Menyesal, Tidak belajar Mengaji Sejak Kecil
Rabu, 12 Desember 2018
6 Komentar
Ini
adalah tema yang sejujurnya saya benci. Banyak penyesalan yang kalau diukur
dari tingkatannya, ada yang rendah sampai tinggi. Tapi karena ini challenge
yang sudah disepakati, baiklah saya mau menulis beberapa harapan yang tak bisa
direalisasi.
Baca juga Belajar Mengaji dengan 5 Channel Youtube Ini...
Menilik masa lalu ada saja yang membuat saya menyesal. Misalnya sebelum lulus kuliah, pasti ada keinginan untuk bekerja kantoran. Agak nggaya sedikit biar terlihat keren dan berpenghasilan.
Menilik masa lalu ada saja yang membuat saya menyesal. Misalnya sebelum lulus kuliah, pasti ada keinginan untuk bekerja kantoran. Agak nggaya sedikit biar terlihat keren dan berpenghasilan.
Namun
saya segera menikah setelah lulus kuliah. Hanya beberapa kali mengajukan
lamaran, sedikit kok. Kemudian resmi menjadi stay at home mom. Disinilah petualangan
sebagai ibu rumah tangga dimulai. Manis, asam, gurih, seperti rasa permen
nano-nano sampai akhirnya bisa menikmati penghasilan sendiri.
Dalam
hal ini saya tidak kecewa berlarut-larut. Karena menjadi orang yang berpenghasilan bisa dimulai dari rumah. Dengan segala ketrampilan dan kesempatan yang ada.
Tapi
ada juga loh, penyesalan yang rasanya selalu menghantui saya. “Kok nggak dari
dulu-dulu ya saya begini.” Nah, kalimat seperti ini bukan memotivasi saya. Justru
sebaliknya, saya gagal move on. Saya merasa bersalah tidak menggunakan waktu
dan kesempatan dengan benar. Kemudian ketika saya berada dalam fase sekarang,
saya seperti telah kehilangan kesempatan emas itu. Sesal kemudian tak berguna.
Menyesal tidak belajar
mengaji dengan benar sejak kecil
Saya
mulai belajar mengaji sejak usia SD. Seingat saya, ibu membelikan beberapa baju
sebagai hadiah. Saya suka baju-baju panjang tersebut. Sayapun setuju untuk
berangkat mengaji di sebuah surau.
Zaman
dahulu, saya tidak mengenal metode membaca Al Qur’an seperti saat ini. Mengaji dimulai
dengan membaca alif ba’ ta’ tsa’ dst. Kemudian
huruf-huruf tersebut dikasih harakat. Semakin lama semakin lancar sehingga naik
ke bacaan Al Qur’an.
Namun
saya tidak belajar teknik pengucapan huruf-huruf hijaiyah tersebut dengan baik
dan benar. Tajwid, juga ala kadarnya. Mana yang mesti dibaca idhar, ghunnah,
ikhfa’. Saya buta tajwid. Cuma bisa membaca nglender
(sekedar baca) aja.
Saya
tidak mau menyalahkan siapapun. Orang zaman old tidak mengenal TPQ. Tempat-tempat
yang dipakai anak-anak untuk belajar mengaji adalah surau, musholla dan
rumah-rumah guru mengaji. Saya sendiri kurang paham apa latar belakang
pendidikan guru mengaji zaman dahulu. Yang penting anak mau berangkat mengaji
itu sudah luar biasa. karena banyak mengenal mengaji sejak kecil.
Selama
bertahun-tahun saya membaca Al Qur’an belepotan, kacau, ngawur. Saya merasa
begitu malu ketika anak pertama berangkat mengaji di musholla. Di rumah saya
dengar bacaannya kok bagus. Itu anak kecil, sementara saya yang sudah setua ini
kok tidak mau belajar.
Disusul
anak kedua. Saya merasa ketabok. Baiklah, saya mendaftar kelas mengaji yang
pesertanya sedikit, cuma sebulan atau dua bulan karena akhirnya semua peserta
berguguran. Saya berhenti karena sedang hamil dan tidak kuat keluar rumah.
Setelah
itu saya tidak kunjung belajar mengaji lagi. Sepertinya saya ini orangnya butuh
dipecut agar semangatnya muncul. Butuh dibangunkan dari tidur panjang karena
keasyikan di rumah. Keinginan akhirnya tinggal keinginan. Bagaimana bisa
membaca Al Qur’an dengan baik jika tidak mau belajar dengan yang ahli.
Niat ingsun
saya mau belajar mengaji. Bismillah, saya ingin memperbaiki diri. Saya memantapkan diri untuk belajar mengaji mulai dari nol. Saya
menghubungi guru mengaji dan mengikuti jadwal mengaji di rumahnya.
Saya
mulai belajar dari awal. Pesertanya masih sama dalam jumlah angka alias tidak banyak.
Ya, bisa dihitung dengan dua tangan. Kemudian menyusut hingga bertahun-tahun
sampai tinggal 4 orang. Ada yang tiba-tiba menghilang dan ada yang ijin untuk
keluar baik-baik.
Dengan
peserta yang sedikit, saya pasrah. Mungkin memang harus seperti ini. Kadang
saya datang seorang diri. Tapi saya sudah siap dengan segala resiko. Saya siap
menempuh jalan ini meski harus sendiri. Karena saya tidak mau menyesal untuk
kesekian kalinya.
Mengaji
itu tidak mengenal usia. Teman-teman saya rata-rata berusia 40 tahun keatas. Kalau
mengeja itu ada yang susah. Ada yang harus mengulang satu ayat berkali-kali
sampai hopeless. Entah bagaimana
lidah ini bergerak tidak sesuai dengan perintah otak. Saya termasuk golongan
ini. Tapi sekali lagi, saya tidak ingin menyesal untuk kesekian kali. Meski belajar
di usia ini seperti sedang mengukir diatas air. Susah! Ini ustadzahnya
mengulang-ulang sampai kami hafal. Ustadzah juga berusaha memaklumi kemampuan kami yang masih jauh dari
harapannya.
Ibu-ibu
ini kalau bertemu masyaAllah senang banget. Kami saling support untuk istiqomah
menuntut ilmu seperti ini.
Jika
teman-teman memiliki penyesalan, boleh dong share disini. Feel free ya.
#BPN30dayChallenge2018
#bloggerperempuan
#day23
^_^
Saya juga ngaji pas SD mba, dulu sembunyi-sembunyi ke rumah guru agama demi ikut ngaji, soalnya bapak melarang kami keluar rumah.
BalasHapusNgajinya juga mulai alif, ba, ta dst itu hehehe.
Awalnya sih bacanya asal-asalan, namun setelah masuk ke Alquran, yang ngajar guru lain dan Alhamdulillah beliau tegas banget dalam melatih kami untuk mengaji dengan benar.
Sekarang yang saya sesali adalah, mengapa jarang ngaji lagi hiks
Ayo mba Rey semangat!
Hapussaya juga pingin belajar ngaji lagi, rasanya kok masih kuraaang banget. tajwid ngerti sih, tapi gatau namanya. targetnya sih bisa belajar tahfidz. semoga aja nanti bisa.
BalasHapussemangat mbaak.. aku juga semangat ini.
Aamiin. Semoga dimudahkan.
HapusMakharijul huruf emang susah untuk lidah kita--anak jaman old--yang udah terlanjur lidahnya twisted mbak heheheh. Saya juga mengalaminya. Apalagi huruf "kho", harus bener2 terdengar 'kotor'. Tapi alhamdulillah sedikit demi sedikit bisa.
BalasHapusSemangat mbak 💪💪
Susah banget mba. Ini masih pr buat aku. Kadang ingat kadang lupa. Ya Allah, semoga dimudahkan.
Hapus