Stop Membandingkan Anak!


crying


Ceritanya saya lagi pengen makan di luar. Beberapa hari itu, perut saya rasanya tidak nyaman. Tidak ada nafsu buat makan. Tapi kudu dipaksa makan biar tidak makin ambruk. Nah, pilihan makan diluar ini jarang juga karena biasanya menunggu suami libur dan di rumah.

Setelah makanan yang dipesan datang, saya makan perlan-pelan. Sambil berharap nafsu makan saya pulih. Alhamdulillah, sudah lebih baik. Tapi makan satu porsi saja rasanya berat. Kok, rasanya susah menghabiskan nasi dan lauknya. Biasanya habis dengan mudah.

Kemudian saya minta suami ikut membantu menghabiskan makanan saya. Katanya sudah kenyang. Aduh, siapa lagi yang mau makanan saya. Si bungsu sudah geleng-geleng. Si tengah sudah menolak. Sepertinya makanan saya bakal mubazir.

Dalam kasus seperti ini saya ingat si sulung. Dengan dia saya merasa aman kalau sedang makan bersama. Aman karena urusan makan bakal terbantu.

“Coba kalau ada kakak, pasti mau bantuin ibu habisin makan,” kata saya.

“Kasihkan saja ke dia. Tuh nasinya sudah habis. Tinggal ayamnya!” kata suami.

Tapi dia kan sudah menolak hibah nasi dari saya. Masak saya mesti paksa-paksa. Ini bagaimana sih!

Akhirnya makanan saya berpindah juga ke piring si tengah. Sambil mengomel, “Kenapa sih pakai ngomongin kakak! Ibu selalu gitu!”

Lha, saya kok merasa ada yang salah. Suami ikutan membela anaknya. Kalimat saya yang salah mana? (merasa tidak ada yang salah, hiks...hiks). Mungkin kalau ada kakaknya, kita yang tidak sanggup menghabiskan makanan bakal terbantu. Ya kan, saya jadi senang, jika makanan yang kita pesan habis semua. Tidak ada yang mubazir.

Bagi saya ini hal yang biasa. Saya pesan menu apa, tapi ikut nyicip makanan dan minuman anak-anak dan suami. Bahkan kalau tidak cocok, bisa bertukar makanan. Yang tidak sanggup menghabiskan makanan ada yang membantu makan. Yang penting semua makanan habis.

Tapi sekarang tidak ada kakak. Tidak ada yang dengan sukarela membantu menghabiskan makanan. Ya sudahlah. Saya masih berjuang menghabiskan makanan yang tersisa. Sudah sangat terbantu dengan si tengah yang akhirnya mau menerima hibah nasi saya. Itupun dibagi dengan suami.

Saya pikir masalah makanan bakal berbeda dengan membandingkan anak dalam hal akademis atau pencapaian-pencapaian lainnya. Ini loh cerita makanan. Bukan nilai-nilai rapor yang bikin kening berkerut. Apalagi lomba-lomba yang sering bikin nyali menciut.

Cuma makanan kenapa jadi begini? Mengapa jadi berurusan dengan sentimen anak. Bagi saya masalah ini sepele.

Ketika anak-anak kita memiliki keunikannya sendiri-sendiri, orang tua tidak bisa dengan serta merta menyamaratakan kemampuan mereka. Bisa jadi si kakak memang memiliki kelebihan dalam hal science sementara adiknya tidak. Namun si adik cenderung ke bahasa, atau bidang lainnya.

Kadang orang tua memang secara tak sadar lebih memilih anak yang lebih cerdas, yang menyenangkan untuk dipakai bahan pembicaraan. Pernah tidak, kita  ngobrol bersama ibu-ibu wali murid kemudian bercerita tentang segala kelebihan dan kekurangan anak-anak?

Tak akan menjadi masalah jika anak-anak tidak tahu. Tapi akan menjadi masalah besar jika orang tua bicara di depan anak-anak. Yang satu tentu saja merasa senang, dipuji orang tua. Sementara yang tidak memiliki prestasi apapun, pasti kecewa banget. “Kok, ibu gitu. Ibu pilih kasih. Ibu lebih suka kakak. Ibu.... “

Ada anak yang merasa terancam dengan ucapan kita. Ada yang tersakiti dengan pujian kita. Ada yang merasa terabaikan. Bahkan bisa jadi rasa percaya dirinya hilang seketika. Aduh sedih banget deh si anak.

Setelah kejadian itu saya jadi berpikir, masalah membandingkan anak bukan melulu masalah akademis dan teman-temannya. Namun menyeret ke ranah makanan. Bisa jadi menyeret ke ranah lainnya. Saya masih mempertimbangkan cara mengungkapkan sebuah masalah agar tak tampak seperti sedang membuat perbandingan.

Jadi bagaimana dong?


  1. Kalau ada masalah entah dengan diri kita, anak atau orang lain. Apapun tema masalah itu lebih baik fokus ke masalah. Bukan ke orang.
  2. Mencari solusi bersama. Jangan membuat perbandingan dengan orang lain entah saudara, teman atau orang tua.
  3. Jangan menceritakan keburukan, kelemahan anak di hadapan orang lain. Lebih baik face to face saja.


Nah, kalau teman-teman memiliki solusi, sharing dong di kolom komentar. Terima kasih.

^_^
Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

6 Komentar untuk "Stop Membandingkan Anak!"

  1. Bingung jg y mba... Sy yg blm punya anak jd belajar. Thanks sharing nya mba

    BalasHapus
  2. benar banget...setiap anak punya "interest"nya masing masing.
    thank you for sharing

    BalasHapus
  3. Hallo mbak Nur,,

    Sepertinya, setiap anak memang mau dilihat sebagai dirinya sendiri.
    Saya pernah juga mengalami kasus yang hampir mirip,tanpa sengaja membandingkan anak dengan temannya.

    Untungnya anak2 kita yg tidak hanya diam saja ya, sama seperti si tengah anak mba yang menyuarakan ketidak sukaannya, anak saya juga menyuarakan keberatannya langsung saat tanpa sengaja dibandingkan. Sehingga kita sebagai orangtua jadi cepat tersadar dan sesegra mungkin meminta maaf dengan ketidaknyamanan yg timbul krn tidak sengaja itu.

    BalasHapus
  4. Anak saya malah suka membandingkan dirinya dgn anak lain, emaknya yg harus rajin ngingetin utk banyak bersyukur dgn seperti apapun dia hari ini. Asiknya, kalo gantian saya yg lagi drop, dia jadi ambil alih tugas ngingetin utk bersyukur itu, hehe..

    BalasHapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel