Mampir di Keraton Surakarta
Jumat, 19 Januari 2018
17 Komentar
Assalamualaikum
Keraton
Surakarta Hadiningrat merupakan istana resmi kesunanan Surakarta. Bangunan
klasik ini dominan warna putih dan biru. Keraton ini didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono
II pada tahun 1744 sebagai ganti keraton/istana Kartosura yang porak poranda
akibat Geger Pecinan 1743.
Baca juga Belajar Mewarnai di Taman Balekambang....
Keraton terakhir Kasultanan Mataram ini didirikan di Desa Sala, sebuah pelabuhan kecil di tepi barat Bengawan Sala. Setelah resmi istana Kasultanan Surakarta selesai dibangun, nama desa itu diubah menjadi Surakarta Hadiningrat.
Keraton terakhir Kasultanan Mataram ini didirikan di Desa Sala, sebuah pelabuhan kecil di tepi barat Bengawan Sala. Setelah resmi istana Kasultanan Surakarta selesai dibangun, nama desa itu diubah menjadi Surakarta Hadiningrat.
Keraton
Surakarta merupakan bangunan yang menarik pada masanya. Bangunan keraton
merupakan perpaduan arsitektur Jawa-Eropa. Salah satu arsitek keraton adalah
Pangeran Mangkubumi (bergelar Sultan Hamengkubuwono I). Tak heran jika keraton
Yogyakarta dan Surakarta memiliki banyak persamaan.
Secara umum pembagian keraton meliputi: Kompleks Alun-alun Lor/Utara,
Kompleks Sasana Sumewa, Kompleks Siti Hinggil Lor/Utara, Kompleks
Kamandungan Lor/Utara, Kompleks Sri Manganti, Kompleks Kedaton,
Kompleks Kamagangan, Kompleks Sri Manganti Kidul/Selatan dan Kamandungan Kidul/Selatan, serta
Kompleks Siti Hinggil Kidul/Selatan dan Alun-alun Kidul/Selatan.
Kompleks keraton ini juga dikelilingi dengan baluwarti, sebuah dinding
pertahanan dengan tinggi sekitar tiga sampai lima meter dan tebal sekitar satu
meter tanpa anjungan. Dinding ini melingkungi sebuah daerah dengan bentuk
persegi panjang. Daerah itu berukuran lebar sekitar lima ratus meter dan
panjang sekitar tujuh ratus meter. Kompleks keraton yang berada di dalam
dinding adalah dari Kamandungan Lor/Utara sampai Kamandungan Kidul/Selatan.
Apa yang bisa kita lakukan di keraton?
Tentu
saja sebagai pengunjung ingin melihat seperti apa sih keraton, tempat tinggal raja yang bertahta dan keluarganya menjalani kehidupannya. Seperti apa
bangunan yang berjaya di masanya ini? Di dalamnya ada apa? Apakah seperti imajinasi kita, seperti di film-film
klasik Indonesia. Atau...lainnya.
Memasuki
area keraton, lebih tepatnya tempat parkir, saya berpikir inilah keraton
Surakarta. Namun pintunya tertutup rapat. Hanya ada prajurit yang sibuk difoto
bersama pengunjung.
Foto bersama prajurit
Ternyata
kami mesti jalan kaki menuju pintu masuk keraton. Tapi tadi sudah ikut foto.
Setidaknya ada jejak bersama para prajurit. Anak-anak merasa lucu saja dengan
seragam mereka. Sayang tidak bisa berlama-lama mengamati mereka. Karena kami
harus bergantian dengan pengunjung lain yang ingin mengabadikan moment disini.
Note:
Setelah
puas (belum sih) foto, jangan lupa untuk memberikan uang sukarela kepada
prajurit ini. Nanti dimasukkan ke dalam kotak meja.
Jika
ingin memiliki foto langsung cetak bisa kok. Disini ada tukang foto. Sayang
harganya menurut saya sih terlalu mahal. Per lembar Rp 25.000. Itupun tidak
bisa ditawar dan orangnya agak memaksa.
Melihat museum
Setelah
membeli tiket masuk per orang Rp 10.000, kami bisa langsung mengunjungi museum
yang terletak di sebelah kiri dan kanan pintu masuk. Ada banyak koleksi
benda-benda bersejarah dan budaya Jawa. Misalnya upacara pernikahan, dsb.
Suasana
di halaman keraton asri karena banyak pohon-pohon besar yang usianya sudah
ratusan tahun. Di depan museum banyak kursi klasik yang bisa dipakai untuk
melepas lelah.
Melihat Panggung
Sangga Buwana
Kemudian
memasuki area kedaton kita mesti memperhatikan peraturan. Beberapa larangan hal
yang masih saya ingat:
Dilarang
menggunakan sandal. Jadi sandal harus dilepas. Namun jika kita memakai sepatu diperbolehkan
masuk. Sempat ada seorang yang memakai sandal dan berhasil masuk. Begitu ketahuan
abdi dalem langsung ditegur.
Harus
melepas topi.
Dilarang
menggunakan kaca mata hitam.
Beruntung
kami berlima memakai sepatu semua. Jadi lolos. Kalau tidak, bisa-bisa kami nyeker ke dalam. Sementara kacamata saya
diperbolehkan. Karena memang tidak berwarna hitam kelam.
Disini
saya ditemani oleh seorang guide yang lancar banget menceritakan sejarah
keraton, silsilah raja hingga detail. Sayang karena kami terpana dengan
penjelasannya kok malah semua jadi menguap begitu saja. Rasanya ingin membuka
buku sejarah dan bahasa Jawa kemudian kembali membacanya. Jangan sampai kami
tak bisa menjawab pertanyaan sederhana yang dilontarkan Pak Anto.
Lalu
saya teringat pelajaran sekolah. Dulu sejarah diajari apa ya? Yang masih
tersimpan dalam memori berapa persen? Lainnya kemana?
Pak
Anto ini merupakan abdi dalem yang sudah bekerja puluhan tahun. Tidak ada
keinginan untuk berganti pekerjaan meski gaji per bulan Rp 50.000. Itupun
dibayar tiap 3 bulan sekali. Jumlah seluruh abdi dalem sekitar 600 orang. Saya
tidak tahu orang sebanyak itu apakah bekerja di keraton atau tersebar ya.
Banyak sekali bukan?
Selain Pak Anto, saya melihat ada nenek-nenek abdi dalem yang memakai baju Jawa (kemben). Mereka
ini bertugas menyiapkan sesaji yang diletakkan di depan pendapa. Meski sudah sepuh tapi masih semangat mengabdi. Saya sempat
bertanya kepada salah sayunya sepatah dua patah kata malah dijawab dengan anggukan saja. Mereka ini
betah bekerja di keraton.
Menjelajahi
sudut-sudut keraton jadi lebih asyik ketika ada guide. Selain mendapat banyak penjelasan, kita juga bisa bertanya
macam-macam. Seperti tadi, kami jadi terpana. Sementara si bungsu yang menjadi
pendengar tetap semakin bosan. Beberapa kali dia menarik lengan saya, bermain
tanah dan kerikil. Anak kecil butuh bermain sementara wisata ke keraton jelas
tidak cocok dengannya.
Oh
ya, kita boleh kok kalau ingin memberikan tips buat para abdi dalem ini. Kalau
tidak juga tak apa. Toh, ini adalah pekerjaan yang mereka cintai.
Kembali
lagi ya...
Pohon
sawo kecik yang berusia ratusan tahun ini masih kokoh berdiri dan memberikan
tempat berteduh yang nyaman. Sambil menatap bangunan Panggung Sangga Buwana
yang megah, saya sempat berpikir, sebenarnya mengapa disebut panggung padahal
bentuk bangunan tersebut adalah menara?
Panggung Sangga Buwana merupakan kepanjangan dari Panggung Luhur Sinangga Buwana. Bangunan ini memiliki tinggi sekitar 30 m dengan 4 tingkat. Pada tingkat 3 menghadap ke utara terdapat jam besar. Pada tingkat paling atas digunakan untuk bermeditasi, sesaji, berinteraksi dengan Ratu Kidul dan melihat pemandangan kota sekitarnya.
Selain
berfungsi sebagai tempat meditasi, panggung Sangga Buwana dijadikan sebagai
sarana pengontrol keadaan di sekitar keraton karena bangunannya yang lebih
tinggi dari bangunan lain.
Menurut Pak Anto, panggung Sangga Buwana yang berlantai lima ini melambangkan rukun
Islam. Sayangnya mengapa masih kental dengan adat yang sudah turun temurun
dilakukan leluhur. Padahal para pemimpin beragama Islam.
Melihat pendapa
Halaman
utama Kompleks Kedaton ini dialasi dengan pasir hitam dari pantai selatan dan
ditumbuhi oleh 72 batang pohon sawo kecik (Manilkara kauki; Famili Sapotaceae)
yang ditanam atas prakarsa Sri Susuhunan Pakubuwono IX. Pohon sawo kecik
mengandung makna filosofis, sarwo becik, yang berarti serba baik. Selain itu
halaman ini juga dihiasi dengan patung-patung bergaya Eropa. Halaman utama
Kompleks Kedaton dikelilingi beberapa bangunan utama, diantaranya adalah Sasana
Sewaka, Bangsal Maligi, Dalem Ageng Prabasuyasa atau Dhatulaya, Sasana
Handrawina, dan Panggung Sangga Buwana. 

Sebagai
pendapa utama, fungsi Sasana Sewaka ini bersifat khusus, karena fungsi
kegiatannya selalu melibatkan Sri Sunan dan para Abdi dalem tingkatan
tertinggi; sebagai pusat upacara, adat dan keagamaan. Di bangunan ini pula Sri
Sunan bertahta dalam upacara-upacara kebesaran kerajaan seperti tingalandalem
jumenengan (peringatan hari kenaikan tahta) dan ulang tahun Sri Sunan. Pendapa
besar ini dikelilingi oleh selasar pada masing-masing sisinya.
Pengunjung hanya bisa melihat pendapa ini dari kejauhan. tidak diperbolehkan masuk. Jadi isinya seperti apa, saya hanya mendengarkan penjelasan Pak Anto. Termasuk bagian-bagian ruangan di dalamnya hingga waktu-waktu yang biasa digunakan untuk kegiatan keraton. Dari sini saya juga mendapat penjelasan bahwa bangunan keraton ini selain merupakan perpaduan Jawa dan Eropa, juga China.
Pengunjung hanya bisa melihat pendapa ini dari kejauhan. tidak diperbolehkan masuk. Jadi isinya seperti apa, saya hanya mendengarkan penjelasan Pak Anto. Termasuk bagian-bagian ruangan di dalamnya hingga waktu-waktu yang biasa digunakan untuk kegiatan keraton. Dari sini saya juga mendapat penjelasan bahwa bangunan keraton ini selain merupakan perpaduan Jawa dan Eropa, juga China.
Sayangnya
ketika saya berkunjung, lampu-lampu kristal dibungkus kain berwarna kuning.
Menurut Pak Anto akan dibuka pada waktu tertentu, seperti ada kunjungan atau
upacara. Nah, kalau terbuka untuk umum, kita boleh ikut menyaksikan jalannya
upacara, loh. Hmmm... kira-kira harus memakai baju adat Jawa tidak ya?
Happy
traveling!
Sumber
bacaan:
Wikipedia
www.merbabu.com
https://www.viva.co.id/berita/nasional/643480-mengenal-lokasi-pertemuan-raja-surakarta-dan-ratu-kidul
^_^
Alhamdulillah datang ke tempat itu jadi banyak tahu sejarah ya mba :)
BalasHapusAku pas ke Surakarta belum sempat ke keraton tapi cuma lewat aja. Agak nyesel juga sih
Iya, mba Al. Belajar sejarah lagi deh.
Hapuswah,seru ya mbak bisa jalan-jalan sambil belajar sejarah, saya pengen banget ke keraton, pernah sih tapi di jogja
BalasHapusMemanfaatkan waktu libur, mba.
HapusMasuk ke keraton nya ga disuruh pakai kain gitu ya mba? Waktu aku kemana ya di jogja dan lombok itu dikasih semacam kain gitu mba untuk menghormati kerajaan begitu istilah nya :D
BalasHapusNggak mba. Cuma ya harus mematuhi peraturan tadi. Ada yang jaga.
Hapusaku suka banget sama keraton surakarta ini. Tamannya itu lhoooo instagramable bangeeet
BalasHapusBangunannya klasik dan terawat dengan baik.
HapusAku baru tau loh, kalo bangunan itu namanya Panggung Sangga Buana Mbak Nur. Bahkan baru ngeh kalo itu di Solo dan bagian dari keraton Solo. Padahal sering liat di gambar
BalasHapusKeraton ini nuansanya biru ya, agak beda sama yang di Jogja yang banyak hijau
Biru, mba. Demikian juga dengan masjid agung, biru.
HapusTerakhir ke sini puluhan tahun silam. Kapan hari mampir, eh pas ada acara internal jadi ditutup untuk wisatawan. Akhirnya belum pernah ajak anak-anak ke sini.
BalasHapusNanti next mudik Insya Allah singgah:)
Aamiin.
Hapuspas ke solo aku belum ke sini malah ke MN, cari Mas Paundra hehe
BalasHapuslihat pengabdiannya abdi dalem itu luar biasa loh
jaga warisan semacam ini bukan hal mudah
Pengabdian yang luar biasa.
HapusKelihatan adem banget ya di dalam kompleks Keraton :)
BalasHapusCheers,
Dee - heydeerahma.com
Karena banyak pohon gedhe dan sudah tua, jadi rindang. Taoi begitu keluar area keraton, terasa deh panasnya.
HapusAsyik... belajar sejarah...
BalasHapusSelalu suka baca cerita perjalanan Mbak
Kadang kalau lagi buntu buat nulis cerita perjalanan sendiri pas baca tulisannya Mbak Nurrochma aku jadi terinspirasi
Makasih ya Mbak