Mampir di Keraton Surakarta



Keraton Surakarta

Assalamualaikum

Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan istana resmi kesunanan Surakarta. Bangunan klasik ini dominan warna putih dan biru. Keraton ini didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono II pada tahun 1744 sebagai ganti keraton/istana Kartosura yang porak poranda akibat Geger Pecinan 1743.

Baca juga Belajar Mewarnai di Taman Balekambang....

Keraton terakhir Kasultanan Mataram ini didirikan di Desa Sala, sebuah pelabuhan kecil di tepi barat Bengawan Sala. Setelah resmi istana Kasultanan Surakarta selesai dibangun, nama desa itu diubah menjadi Surakarta Hadiningrat.

Keraton Surakarta merupakan bangunan yang menarik pada masanya. Bangunan keraton merupakan perpaduan arsitektur Jawa-Eropa. Salah satu arsitek keraton adalah Pangeran Mangkubumi (bergelar Sultan Hamengkubuwono I). Tak heran jika keraton Yogyakarta dan Surakarta memiliki banyak persamaan.

Keraton Surakarta


Secara umum pembagian keraton meliputi: Kompleks Alun-alun Lor/Utara, Kompleks Sasana Sumewa, Kompleks Siti Hinggil Lor/Utara, Kompleks Kamandungan Lor/Utara, Kompleks Sri Manganti, Kompleks Kedaton, Kompleks Kamagangan, Kompleks Sri Manganti Kidul/Selatan  dan Kamandungan Kidul/Selatan, serta Kompleks Siti Hinggil Kidul/Selatan dan Alun-alun Kidul/Selatan. Kompleks keraton ini juga dikelilingi dengan baluwarti, sebuah dinding pertahanan dengan tinggi sekitar tiga sampai lima meter dan tebal sekitar satu meter tanpa anjungan. Dinding ini melingkungi sebuah daerah dengan bentuk persegi panjang. Daerah itu berukuran lebar sekitar lima ratus meter dan panjang sekitar tujuh ratus meter. Kompleks keraton yang berada di dalam dinding adalah dari Kamandungan Lor/Utara sampai Kamandungan Kidul/Selatan.

Apa yang bisa kita lakukan di keraton?

Tentu saja sebagai pengunjung ingin melihat seperti apa sih keraton, tempat tinggal raja yang bertahta dan keluarganya menjalani kehidupannya. Seperti apa bangunan yang berjaya di masanya ini? Di dalamnya ada apa? Apakah seperti imajinasi kita, seperti di film-film klasik Indonesia. Atau...lainnya.

Memasuki area keraton, lebih tepatnya tempat parkir, saya berpikir inilah keraton Surakarta. Namun pintunya tertutup rapat. Hanya ada prajurit yang sibuk difoto bersama pengunjung.

Foto bersama prajurit

Ternyata kami mesti jalan kaki menuju pintu masuk keraton. Tapi tadi sudah ikut foto. Setidaknya ada jejak bersama para prajurit. Anak-anak merasa lucu saja dengan seragam mereka. Sayang tidak bisa berlama-lama mengamati mereka. Karena kami harus bergantian dengan pengunjung lain yang ingin mengabadikan moment disini.

Note:

Setelah puas (belum sih) foto, jangan lupa untuk memberikan uang sukarela kepada prajurit ini. Nanti dimasukkan ke dalam kotak meja.

Jika ingin memiliki foto langsung cetak bisa kok. Disini ada tukang foto. Sayang harganya menurut saya sih terlalu mahal. Per lembar Rp 25.000. Itupun tidak bisa ditawar dan orangnya agak memaksa.

Melihat museum

gong


Setelah membeli tiket masuk per orang Rp 10.000, kami bisa langsung mengunjungi museum yang terletak di sebelah kiri dan kanan pintu masuk. Ada banyak koleksi benda-benda bersejarah dan budaya Jawa. Misalnya upacara pernikahan, dsb.

Suasana di halaman keraton asri karena banyak pohon-pohon besar yang usianya sudah ratusan tahun. Di depan museum banyak kursi klasik yang bisa dipakai untuk melepas lelah.

Keraton Surakarta


Melihat Panggung Sangga Buwana

Kemudian memasuki area kedaton kita mesti memperhatikan peraturan. Beberapa larangan hal yang masih saya ingat:

Dilarang menggunakan sandal. Jadi sandal harus dilepas. Namun jika kita memakai sepatu diperbolehkan masuk. Sempat ada seorang yang memakai sandal dan berhasil masuk. Begitu ketahuan abdi dalem langsung ditegur.
Harus melepas topi.
Dilarang menggunakan kaca mata hitam.

Panggung Sangga Buwana


Beruntung kami berlima memakai sepatu semua. Jadi lolos. Kalau tidak, bisa-bisa kami nyeker ke dalam. Sementara kacamata saya diperbolehkan. Karena memang tidak berwarna hitam kelam.

Disini saya ditemani oleh seorang guide yang lancar banget menceritakan sejarah keraton, silsilah raja hingga detail. Sayang karena kami terpana dengan penjelasannya kok malah semua jadi menguap begitu saja. Rasanya ingin membuka buku sejarah dan bahasa Jawa kemudian kembali membacanya. Jangan sampai kami tak bisa menjawab pertanyaan sederhana yang dilontarkan Pak Anto.

Lalu saya teringat pelajaran sekolah. Dulu sejarah diajari apa ya? Yang masih tersimpan dalam memori berapa persen? Lainnya kemana?

Pak Anto ini merupakan abdi dalem yang sudah bekerja puluhan tahun. Tidak ada keinginan untuk berganti pekerjaan meski gaji per bulan Rp 50.000. Itupun dibayar tiap 3 bulan sekali. Jumlah seluruh abdi dalem sekitar 600 orang. Saya tidak tahu orang sebanyak itu apakah bekerja di keraton atau tersebar ya. Banyak sekali bukan?

Selain Pak Anto, saya melihat ada nenek-nenek abdi dalem yang memakai baju Jawa (kemben). Mereka ini bertugas menyiapkan sesaji yang diletakkan di depan pendapa. Meski sudah sepuh tapi masih semangat mengabdi. Saya sempat bertanya kepada salah sayunya sepatah dua patah kata malah dijawab dengan anggukan saja. Mereka ini betah bekerja di keraton.

Menjelajahi sudut-sudut keraton jadi lebih asyik ketika ada guide. Selain mendapat banyak penjelasan, kita juga bisa bertanya macam-macam. Seperti tadi, kami jadi terpana. Sementara si bungsu yang menjadi pendengar tetap semakin bosan. Beberapa kali dia menarik lengan saya, bermain tanah dan kerikil. Anak kecil butuh bermain sementara wisata ke keraton jelas tidak cocok dengannya.

Oh ya, kita boleh kok kalau ingin memberikan tips buat para abdi dalem ini. Kalau tidak juga tak apa. Toh, ini adalah pekerjaan yang mereka cintai.

Kembali lagi ya...

Pohon sawo kecik yang berusia ratusan tahun ini masih kokoh berdiri dan memberikan tempat berteduh yang nyaman. Sambil menatap bangunan Panggung Sangga Buwana yang megah, saya sempat berpikir, sebenarnya mengapa disebut panggung padahal bentuk bangunan tersebut adalah menara?

Panggung Sangga Buwana merupakan kepanjangan dari Panggung Luhur Sinangga Buwana. Bangunan ini memiliki tinggi sekitar 30 m dengan 4 tingkat. Pada tingkat 3 menghadap ke utara terdapat jam besar. Pada tingkat paling atas digunakan untuk bermeditasi, sesaji, berinteraksi dengan Ratu Kidul dan melihat pemandangan kota sekitarnya.

Selain berfungsi sebagai tempat meditasi, panggung Sangga Buwana dijadikan sebagai sarana pengontrol keadaan di sekitar keraton karena bangunannya yang lebih tinggi dari bangunan lain.

Menurut Pak Anto, panggung Sangga Buwana yang berlantai lima ini melambangkan rukun Islam. Sayangnya mengapa masih kental dengan adat yang sudah turun temurun dilakukan leluhur. Padahal para pemimpin beragama Islam. 

Melihat pendapa


Halaman utama Kompleks Kedaton ini dialasi dengan pasir hitam dari pantai selatan dan ditumbuhi oleh 72 batang pohon sawo kecik (Manilkara kauki; Famili Sapotaceae) yang ditanam atas prakarsa Sri Susuhunan Pakubuwono IX. Pohon sawo kecik mengandung makna filosofis, sarwo becik, yang berarti serba baik. Selain itu halaman ini juga dihiasi dengan patung-patung bergaya Eropa. Halaman utama Kompleks Kedaton dikelilingi beberapa bangunan utama, diantaranya adalah Sasana Sewaka, Bangsal Maligi, Dalem Ageng Prabasuyasa atau Dhatulaya, Sasana Handrawina, dan Panggung Sangga Buwana.


Keraton Surakarta


Sebagai pendapa utama, fungsi Sasana Sewaka ini bersifat khusus, karena fungsi kegiatannya selalu melibatkan Sri Sunan dan para Abdi dalem tingkatan tertinggi; sebagai pusat upacara, adat dan keagamaan. Di bangunan ini pula Sri Sunan bertahta dalam upacara-upacara kebesaran kerajaan seperti tingalandalem jumenengan (peringatan hari kenaikan tahta) dan ulang tahun Sri Sunan. Pendapa besar ini dikelilingi oleh selasar pada masing-masing sisinya.

Pengunjung hanya bisa melihat pendapa ini dari kejauhan. tidak diperbolehkan masuk. Jadi isinya seperti apa, saya hanya mendengarkan penjelasan Pak Anto. Termasuk bagian-bagian ruangan di dalamnya hingga waktu-waktu yang biasa digunakan untuk kegiatan keraton. Dari sini saya juga mendapat penjelasan bahwa bangunan keraton ini selain merupakan perpaduan Jawa dan Eropa, juga China.

Sayangnya ketika saya berkunjung, lampu-lampu kristal dibungkus kain berwarna kuning. Menurut Pak Anto akan dibuka pada waktu tertentu, seperti ada kunjungan atau upacara. Nah, kalau terbuka untuk umum, kita boleh ikut menyaksikan jalannya upacara, loh. Hmmm... kira-kira harus memakai baju adat Jawa tidak ya?

Happy traveling!

Sumber bacaan:
Wikipedia
www.merbabu.com
https://www.viva.co.id/berita/nasional/643480-mengenal-lokasi-pertemuan-raja-surakarta-dan-ratu-kidul

^_^

Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

17 Komentar untuk "Mampir di Keraton Surakarta"

  1. Alhamdulillah datang ke tempat itu jadi banyak tahu sejarah ya mba :)
    Aku pas ke Surakarta belum sempat ke keraton tapi cuma lewat aja. Agak nyesel juga sih

    BalasHapus
  2. wah,seru ya mbak bisa jalan-jalan sambil belajar sejarah, saya pengen banget ke keraton, pernah sih tapi di jogja

    BalasHapus
  3. Masuk ke keraton nya ga disuruh pakai kain gitu ya mba? Waktu aku kemana ya di jogja dan lombok itu dikasih semacam kain gitu mba untuk menghormati kerajaan begitu istilah nya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak mba. Cuma ya harus mematuhi peraturan tadi. Ada yang jaga.

      Hapus
  4. aku suka banget sama keraton surakarta ini. Tamannya itu lhoooo instagramable bangeeet

    BalasHapus
  5. Aku baru tau loh, kalo bangunan itu namanya Panggung Sangga Buana Mbak Nur. Bahkan baru ngeh kalo itu di Solo dan bagian dari keraton Solo. Padahal sering liat di gambar

    Keraton ini nuansanya biru ya, agak beda sama yang di Jogja yang banyak hijau

    BalasHapus
    Balasan
    1. Biru, mba. Demikian juga dengan masjid agung, biru.

      Hapus
  6. Terakhir ke sini puluhan tahun silam. Kapan hari mampir, eh pas ada acara internal jadi ditutup untuk wisatawan. Akhirnya belum pernah ajak anak-anak ke sini.
    Nanti next mudik Insya Allah singgah:)

    BalasHapus
  7. pas ke solo aku belum ke sini malah ke MN, cari Mas Paundra hehe
    lihat pengabdiannya abdi dalem itu luar biasa loh
    jaga warisan semacam ini bukan hal mudah

    BalasHapus
  8. Kelihatan adem banget ya di dalam kompleks Keraton :)

    Cheers,
    Dee - heydeerahma.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena banyak pohon gedhe dan sudah tua, jadi rindang. Taoi begitu keluar area keraton, terasa deh panasnya.

      Hapus
  9. Asyik... belajar sejarah...
    Selalu suka baca cerita perjalanan Mbak
    Kadang kalau lagi buntu buat nulis cerita perjalanan sendiri pas baca tulisannya Mbak Nurrochma aku jadi terinspirasi
    Makasih ya Mbak

    BalasHapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel