Pernah Tinggal di 5 Kota Ini, Nomor 4 Yang Paling Berkesan





Sebagai istri PNS/ASN saya sering H2C (harap-harap cemas) jika ada pengumuman mutasi dari pusat. Apa boleh buat, mutasi ini sudah termasuk perjanjian kerja. Siap ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia.


Sebelum menikah saya sudah dikasih tahu tentang hal ini. Tapi yang namanya mutasi tetap saja bikin grogi, dag dig dug hati ini. Padahal saya istrinya, bukan pegawai. Tapi karena saya kena imbasnya harus ikut pindahan, ikut packing, ikut mencari rumah, jadi ikut merasakan kudu mencari rumah baru, sekolah baru, mengenal lingkungan dengan baik. Minimal tahu dimana pasar, warung dan klinik atau dokter anak. Jangan jauh dari tempat-tempat tersebut.

Oh ya, saya mulai dari kota Semarang ya, tempat saya kuliah dulu.

1. Semarang

Saya kuliah di Semarang. Kira-kira 5 jam perjalanan naik bus jurusan Surabaya-Semarang. Pertama kali datang ke sini, orang tua langsung menghubungi kerabatnya untuk membantu mencari rumah kos. Dari kerabat ke kerabatnya lagi, sampailah saya ke rumah kos yang akhirnya saya tempati.

Kata ibu, mencari tempat kos itu harus yang dekat masjid. Biarpun malas, tetap dengar suara adzan. Biarpun sedang sumpek masih dnegar suara orang mengaji. Kadang tidak sepenuhnya benar. Karena saya dapat kos agak jauh dari musholla, tapi masih terdengar suara adzan dari pengerasnya.

Saya tinggal di tempat kos di belakang kampus biar tidak capek jalan kaki. Dari awal kuliah hingga lulus tetap setia dengan rumah kos ini. Tidak pernah ada keinginan untuk pindah tempat.

Di sinilah saya mengenal teman-teman dari luar pulau. Senang sekali bisa berteman dengan mereka. Yang lucu itu kalau teman-teman ini memakai bahasa daerahnya masing-masing. Saya seperti terjebak diantara para alien. Tapi sebaliknya, teman-teman dari luar pulau itu mengerti bahasa Jawa, cuma sulit mengucapkannya. Jadi jangan ada gosip diantara kita.

2. Jakarta

Setelah lulus kuliah di Jakarta, suami bekerja di Jakarta selama bertahun-tahun. Ketika menikah, dia masih kerja di Jakarta. Saya baru lulus kuliah lalu menikah. Selama 2 bulan setelah itu saya wira-wiri Semarang, Jakarta, Tuban untuk mengurus ijazah, packing barang-barang di Semarang. Kelar urusan di Semarang, saya ikut suami. Rasanya agak aneh tiba-tiba tinggal di ibu kota yang untuk sewa rumah petak saja menguras gaji dan tunjangan.

Beberapa bulan di Jakarta, ibu saya (almh) meminta saya untuk pulang. Lha, saya lagi hamil besar, dan disuruh pulang begitu saja. Alasannya karena ini anak pertama, saya belum tahu apapun tentang urusan bayi. Aduh, antara sungkan dengan suami yang baru mengenal dan takut dengan orang tua yang bolak-balik menelpon. Sungguh ini adalah keputusan yang salah, tapi kami tak berdaya.

Akhirnya saya diantar suami pulang ke Tuban naik bus. Setelah itu saya LDM (long distance marriage) hingga anak pertama lahir. Saya kembali lagi ke Jakarta setelah mendapat restu dari orang tua. Saya ikut suami! Tinggal di Jakarta hampir 1 tahun, mulai akrab dengan tetangga-tetangga, tiba-tiba suami mutasi ke Surabaya.

3. Sidoarjo

Ceritanya kami mencari rumah dekat dengan kantor, yang bisa dijangkau dengan jalan kaki. Karena kami tak punya kendaraan apapun. Mengontrak rumah lewat bantuan teman suami. Baru kali ini saya harus membayar biaya calo. Bukan kepada teman suami, namun kepada orang lain yang mencarikan rumah kontrakan.

Di Sidoarjo ini dekat sawah. Sekarang sudah berubah menjadi perumahan. Dekat dengan klinik, ada warung langganan yang bisa ditempuh dengan jalan kaki. Warung sayur juga dekat, masih terjangkau dengan sepeda. Kendaraan pertama saya ya sepeda. Kemudian suami membeli motor untuk pertama kalinya. Itupun dipaksa temannya. Tapi kami berterima kasih, dengan pemaksaan itu kami bisa jalan-jalan muter-muter melihat sawah.

Belum genap 1 tahun kami sewa rumah, eh ada teman suami yang memberikan info adanya rumah rumah dinas yang kosong. Hore! Senang dong, dapat rumah.

4. Surabaya

Bagi kami, tinggal di Surabaya meski tidak lama sangat berkesan. Sejak pindah ke rumah dinas di Surabaya ini saya senang bisa memiliki rumah yang agak luas dari sebelumnya. Ada pohon mangga gadung yang mulai berbuah di halaman depan. Sedangkan bagian belakang saya gunakan sebagai tempat jemuran. Tapi kalau musim hujan, semua tempat available buat menjemur pakaian anak kecuali kamar tidur dan kamar mandi.

Setelah pindah ke Surabaya saya hamil anak kedua dan melahirkan di sebuah rumah sakit terdekat. Kami mengurus sendiri bayinya. Pada fase ini saya merasa keren! Norak mode on. Suami sangat membantu urusan anak-anak. Repot, susah, sedih bersama. Senangnya juga bersama. Sayangnya, kami disini hanya sekitar 2 tahun. Selama beberapa bulan, saya LDM dengan suami sambil menunggu tahun ajaran baru. Mencari sekolah baru buat si sulung. Tidak lama LDM karena kadang setiap hari pulang, kadang seminggu dua kali. Biar bagaimanapun keluarga adalah tempat ternyaman untuk melabuhkan hati. Biarpun malam dan capek, suami memilih untuk dekat dengan keluarga.

5. Bojonegoro

Di Bojonegoro ini saya tinggal di rumah dinas. Sempat ragu dengan rumah ini karena sudah lama kosong. Serem juga membayangkan hal-hal yang aneh. Bagaimana kalau suami sedang dinas di luar kota, sementara saya ketakutan di rumah.

Di kompleks rumah dinas yang terdiri dari 4 rumah ini yang jelas-jelas berpenghuni adalah dua rumah. Beberapa bulan kemudian, ada teman suami yang mengajak keluarganya disini.

Rumah dinas ini berbatasan dengan kampung. Orang-orangnya baik, ramah dan cepat tanggap ketika kami membutuhkan. Sayangnya, baru 1 tahun di Bojonegoro, ada info mutasi. Suami termasuk di dalamnya. Kemana? Ke Surabaya. OMG!

Speechless. Aduh andai tahu begitu, lebih baik saya tunggu saja di Surabaya. Buat apa saya ikut kemanapun dia pergi. Baru setahun, loh? Masih kebayang capeknya pindahan.

Akhirnya kami membuat keputusan, saya tetap tinggal di Bojonegoro bersama dua anak kecil selama 6 bulan lagi karena saya baru memasukkan si sulung di SD. Masih tahun ajaran baru dan harus pindah itu bikin kepala saya pusing.

Kali ini suami dinas lebih lama, 7 tahun di Surabaya. Setelah itu pindah lagi dan lagi. Sementara saya tinggal di kampung halaman bersama anak-anak. Tidak ada yang benar dan salah dalam keputusan kami. Yang ada adalah saling support, berpikir positif dan menyematkan doa untuk kebaikan pasangan.

Maafkan tidak ada foto yang pas untuk mendukung perjalanan hidup kami. Foto-foto zaman dulu ada yang hilang dan rusak karena rumah bocor dan kebajiran. Saya sempat mengalami banjir bandang ketika tinggal di Bojonegoro. Hidup nomaden membuat kami tidak memikirkan untuk mengabadikan moment di setiap kota. Yang saya pikirkan adalah bagaimana bisa survive dimanapun berada.

#BPN30Challenge2018

#bloggerperempuan

#day14

^_^


Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

16 Komentar untuk "Pernah Tinggal di 5 Kota Ini, Nomor 4 Yang Paling Berkesan"

  1. Semuanya berkesan, Teh..
    Terlebih pas ada pohon mangga yang berbuah..duh..

    Tapi memang bagus gitu, Teh. Saya juga belakang banget masjid tempat kostnya, selain terdengar jelas untuk ke masjid pas sholat juga dekat..he

    Dan sama, saya gak pindah-pindah juga. Selain emang betah, lingkungan juga bagus :)

    BalasHapus
  2. Waah sama abi saya pns juga jadi sering mutasi. Tapi belum pernah sih abi pindah ke kota yang sebelumnya udah pernah kesana.
    Aku sedikit ngerti perasaanmu mbak, capeek banget bongkar+beresin barang, kenalan sama lingkungan+orang baru lagi dan lagi, dll deh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh itu meski di Surabaya, tapi kantornya beda lagi.

      Hapus
  3. Wira-wiri gitu memang kudu ekstra sabar ya..

    Dulu saya juga pernah tinggal di Jakarta, hampir dua tahun. Kalau saya, dulu karena kerja di sana, hehehe..

    BalasHapus
  4. Aku yang tak pernah pindah malah ingiiiin banget merasakan pindaah

    BalasHapus
  5. 1, 2 dan 4 pernah berkunjung. sidoarjo ngelewatin aja

    BalasHapus
  6. Ada enaknya ikut mutasi suami, jadi tambah pengalaman di tempat baru, tapi kurang asik mungkin buat anak2 ya mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau bukan karena mutasi,mungkin saya numpang lewat saja.

      Hapus
  7. wow luar biasa bu perjalanannya. kebayang capek pindahannya gimana

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dulu ngangkutnya pakai truk. Ada kerabat yang kenal sama sopirnya, trus saya pesan truk sama dia. Kalau kenal gini kan lebih aman.

      Hapus
  8. PNS kementrian kah mbak?

    Suamiku juga PNS tapi provinsi. Dulu pernah LDM Malang-Lumajang beberapa bulan sampai akhirnya balik ke Surabaya lagi. Kalau dia mutasi ya masih di sekitaran Jatim, jadi kayaknya aku bakal stay aja di Sda :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau suamiku PNS pusat, mba Mer. Jadi kemungkinan mutasi nggak hanya seputar Jawa Timur.

      Hapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel