Geliat Literasi dari Bangilan





Menyebut salah satu kecamatan di Tuban yaitu Bangilan, saya teringat seorang teman blogger Tuban, mas Joyo Juwoto. Entah saya harus ikut-ikutan memanggil mbah Joyo agar lebih akrab, atau mas seperti biasanya. Atau mungkin memanggil pak Joyo. Ehm... belum pernah kopdar, semua dipanggil mas dan mbak. Semoga berkenan.

Memang saya belum mengenal beliau namun tak ada salahnya jika sesama blogger Tuban saling berkunjung di rumah maya. Bisa pula mengenalnya dengan berteman di akun sosial media. Membaca aktivitasnya dan saling berkomentar.

Berkunjung ke blog mas Joyo www.4bangilan.blogspot.com, kita bisa membaca banyak karyanya. Saya suka gaya bercerita yang sederhana, mudah dipahami dan lancar dengan latar yang tak jauh dari kehidupan sehari-hari. Seperti dalam cerpen berikut:



Mengambil judul blog Secangkir Kopi – Sepiring Ubi, saya awalnya berpikir ini ada kaitannya dengan proses kreatif seorang penulis. Biar terkesan nyastra begitu. Ternyata dugaan saya salah! Secangkir Kopi – Sepiring Ubi merupakan penggambaran masyarakat desa yang akrab, jauh dari hiruk-pikuk dan gemerlap kota.

Kita masih bisa membaca banyak label dari tulisan mas Joyo. Misalnya tentang review buku. Aih, rasanya sudah lama saya tidak membaca karya sastra.

Masalahnya, ada membuat saya begitu ingin tahu. Profil penulis. Yup, saya tidak menemukannya di blog mas Joyo. Dulu ketika masih mahasiswa, jika sedang ngefans dengan sebuah tulisan, saya pasti berburu info profil penulis dari koran, majalah, buku dan teman. Kalau bisa ikut workshop menulis. Kalau bisa lagi nih, dapat tanda tangan. Kalau sekarang, sekedar stalking akun sosial media penulisnya sudah cukup. 

Suatu ketika mas Joyo ini menunjukkan karyanya dalam grup WA blogger Tuban. Buku solo ke tiga yang berjudul Dalang Kentrung Terakhir. Sebelumnya ada Jejak Sang Rasul dan Secercah Cahaya Hikmah. Sedangkan buku antologinya ada 10 buah. Keren banget!




Saya ikut senang dengan kelahiran buku-buku tersebut. Bagaimana tidak, dari sebuah kecamatan Bangilan, di salah satu ujung kabupaten Tuban, lahirlah pegiat literasi dari komunitas Kali Kening. Kontribusi terhadap dunia literasi patut didukung sepenuhnya. Seperti dalam blogpost “Klinik Cerpen Bersama Kali Kening”, peserta datang dari berbagai sekolah di Bangilan dan Jatirogo. Tujuannya adalah untuk mencari bibit-bibit baru yang nantinya ikut meramaikan geliat literasi di kecamatan Bangilan. Sukses acaranya ya!

Saya rasa mas Joyo ini rajin menulis, meski beliau mengatakan bahwa tidak biasa mengatur waktu untuk menulis. Mungkin tidak ada jam biologis menulis. Dalam arti, penulis memiliki waktu tertentu untuk menulis. Di waktu itulah dia merasa nyaman, ide mengalir deras dan tentu tanpa gangguan.

Namun begitulah mas Joyo. Dibalik kesederhanaannya, ada karya yang patut diacungi jempol. Intinya setiap kita yang mengatakan writer wanna be, blogger wanna be, atau apapun itu perlu konsisten menulis.

Jika menulis adalah sebuah kebahagiaan, maka tidak perlu menunggu mood. Mari menciptakan mood itu. Mari memaksa diri untuk istiqomah menulis.


Lalu, kalau tidak ada ide, inspirasi? Rasanya stuck begitu. Iya, ini benar-benar masalah! Di depan laptop, lama dan tidak menghasilkan apapun. Mungkin hanya sebaris prolog dengan setumpuk lamunan. Ah, jangan deh! Atau malah lebih asyik scroll akun sosial media.

Sekali lagi, jangan menunggu mood!

Mas Joyo mengatakan bahwa inspirasi menulis bisa datang dari mana saja. Dari setumpuk buku di rak, perpustakaan dan dimana saja. (lalu tengok rak buku, berapa judul yang belum dibaca! Maaf.) Atau dari lingkungan sekitar. Membaca alam, mungkin seperti itulah. Ada banyak hal yang bisa kita tulis dari kejadian-kejadian di sekeliling kita. Ada banyak hikmah yang bisa kita gali. Ada banyak cerita yang layak dijadikan bahan tulisan.

Well, sudah siap menulis? Salam literasi!

^_^
Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

10 Komentar untuk "Geliat Literasi dari Bangilan"

  1. Sedang berusaha untuk menulis tanpa menunggu mood tiba...:D

    Wah, jadi penasaran dengan Mbah Joyo ini saya, mbak...Alhamdulillah dari sebuah desa nun jauh dari gegap gempita..lahir pegiat literasi yang tak hanya banyak menginspirasi tapi juga berkarya bagi negeri..Salut!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah memiliki teman yang menginspirasi kami.

      Hapus
  2. Mbah joyo memang hebat, kekentalan aroma literasi sangat bisa dinikmati oleh kawan2 yang lain..

    BalasHapus
  3. Ok noted. Jangan nunggu mood ya? Hehehe aku nih yang sering begitu. Sampe akhirnya gak jadi nulis.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau mood sedang nggak baik jadi susah nulis. Ih, aku banget ini.

      Hapus
  4. Aku juga setuju sih, kalau inspirasi nulis bisa datang dari mana saja. Setuju, jangan menunggu mood bagus,nanti kalau nunggu terus, malah gak nulis-nulis :)

    BalasHapus
  5. Menulis dengan menunggu mood, memang terasa nyaman saat membuat tulisan. Tetapi jika mood tidak ada, haha.. Puyenngg...
    Saya pun salut sama Mbah Joyo. Di antara kesibukannya, beliau masih bisa menulis dengan ide2 cemerlang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbah Joyo memang sudah biasa mengatasi masalah mood ini. Sukses selalu!

      Hapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel