Stop Membandingkan Anak!
Selasa, 30 Oktober 2018
6 Komentar
Ceritanya
saya lagi pengen makan di luar. Beberapa hari itu, perut saya rasanya tidak
nyaman. Tidak ada nafsu buat makan. Tapi kudu dipaksa makan biar tidak makin
ambruk. Nah, pilihan makan diluar ini jarang juga karena biasanya menunggu
suami libur dan di rumah.
Setelah
makanan yang dipesan datang, saya makan perlan-pelan. Sambil berharap nafsu
makan saya pulih. Alhamdulillah, sudah lebih baik. Tapi makan satu porsi saja
rasanya berat. Kok, rasanya susah menghabiskan nasi dan lauknya. Biasanya habis
dengan mudah.
Kemudian
saya minta suami ikut membantu menghabiskan makanan saya. Katanya sudah
kenyang. Aduh, siapa lagi yang mau makanan saya. Si bungsu sudah geleng-geleng.
Si tengah sudah menolak. Sepertinya makanan saya bakal mubazir.
Dalam
kasus seperti ini saya ingat si sulung. Dengan dia saya merasa aman kalau
sedang makan bersama. Aman karena urusan makan bakal terbantu.
“Coba
kalau ada kakak, pasti mau bantuin ibu habisin makan,” kata saya.
“Kasihkan
saja ke dia. Tuh nasinya sudah habis. Tinggal ayamnya!” kata suami.
Tapi
dia kan sudah menolak hibah nasi dari saya. Masak saya mesti paksa-paksa. Ini
bagaimana sih!
Akhirnya
makanan saya berpindah juga ke piring si tengah. Sambil mengomel, “Kenapa sih
pakai ngomongin kakak! Ibu selalu gitu!”
Lha,
saya kok merasa ada yang salah. Suami ikutan membela anaknya. Kalimat saya yang
salah mana? (merasa tidak ada yang salah, hiks...hiks). Mungkin kalau ada kakaknya,
kita yang tidak sanggup menghabiskan makanan bakal terbantu. Ya kan, saya jadi
senang, jika makanan yang kita pesan habis semua. Tidak ada yang mubazir.
Bagi
saya ini hal yang biasa. Saya pesan menu apa, tapi ikut nyicip makanan dan
minuman anak-anak dan suami. Bahkan kalau tidak cocok, bisa bertukar makanan. Yang
tidak sanggup menghabiskan makanan ada yang membantu makan. Yang penting semua
makanan habis.
Tapi
sekarang tidak ada kakak. Tidak ada yang dengan sukarela membantu menghabiskan
makanan. Ya sudahlah. Saya masih berjuang menghabiskan makanan yang tersisa.
Sudah sangat terbantu dengan si tengah yang akhirnya mau menerima hibah nasi
saya. Itupun dibagi dengan suami.
Saya
pikir masalah makanan bakal berbeda dengan membandingkan anak dalam hal
akademis atau pencapaian-pencapaian lainnya. Ini loh cerita makanan. Bukan
nilai-nilai rapor yang bikin kening berkerut. Apalagi lomba-lomba yang sering
bikin nyali menciut.
Cuma
makanan kenapa jadi begini? Mengapa jadi berurusan dengan sentimen anak. Bagi
saya masalah ini sepele.
Ketika
anak-anak kita memiliki keunikannya sendiri-sendiri, orang tua tidak bisa dengan
serta merta menyamaratakan kemampuan mereka. Bisa jadi si kakak memang memiliki
kelebihan dalam hal science sementara adiknya tidak. Namun si adik cenderung ke
bahasa, atau bidang lainnya.
Kadang
orang tua memang secara tak sadar lebih memilih anak yang lebih cerdas, yang
menyenangkan untuk dipakai bahan pembicaraan. Pernah tidak, kita ngobrol bersama ibu-ibu wali murid kemudian
bercerita tentang segala kelebihan dan kekurangan anak-anak?
Tak
akan menjadi masalah jika anak-anak tidak tahu. Tapi akan menjadi masalah besar
jika orang tua bicara di depan anak-anak. Yang satu tentu saja merasa senang,
dipuji orang tua. Sementara yang tidak memiliki prestasi apapun, pasti kecewa
banget. “Kok, ibu gitu. Ibu pilih kasih. Ibu lebih suka kakak. Ibu.... “
Ada
anak yang merasa terancam dengan ucapan kita. Ada yang tersakiti dengan pujian
kita. Ada yang merasa terabaikan. Bahkan bisa jadi rasa percaya dirinya hilang seketika. Aduh sedih banget deh si anak.
Setelah
kejadian itu saya jadi berpikir, masalah membandingkan anak bukan melulu
masalah akademis dan teman-temannya. Namun menyeret ke ranah makanan. Bisa jadi
menyeret ke ranah lainnya. Saya masih mempertimbangkan cara mengungkapkan
sebuah masalah agar tak tampak seperti sedang membuat perbandingan.
Jadi
bagaimana dong?
- Kalau ada masalah entah dengan diri kita, anak atau orang lain. Apapun tema masalah itu lebih baik fokus ke masalah. Bukan ke orang.
- Mencari solusi bersama. Jangan membuat perbandingan dengan orang lain entah saudara, teman atau orang tua.
- Jangan menceritakan keburukan, kelemahan anak di hadapan orang lain. Lebih baik face to face saja.
Nah,
kalau teman-teman memiliki solusi, sharing dong di kolom komentar. Terima
kasih.
^_^
Bingung jg y mba... Sy yg blm punya anak jd belajar. Thanks sharing nya mba
BalasHapusSama-sama
Hapusbenar banget...setiap anak punya "interest"nya masing masing.
BalasHapusthank you for sharing
Sama-sama, mbak.
HapusHallo mbak Nur,,
BalasHapusSepertinya, setiap anak memang mau dilihat sebagai dirinya sendiri.
Saya pernah juga mengalami kasus yang hampir mirip,tanpa sengaja membandingkan anak dengan temannya.
Untungnya anak2 kita yg tidak hanya diam saja ya, sama seperti si tengah anak mba yang menyuarakan ketidak sukaannya, anak saya juga menyuarakan keberatannya langsung saat tanpa sengaja dibandingkan. Sehingga kita sebagai orangtua jadi cepat tersadar dan sesegra mungkin meminta maaf dengan ketidaknyamanan yg timbul krn tidak sengaja itu.
Anak saya malah suka membandingkan dirinya dgn anak lain, emaknya yg harus rajin ngingetin utk banyak bersyukur dgn seperti apapun dia hari ini. Asiknya, kalo gantian saya yg lagi drop, dia jadi ambil alih tugas ngingetin utk bersyukur itu, hehe..
BalasHapus