua.

remaja bermain skateboard


Jadi inti dari curhat ngalor-ngidul ini apa sih?

Anak penurut bisa bikin adem hati orang tua. Tapi kalau sebaliknya? Orang tua baru ngomong satu dua kalimat sudah dibantah. Eh gimana sih? Sedih, kesel, jengkel.... Tapi saya yakin selalu ada cara untuk menghadapinya.

Memahami karakter anak tidak mudah. Tidak pula sebentar. Kalau anaknya penurut, orang tua tidak perlu bersusah payah debat kusir. Sekali saya ngomong, si anak sudah mengerti. Tapi buat anak yang suka memberontak, atau membantah, pasti butuh pendekatan lain. Sesekali bisa mendekati teman-temannya sehingga saya bisa memahami dunia mereka. 

Namun, kadang tidak perlu nasihat apapun. Seperti salah satu anak saya. Dia akan mengatakan “Iya” ketika dia sudah merasakan akibatnya. Selama belum pernah, dia tidak akan sependapat dengan saya. 

Sampai saat ini saya masih belajar dari anak-anak. Setiap hal menurut kacamata saya "buruk", saya ingin tidak mudah tersulut emosi. Ini berat! Karena seringkali terjadi debat panjang kali lebar. Di satu sisi, orang tua terlalu fokus dengan kesalahan anak. Sedangkan anak merasa tidak ada yang salah atau tidak bermasalah. 

Selain itu, faktor pergaulan dengan teman-teman sekolah, bermain bisa jadi salah satu memicu perilaku anak. Misalnya ketika banyak temannya yang malas belajar. Sedikit atau banyak, hal tersebut mempengaruhi anak kita.

Jadi, bagaimanapun karakter anak kita, semoga kita selalu diberikan kesabaran. Jangan pernah lelah untuk berdoa untuk melembutkan hati ananda.

^_^

Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

4 Komentar untuk "Anak Penurut vs Pemberontak, Bagaimana Menghadapinya?"

  1. Amin, mudah2an kita selalu sabar dan bisa mendidik anak dgn cara yg benar ya mbak

    BalasHapus
  2. makasih sharingnya, anak pertama penuru dan anak kedua pemberontak, lengkap nih

    BalasHapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel