Koordinator Wali Murid Itu Tugas Mulia yang Tidak Diinginkan
Selasa, 25 Februari 2020
7 Komentar
Assalamualaikum,
Dua
minggu kemarin itu pikiran dan tenaga saya tersita untuk mengurus kegiatan
anak-anak di sekolah. Kegiatannya adalah business day yang rutin tiap tahun
melibatkan wali murid dan anak-anak. Aslinya kegiatan anak-anak tapi entah
bagaimana bisa bermetafosa menjadi kegiatan wali murid (baca: ibu) dan anak.
Sebagai
koordinator, saya harusnya bertanggung jawab terhadap suksesnya kegiatan
tersebut. Jadi ketua ibu-ibu gitu loh! Namun di whatapps grup wali murid dan
guru, saya menyatakan keberatan untuk bertanggung jawab 100%. Alasan saya
sederhana, saya tidak mau bekerja sendiri. Capek dan tidak dapat duit. Yang ada
tekor!
Ini
adalah kegiatan bersama, jadi yang bertanggung jawab ya semuanya. Kalau ada
yang tidak beres, menjadi beban bersama. Menjadi tugas untuk mencari solusi
bersama meski yang benar-benar membantu hanya segelintir orang. Ya sudah,
intinya masih ada yang bisa diajak membantu mengurus ini itu.
Beberapa
kali menjadi koordinator wali murid membuat saya ingin pensiun dini. Masih mending
kalau pensiunnya diterima. Kalau tidak? Pernah dulu di masa saya bertugas
kemudian hamil dan keguguran. Fisik sedang tidak sehat, masih terbebani dengan
berbagai kegiatan. Saya mengeluh juga percuma, orang-orang jelas tidak mau
menggantikan saya. Minimal empati saja saya sudah bersyukur, kok.
Nah,
kali ini saya sudah mengeluh kepada wali kelasnya si bungsu. Di hadapan wali
murid lainnya juga saya sudah tidak sanggup menjadi koordinator. Tapi apa jawaban mereka, “Sabar ibu ketua.”
Lalu
saya kudu piye?
Ibu Ketua Jangan Mudah Baper dan Tepar!
Setahu
saya tidak ada yang ingin mencalonkan diri menjadi koordinator wali murid. Semua
ibu-ibu yang datang rapat menolak dengan berbagai alasan. Saya? Ya, menolak
dong. Alasan saya karena saya memiliki sakit tulang belakang, saya tidak bisa
banyak aktivitas. Tapi tetap saja saya dicalonkan (baca: dipaksa).
Urusan
dengan ibu-ibu zaman now memang rumit. Menurut saya makin rumit daripada di
zaman anak sulung. Ah, itu sudah berapa tahun lalu. Tentu sudah banyak yang
berubah. Ibu-ibu yang mudah mengekspresikan pendapatnya membuat saya kalang
kabut. Iya kalau pendapatnya pro dengan saya kalau kontra. Waduh!! Sepertinya pertahanan
diri saya bakal rontok menghadapi ini. Tapi sebelum itu terjadi, saya harus
membangun benteng yang kuat, minimal
pride saya sebagai ibu ketua tidak turun drastis!
Sebagai
koordinator wali murid dengan jumlah siswa 22 anak adalah tindakan yang mulia. Bagaimana
tidak? Seorang koordinator bisa menyelamatkan seluruh wali murid. Iya dong, kan
saya harus sering berhadapan dengan wali kelas untuk melaporkan progress
kegiatan, usulan dan keluhan wali murid
(yang ini biasanya lapor sendiri tapi ada juga yang lapor ke saya), dsb. Sayang meski tindakan mulia namun tidak diinginkan. Semua pasti menolak dengan alasan yang maha penting.
Teruntuk
ibu-ibu yang bekerja, koordinator wali murid itu terpilih karena tidak bekerja alias
pengangguran. Dalam setiap pemilihan koordinator selalu dimunculkan kata ibu
bekerja dan tidak. Iya, daripada ribut, saya terima saja kalau saya tidak
bekerja alias pengangguran. Sehingga bisa rapat-rapat dengan sekolah yang
diadakan di jam kerja. Juga bisa melakukan kegiatan-kegiatan yang diadakan
sekolah. Ya karena menganggur itulah jadi punya banyak waktu.
Masalahnya,
ibu-ibu yang bekerja itu sebagian besar (bukan semua) tidak mau memberikan
sumbangsih kepada kami. Minimal ide atau mempermudah pekerjaan kami. Misalnya yang
sangat sangat sangat gampang (sangat 3 kali kurang apa coba!) adalah baca
info/pengumuman di WAG. Baca dan laksanakan! Dengan begitu saya tidak perlu
japri satu per satu demi mengingatkan ini. Masak sih membaca WAG saja tidak
mau, tidak ada waktu, kelamaan karena malas manjat, dsb. Misalnya info untuk
memakai baju tertentu untuk kegiatan sekolah. Kalau tidak punya silakan menulis
di list biar kami kostumnya. Bagaimana? Berat ya baca WAG! Apalagi melaksanakannya!
Kalau
dipikir-pikir, semua orang pasti memiliki kesibukan. Dari bangun tidur saja,
seorang ibu biasa menyediakan makan pagi. Kemudian urusan rumah, seperti cuci
baju, setrika, beres-beres dan bersih-bersih rumah. rasanya tidak ada habisnya.
Apalagi kalau si ibu rumah tangga ini memiliki balita atau bayi. Repot. Sedangkan
ibu bekerja jelas pergi ke kantor untuk bekerja. Repot juga. Kalau semuanya sibuk,
repot siapa yang mau mengurusi kegiatan sekolah yang melibatkan wali murid?
Jadi
untuk menjadi koordinator wali murid itu sebaiknya adalah ibu rumah tangga,
penganguran, anak-anaknya sudah agak gedhe. Padahal misi dari koordinator wali
murid ini sebenarnya bagus, loh. Hanya saja memang dibutuhkan kesabaran tak
bertepi. Maka jika saya mengeluh disini, saya cuma butuh satu kata, “sabar”. Tenang,
saya harus tahu diri, mau mengeluh tetap dengan memperhatikan adab sopan dan
santun. Juga menggunakan kaidah bahasa yang baik.
Seorang
koordinator wali murid tidak mendapat imbalan ataupun pujian. Lalu untuk apa
dibentuk koordinator wali murid tiap kelas, semacam mempermudah kegiatan sosial
begitu? Whatever, suka atau tidak harus melaksanakan tugas yang dibebani. Mulai
dari mengatur wali murid agar bisa berpartisipasi dalam kegiatan sekolah, mengumpulkan
uang untuk acara sosial (tilik bayi, haji, sakit, takziah dsb), mengajak wali
murid untuk mengunjungi wali murid yang sedang sakit atau berduka. Ya seperti
itulah kegiatan yang sering saya dan ibu-ibu lakukan.
Tapi
tunggu dulu, untuk mengumpulkan uang dan orang itu ternyata tidak mudah. Memang
ini kegiatan di luar sekolah. Tapi lingkup pertemanan kan tetap sekolah. Temannya
anak kita di sekolah. Yang begini saja susah. Coba kalau yang melahirkan itu
tetangga sebelah rumah. Apakah kita tidak tilik bayi. Atau yang meninggal itu
tetangga kita, apakah tidak takziah?
Andaikan
orang berpikir sama saja, mungkin akan tergerak hatinya untuk sekedar
memberikan saweran Rp 10,000. Daripada harus datang sendiri ke rumah duka,
berapa nominal atau barang (biasanya di daerah saya sembako) yang diberikan. Itu
kalau hatinya tergerak. Kalau tidak? Ya sudahlah, mungkin ada alasan yang lebih
penting daripada sekedar memberikan saweran.
Sebagai
koordinator wali murid, saya mau tak mau harus mengetuk kesadaran wali murid
untuk minimal memberikan saweran. Kalau ada waktu longgar bisa ikut bersama
saya. Orangnya pasti itu-itu saja. Karena memang ibu-ibu rumah tangga
pengangguran yang segelintir ini sangat dibutuhkan kehadirannya. Benar kan bisa
menyelamatkan ibu-ibu bekerja dan ibu-ibu rumah tangga yang "katanya" sibuk. Karena kami pasti mengatasnamakan ibu-ibu
sekelas, apapun profesi mereka.
Sayangnya
berbagai tindakan mulia ini kurang mendapat respon. Mau siapa yang sakit, siapa
yang melahirkan ya biasa saja. Ada satu dua orang yang memberikan ucapan di WAG
itu pasti saya syukuri. Setidaknya wali murid satu kelas mengetahui kabar
terbaru. Cuma baca saja tidak apa. Mereka toh akhirnya tahu si ibu A telah
melahirkan, dsb.
Saya
masih beruntung, orang masih berkata sopan meski sedang marah dengan nada
tinggi di hadapan saya. Ya, iyalah masak marah pakai nada rendah nanti tidak
terdengar. Orang menentang ide-ide yang bermunculan dengan kata yang sopan. Saya
mengakui meski kadang saya merasa hopeless, tapi mereka masih baik, masih
menyapa dan mengajak ngobrol seperti biasa.
Meski
rasa tidak peduli dengan info-info yang saya share di WAG itu bikin jengkel, tapi masih ada kok yang
mengulurkan tangan kepada saya. Saya sangat berterima kasih kepada ibu-ibu yang
rela menjadi teman curhat, dan teman kelayapan untuk aksi sosial. Banyak yang
masih bisa disyukuri...
Dari
berbagai kasus yang saya alami, saya mendapat pelajaran berharga, “Jangan mudah
baper dan tepar”. Kalau ada orang yang membentak saya dan baper, bisa menangis
bombay dong! Rugi air mata saya. Satu lagi saya sejak awal tidak mau kerja
sendiri. Bisa tepar dong saya, untuk urusan yang diremehkan ini. Saya dekati
beberapa orang yang sekiranya bisa membantu dan bisa diajak keluyuran demi menyiapkan
kegiatan. Kalaupun tak ada yang mau, saya lapor wali kelas saja. Tidak usah
terlalu ngoyo, meski aslinya saya sudah ngos-ngosan. Biar dikatakan kelas tidak
kompak, ya terima saja. Begitulah faktanya. Mau komplain kepada saya, silakan. Toh
ada saja orang-orang susah diatur, apa boleh buat, tugas saya hanya sampai pada
mengingatkan.
Lyfe!
^_^
title postnya bikin saya mesem mesem
BalasHapusBegitulah adanya...
HapusKalo baca ceritanya kok koordinator semacam petugas sapu jagat gitu. Eniwei semangat bu. Insya Allah itu jadi ladang amal
BalasHapusIya makasih bang.
HapusWhuaaaa aku pernah juga jadi korlas, sempet pengen curhat jg di blog. Ya begitu ya, bener jgn terlalu ngoyo, yg penting kita jalankan amanah. Datang rapat sebetulnya juga males tapi inget lagi amanah, yauda jalani aja.
BalasHapusMau gimana lagi ya, tetap kudu dijalani sampai habis masa tugasnya.
Hapus*menyemangati diri sendiri
hai mbak nur...salam kenal dari saya sama2 di Tuban, tulisan mbak relate sekali dengan saya, dan bikin ketawa ketawa sendiri, sungguh benar adanya seperti itu....
BalasHapus