Koordinator Wali Murid Itu Tugas Mulia yang Tidak Diinginkan

wanita


Assalamualaikum,

Dua minggu kemarin itu pikiran dan tenaga saya tersita untuk mengurus kegiatan anak-anak di sekolah. Kegiatannya adalah business day yang rutin tiap tahun melibatkan wali murid dan anak-anak. Aslinya kegiatan anak-anak tapi entah bagaimana bisa bermetafosa menjadi kegiatan wali murid (baca: ibu) dan anak.


Sebagai koordinator, saya harusnya bertanggung jawab terhadap suksesnya kegiatan tersebut. Jadi ketua ibu-ibu gitu loh! Namun di whatapps grup wali murid dan guru, saya menyatakan keberatan untuk bertanggung jawab 100%. Alasan saya sederhana, saya tidak mau bekerja sendiri. Capek dan tidak dapat duit. Yang ada tekor!

Ini adalah kegiatan bersama, jadi yang bertanggung jawab ya semuanya. Kalau ada yang tidak beres, menjadi beban bersama. Menjadi tugas untuk mencari solusi bersama meski yang benar-benar membantu hanya segelintir orang. Ya sudah, intinya masih ada yang bisa diajak membantu mengurus ini itu.

Beberapa kali menjadi koordinator wali murid membuat saya ingin pensiun dini. Masih mending kalau pensiunnya diterima. Kalau tidak? Pernah dulu di masa saya bertugas kemudian hamil dan keguguran. Fisik sedang tidak sehat, masih terbebani dengan berbagai kegiatan. Saya mengeluh juga percuma, orang-orang jelas tidak mau menggantikan saya. Minimal empati saja saya sudah bersyukur, kok.

Nah, kali ini saya sudah mengeluh kepada wali kelasnya si bungsu. Di hadapan wali murid lainnya juga saya sudah tidak sanggup menjadi koordinator.  Tapi apa jawaban mereka, “Sabar ibu ketua.”

Lalu saya kudu piye?

Ibu Ketua Jangan Mudah Baper dan Tepar!

Setahu saya tidak ada yang ingin mencalonkan diri menjadi koordinator wali murid. Semua ibu-ibu yang datang rapat menolak dengan berbagai alasan. Saya? Ya, menolak dong. Alasan saya karena saya memiliki sakit tulang belakang, saya tidak bisa banyak aktivitas. Tapi tetap saja saya dicalonkan (baca: dipaksa).

menyusun kegiatan


Urusan dengan ibu-ibu zaman now memang rumit. Menurut saya makin rumit daripada di zaman anak sulung. Ah, itu sudah berapa tahun lalu. Tentu sudah banyak yang berubah. Ibu-ibu yang mudah mengekspresikan pendapatnya membuat saya kalang kabut. Iya kalau pendapatnya pro dengan saya kalau kontra. Waduh!! Sepertinya pertahanan diri saya bakal rontok menghadapi ini. Tapi sebelum itu terjadi, saya harus membangun benteng yang kuat, minimal  pride saya sebagai ibu ketua tidak turun drastis!

Sebagai koordinator wali murid dengan jumlah siswa 22 anak adalah tindakan yang mulia. Bagaimana tidak? Seorang koordinator bisa menyelamatkan seluruh wali murid. Iya dong, kan saya harus sering berhadapan dengan wali kelas untuk melaporkan progress kegiatan,  usulan dan keluhan wali murid (yang ini biasanya lapor sendiri tapi ada juga yang lapor ke saya), dsb. Sayang meski tindakan mulia namun tidak diinginkan. Semua pasti menolak dengan alasan yang maha penting.

Teruntuk ibu-ibu yang bekerja, koordinator wali murid itu  terpilih karena tidak bekerja alias pengangguran. Dalam setiap pemilihan koordinator selalu dimunculkan kata ibu bekerja dan tidak. Iya, daripada ribut, saya terima saja kalau saya tidak bekerja alias pengangguran. Sehingga bisa rapat-rapat dengan sekolah yang diadakan di jam kerja. Juga bisa melakukan kegiatan-kegiatan yang diadakan sekolah. Ya karena menganggur itulah jadi punya banyak waktu.

Masalahnya, ibu-ibu yang bekerja itu sebagian besar (bukan semua) tidak mau memberikan sumbangsih kepada kami. Minimal ide atau mempermudah pekerjaan kami. Misalnya yang sangat sangat sangat gampang (sangat 3 kali kurang apa coba!) adalah baca info/pengumuman di WAG. Baca dan laksanakan! Dengan begitu saya tidak perlu japri satu per satu demi mengingatkan ini. Masak sih membaca WAG saja tidak mau, tidak ada waktu, kelamaan karena malas manjat, dsb. Misalnya info untuk memakai baju tertentu untuk kegiatan sekolah. Kalau tidak punya silakan menulis di list biar kami kostumnya. Bagaimana? Berat ya baca WAG! Apalagi melaksanakannya!

Kalau dipikir-pikir, semua orang pasti memiliki kesibukan. Dari bangun tidur saja, seorang ibu biasa menyediakan makan pagi. Kemudian urusan rumah, seperti cuci baju, setrika, beres-beres dan bersih-bersih rumah. rasanya tidak ada habisnya. Apalagi kalau si ibu rumah tangga ini memiliki balita atau bayi. Repot. Sedangkan ibu bekerja jelas pergi ke kantor untuk bekerja. Repot juga. Kalau semuanya sibuk, repot siapa yang mau mengurusi kegiatan sekolah yang melibatkan wali murid?

Jadi untuk menjadi koordinator wali murid itu sebaiknya adalah ibu rumah tangga, penganguran, anak-anaknya sudah agak gedhe. Padahal misi dari koordinator wali murid ini sebenarnya bagus, loh. Hanya saja memang dibutuhkan kesabaran tak bertepi. Maka jika saya mengeluh disini, saya cuma butuh satu kata, “sabar”. Tenang, saya harus tahu diri, mau mengeluh tetap dengan memperhatikan adab sopan dan santun. Juga menggunakan kaidah bahasa yang baik.

Seorang koordinator wali murid tidak mendapat imbalan ataupun pujian. Lalu untuk apa dibentuk koordinator wali murid tiap kelas, semacam mempermudah kegiatan sosial begitu? Whatever, suka atau tidak harus melaksanakan tugas yang dibebani. Mulai dari mengatur wali murid agar bisa berpartisipasi dalam kegiatan sekolah, mengumpulkan uang untuk acara sosial (tilik bayi, haji, sakit, takziah dsb), mengajak wali murid untuk mengunjungi wali murid yang sedang sakit atau berduka. Ya seperti itulah kegiatan yang sering saya dan ibu-ibu lakukan.

Tapi tunggu dulu, untuk mengumpulkan uang dan orang itu ternyata tidak mudah. Memang ini kegiatan di luar sekolah. Tapi lingkup pertemanan kan tetap sekolah. Temannya anak kita di sekolah. Yang begini saja susah. Coba kalau yang melahirkan itu tetangga sebelah rumah. Apakah kita tidak tilik bayi. Atau yang meninggal itu tetangga kita, apakah tidak takziah?

Andaikan orang berpikir sama saja, mungkin akan tergerak hatinya untuk sekedar memberikan saweran Rp 10,000. Daripada harus datang sendiri ke rumah duka, berapa nominal atau barang (biasanya di daerah saya sembako) yang diberikan. Itu kalau hatinya tergerak. Kalau tidak? Ya sudahlah, mungkin ada alasan yang lebih penting daripada sekedar memberikan saweran.

Sebagai koordinator wali murid, saya mau tak mau harus mengetuk kesadaran wali murid untuk minimal memberikan saweran. Kalau ada waktu longgar bisa ikut bersama saya. Orangnya pasti itu-itu saja. Karena memang ibu-ibu rumah tangga pengangguran yang segelintir ini sangat dibutuhkan kehadirannya. Benar kan bisa menyelamatkan ibu-ibu bekerja dan ibu-ibu rumah tangga yang "katanya" sibuk. Karena kami pasti mengatasnamakan ibu-ibu sekelas, apapun profesi mereka.

Sayangnya berbagai tindakan mulia ini kurang mendapat respon. Mau siapa yang sakit, siapa yang melahirkan ya biasa saja. Ada satu dua orang yang memberikan ucapan di WAG itu pasti saya syukuri. Setidaknya wali murid satu kelas mengetahui kabar terbaru. Cuma baca saja tidak apa. Mereka toh akhirnya tahu si ibu A telah melahirkan, dsb.

Saya masih beruntung, orang masih berkata sopan meski sedang marah dengan nada tinggi di hadapan saya. Ya, iyalah masak marah pakai nada rendah nanti tidak terdengar. Orang menentang ide-ide yang bermunculan dengan kata yang sopan. Saya mengakui meski kadang saya merasa hopeless, tapi mereka masih baik, masih menyapa dan mengajak ngobrol seperti biasa.

Meski rasa tidak peduli dengan info-info yang saya share di WAG itu bikin jengkel, tapi masih ada kok yang mengulurkan tangan kepada saya. Saya sangat berterima kasih kepada ibu-ibu yang rela menjadi teman curhat, dan teman kelayapan untuk aksi sosial. Banyak yang masih bisa disyukuri...

Dari berbagai kasus yang saya alami, saya mendapat pelajaran berharga, “Jangan mudah baper dan tepar”. Kalau ada orang yang membentak saya dan baper, bisa menangis bombay dong! Rugi air mata saya. Satu lagi saya sejak awal tidak mau kerja sendiri. Bisa tepar dong saya, untuk urusan yang diremehkan ini. Saya dekati beberapa orang yang sekiranya bisa membantu dan bisa diajak keluyuran demi menyiapkan kegiatan. Kalaupun tak ada yang mau, saya lapor wali kelas saja. Tidak usah terlalu ngoyo, meski aslinya saya sudah ngos-ngosan. Biar dikatakan kelas tidak kompak, ya terima saja. Begitulah faktanya. Mau komplain kepada saya, silakan. Toh ada saja orang-orang susah diatur, apa boleh buat, tugas saya hanya sampai pada mengingatkan.

Lyfe!

^_^

Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

7 Komentar untuk "Koordinator Wali Murid Itu Tugas Mulia yang Tidak Diinginkan"

  1. Kalo baca ceritanya kok koordinator semacam petugas sapu jagat gitu. Eniwei semangat bu. Insya Allah itu jadi ladang amal

    BalasHapus
  2. Whuaaaa aku pernah juga jadi korlas, sempet pengen curhat jg di blog. Ya begitu ya, bener jgn terlalu ngoyo, yg penting kita jalankan amanah. Datang rapat sebetulnya juga males tapi inget lagi amanah, yauda jalani aja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mau gimana lagi ya, tetap kudu dijalani sampai habis masa tugasnya.

      *menyemangati diri sendiri

      Hapus
  3. hai mbak nur...salam kenal dari saya sama2 di Tuban, tulisan mbak relate sekali dengan saya, dan bikin ketawa ketawa sendiri, sungguh benar adanya seperti itu....

    BalasHapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel