Belajar Dimanapun
Selasa, 08 Mei 2018
2 Komentar
Setiap
anak itu unik. Makin unik ketika menyikapi bahwa saya mengajak si bungsu keluar
kota, sambil belajar. Kalau semacam study tour mungkin ada aroma yang
menyenangkan ya. Sambil berusaha membayangkan bakal seperti apa situasinya
nanti. Sayangnya ini bukan study tour, bukan pula integral learning dan
semacamnya.
Baca juga Membaca Saat Traveling, Yay or Nay ...
Kadang saya merasa bersalah ketika mengajak anak-anak bepergian sementara mereka masih memiliki tanggungan, misalnya tugas yang berderet-deret hingga ujian esoknya. Bagaimana mereka mengerjakan tugas sementara kami sedang bepergian. Atau bagaimana mereka harus tetap mempersiapkan ujian.
Kadang saya merasa bersalah ketika mengajak anak-anak bepergian sementara mereka masih memiliki tanggungan, misalnya tugas yang berderet-deret hingga ujian esoknya. Bagaimana mereka mengerjakan tugas sementara kami sedang bepergian. Atau bagaimana mereka harus tetap mempersiapkan ujian.
Masalahnya
saya tak mungkin meninggalkan si bungsu. Kalau kakaknya sudah biasa ditinggal,
dan sudah mandiri. Sementara si bungsu belum bisa saya tinggal sampai
berhari-hari. Kalau kepepet banget, ya bagaimana lagi. Pernah sih meninggalkan
anak-anak selama berhari-hari. Tapi sudah lama, saat ibu berobat di rumah sakit
di Surabaya.
Ini
entah kali keberapa saya meminta si bungsu untuk membawa buku pelajaran. Kadang
sampai ada yang tertinggal. Maklumlah, membawa keluarga bepergian selalu banyak
bawaannya.
Buku
pelajaran dan peralatan tulis sudah lengkap. Sambil membuat kesepatakan agar
selama disana tetap ada waktu untuk belajar. Orang tua juga membuat kondisinya
memungkinkan. Misalnya saya dan si bungsu sudah membuat kesepakatan untuk
belajar di saat tiba di hotel. Kemudian ayahnya mengajak jalan-jalan. Bisa-bisa
waktu habis juga. Belum lagi bahan ujiannya banyak. Aduh, pusing deh, ibu!
Awalnya
saya merasa ragu. Yo wis ben. Pergi
ya pergi saja, tidak usah belajar. Tapi apakah saya membiarkan saja. Membiarkan
anak-anak menikmati jalan-jalan sambil do
nothing. Ah, saya saja masih memiliki jeda untuk sekedar memposting blog.
Atau kalau lagi tidak capek dan tidak mengantuk, bisa nyicil tulisan. Sayang
untuk ukuran anak-anak, model belajar dalam perjalanan memang harus
menyesuaikan situasi dan mood.
Yang
perlu diperhatikan agar anak bersedia belajar dimanapun adalah:
1. Manajemen waktu
Membuat manajemen waktu seperti kapan check in, kapan ada kegiatan, kapan bersantai di penginapan/hotel. Kenyataannya tidak sama persis seperti perkiraan. Ada kalanya kami terjebak macet, kecapekan, hingga tidak mood. Tapi saya yakin kami masih memiliki waktu untuk bersantai/ beristirahat.
2. Membuat kesepakatan
Melakukan pejalanan berarti siap untuk bercapek-capek ria. Meski katanya capek tapi bahagia, namun capek tetap ada. Istirahat sebentar dan nikmati suasana baru. Setelah mood membaik dan tubuh lebih rileks, saatnya menjalankan kesepakatan yang telah dibuat sebelum berangkat.
Saya
memilih mencari tempat yang nyaman untuk belajar. Kalau dikatakan nyaman
seperti di rumah jelas tidak. Nyaman dalam arti si anak tahu tanggung jawabnya
untuk belajar. Mau menyesuaikan kondisi di lapangan yang tidak sesuai dengan
ekspektasi.
Kali
ini saya memilih di lobi guest house. Karena tempatnya sepi (diiringi musik,
jadi tidak sepi lagi), si anak bisa belajar cukup lama. Tidak ada orang yang
lalu lalang (satu atau dua saja, dianggap tidak ada ya).
Selanjutnya
karena urusan belajar ternyata tidak bisa sekali duduk beres, maka saya mesti
mengingatkannya lagi. Ada tempat yang bisa buat selonjoran di masjid. Okelah,
kami duduk santai sambil menggelar buku. Ambil alat tulis dan mengisi soal-soal
latihan.
Sampai
ada orang yang bertanya, “Mau ujian? Sekolah dimana? Besok ya?”
Memang
rasanya agak bagaimana ya? Saya maupun si anak dilihat banyak orang. Suara saya
pasti terdengar orang-orang yang duduk di lantai masjid. Lha, belajarnya seusai sholat isya'.
Kalau
mengganggu, saya rasa tidak. Hanya saja, mungkin agak aneh juga malam-malam
masih mengajari anak. Tapi kapan lagi. Besok si anak akan ujian dua mata
pelajaran. Kalau tidak menyiapkan sejak saat itu lalu bagaimana? Jadi cuek
sajalah. Yang penting tetap perhatikan sekitar. Sekiranya mengganggu, pindah
tempat saja. Masih ada sisi-sisi lain yang bisa dijadikan tempat belajar.
Kalau
di masjid, saya rasa seramai-ramainya tidak akan seramai di pasar. Lagipula
berada si masjid pikiran jadi tenang. Sempat berpikir, jangan-jangan malah saya
yang bikin keramaian. Yang penting tetap perhatikan sekitar. Sekiranya
mengganggu, pindah tempat saja. Masih ada sisi-sisi lain yang bisa dijadikan
tempat belajar.
Ketika
si anak sudah siap untuk membaca buku ada saja hambatannya. Seperti banyak
orang yang lalu lalang, namun si anak cuek saja. Lumayanlah buat sekali duduk
bisa membaca buku pelajarannya. Kalau masih kurang, masih ada waktu besok pagi.
Nah,
karena belajarnya berpindah-pindah dan kadang tak fokus, jangan bertanya hasil
ya. Ini keadaan darurat. Pertimbangan saya, ini adalah proses untuk mengajari
anak-anak bahwa dimanapun mereka bisa belajar. That’s the point!
Ada
yang memiliki pengalaman seperti saya? Sharing dong!
^_^
Membuat kesepakatan dulu pernah bnagat sama ayah, hahaha..
BalasHapusMaksa bngat keliatannya dulu
Aku pernah liat ada anak belajar sama ortunya di taman, dan mereka bisa loh konsentrasi
BalasHapusKalo aku kayaknya gak bisa deh. Pernah sih nyoba Kakak disuruh bawa buku pas liburan tapi jelang dia ujian. Mungkin karena udah SMP, bisa mandiri. Kalo adiknya belum pernah aku coba. Paling dia bawa buku mewarnai aja