Pernah Tinggal di 5 Kota Ini, Nomor 4 Yang Paling Berkesan
Senin, 03 Desember 2018
16 Komentar
Sebagai
istri PNS/ASN saya sering H2C (harap-harap cemas) jika ada pengumuman mutasi
dari pusat. Apa boleh buat, mutasi ini sudah termasuk perjanjian kerja. Siap ditempatkan
di seluruh wilayah Indonesia.
Sebelum
menikah saya sudah dikasih tahu tentang hal ini. Tapi yang namanya mutasi tetap
saja bikin grogi, dag dig dug hati ini. Padahal saya istrinya, bukan pegawai. Tapi karena saya kena imbasnya harus ikut pindahan, ikut packing, ikut
mencari rumah, jadi ikut merasakan kudu mencari rumah baru, sekolah baru,
mengenal lingkungan dengan baik. Minimal tahu dimana pasar, warung dan klinik
atau dokter anak. Jangan jauh dari tempat-tempat tersebut.
Oh
ya, saya mulai dari kota Semarang ya, tempat saya kuliah dulu.
1. Semarang
Saya
kuliah di Semarang. Kira-kira 5 jam perjalanan naik bus jurusan Surabaya-Semarang.
Pertama kali datang ke sini, orang tua langsung menghubungi kerabatnya untuk
membantu mencari rumah kos. Dari kerabat ke kerabatnya lagi, sampailah saya ke
rumah kos yang akhirnya saya tempati.
Kata
ibu, mencari tempat kos itu harus yang dekat masjid. Biarpun malas, tetap
dengar suara adzan. Biarpun sedang sumpek masih dnegar suara orang mengaji. Kadang
tidak sepenuhnya benar. Karena saya dapat kos agak jauh dari musholla, tapi
masih terdengar suara adzan dari pengerasnya.
Saya
tinggal di tempat kos di belakang kampus biar tidak capek jalan kaki. Dari awal
kuliah hingga lulus tetap setia dengan rumah kos ini. Tidak pernah ada
keinginan untuk pindah tempat.
Di
sinilah saya mengenal teman-teman dari luar pulau. Senang sekali bisa berteman
dengan mereka. Yang lucu itu kalau teman-teman ini memakai bahasa daerahnya
masing-masing. Saya seperti terjebak diantara para alien. Tapi sebaliknya,
teman-teman dari luar pulau itu mengerti bahasa Jawa, cuma sulit mengucapkannya.
Jadi jangan ada gosip diantara kita.
2. Jakarta
Setelah
lulus kuliah di Jakarta, suami bekerja di Jakarta selama bertahun-tahun. Ketika
menikah, dia masih kerja di Jakarta. Saya baru lulus kuliah lalu menikah. Selama 2 bulan setelah itu saya wira-wiri Semarang, Jakarta, Tuban untuk mengurus ijazah, packing barang-barang di Semarang. Kelar urusan di Semarang, saya ikut suami. Rasanya agak aneh tiba-tiba tinggal di ibu kota yang untuk sewa rumah petak
saja menguras gaji dan tunjangan.
Beberapa bulan di Jakarta, ibu saya (almh) meminta saya untuk
pulang. Lha, saya lagi hamil besar, dan disuruh pulang begitu saja.
Alasannya karena ini anak pertama, saya belum tahu apapun tentang urusan bayi. Aduh,
antara sungkan dengan suami yang baru mengenal dan takut dengan orang tua yang
bolak-balik menelpon. Sungguh ini adalah keputusan yang salah, tapi kami tak
berdaya.
Akhirnya saya diantar suami pulang ke Tuban naik bus. Setelah itu saya LDM (long distance marriage) hingga anak pertama lahir. Saya kembali
lagi ke Jakarta setelah mendapat restu dari orang tua. Saya ikut suami! Tinggal
di Jakarta hampir 1 tahun, mulai akrab dengan tetangga-tetangga, tiba-tiba suami mutasi ke Surabaya.
3. Sidoarjo
Ceritanya
kami mencari rumah dekat dengan kantor, yang bisa dijangkau dengan jalan kaki. Karena
kami tak punya kendaraan apapun. Mengontrak rumah lewat bantuan teman suami. Baru
kali ini saya harus membayar biaya calo. Bukan kepada teman suami, namun kepada
orang lain yang mencarikan rumah kontrakan.
Di
Sidoarjo ini dekat sawah. Sekarang sudah berubah menjadi perumahan. Dekat dengan
klinik, ada warung langganan yang bisa ditempuh dengan jalan kaki. Warung sayur
juga dekat, masih terjangkau dengan sepeda. Kendaraan pertama saya ya sepeda. Kemudian
suami membeli motor untuk pertama kalinya. Itupun dipaksa temannya. Tapi kami
berterima kasih, dengan pemaksaan itu kami bisa jalan-jalan muter-muter melihat
sawah.
Belum
genap 1 tahun kami sewa rumah, eh ada teman suami yang memberikan info adanya
rumah rumah dinas yang kosong. Hore! Senang dong, dapat rumah.
4. Surabaya
Bagi
kami, tinggal di Surabaya meski tidak lama sangat berkesan. Sejak pindah ke
rumah dinas di Surabaya ini saya senang bisa memiliki rumah yang agak luas dari
sebelumnya. Ada pohon mangga gadung yang mulai berbuah di halaman depan. Sedangkan bagian
belakang saya gunakan sebagai tempat jemuran. Tapi kalau musim hujan, semua
tempat available buat menjemur pakaian anak kecuali kamar tidur dan kamar
mandi.
Setelah
pindah ke Surabaya saya hamil anak kedua dan melahirkan di sebuah rumah sakit
terdekat. Kami mengurus sendiri bayinya. Pada fase ini saya merasa keren! Norak
mode on. Suami sangat membantu urusan anak-anak. Repot, susah, sedih bersama. Senangnya
juga bersama. Sayangnya, kami disini hanya sekitar 2 tahun. Selama beberapa
bulan, saya LDM dengan suami sambil menunggu tahun ajaran baru. Mencari sekolah
baru buat si sulung. Tidak lama LDM karena kadang setiap hari pulang, kadang
seminggu dua kali. Biar bagaimanapun keluarga adalah tempat ternyaman untuk
melabuhkan hati. Biarpun malam dan capek, suami memilih untuk dekat dengan
keluarga.
5. Bojonegoro
Di
Bojonegoro ini saya tinggal di rumah dinas. Sempat ragu dengan rumah ini karena
sudah lama kosong. Serem juga membayangkan hal-hal yang aneh. Bagaimana kalau
suami sedang dinas di luar kota, sementara saya ketakutan di rumah.
Di
kompleks rumah dinas yang terdiri dari 4 rumah ini yang jelas-jelas berpenghuni
adalah dua rumah. Beberapa bulan kemudian, ada teman suami yang mengajak
keluarganya disini.
Rumah
dinas ini berbatasan dengan kampung. Orang-orangnya baik, ramah dan cepat
tanggap ketika kami membutuhkan. Sayangnya, baru 1 tahun di Bojonegoro, ada
info mutasi. Suami termasuk di dalamnya. Kemana? Ke Surabaya. OMG!
Speechless.
Aduh andai tahu begitu, lebih baik saya tunggu saja di Surabaya. Buat apa saya ikut
kemanapun dia pergi. Baru setahun, loh? Masih kebayang capeknya pindahan.
Akhirnya
kami membuat keputusan, saya tetap tinggal di Bojonegoro bersama dua anak kecil selama
6 bulan lagi karena saya baru memasukkan si sulung di SD. Masih tahun ajaran
baru dan harus pindah itu bikin kepala saya pusing.
Kali
ini suami dinas lebih lama, 7 tahun di Surabaya. Setelah itu pindah lagi dan
lagi. Sementara saya tinggal di kampung halaman bersama anak-anak. Tidak
ada yang benar dan salah dalam keputusan kami. Yang ada adalah saling support,
berpikir positif dan menyematkan doa untuk kebaikan pasangan.
Maafkan tidak ada foto yang pas untuk mendukung perjalanan hidup kami. Foto-foto zaman dulu ada yang hilang dan rusak karena rumah bocor dan kebajiran. Saya sempat mengalami banjir bandang ketika tinggal di Bojonegoro. Hidup nomaden membuat kami tidak memikirkan untuk mengabadikan moment di setiap kota. Yang saya pikirkan adalah bagaimana bisa survive dimanapun berada.
#BPN30Challenge2018
#bloggerperempuan
#day14
^_^
Semuanya berkesan, Teh..
BalasHapusTerlebih pas ada pohon mangga yang berbuah..duh..
Tapi memang bagus gitu, Teh. Saya juga belakang banget masjid tempat kostnya, selain terdengar jelas untuk ke masjid pas sholat juga dekat..he
Dan sama, saya gak pindah-pindah juga. Selain emang betah, lingkungan juga bagus :)
Pindah itu ribet ngepack barang2.
HapusWaah sama abi saya pns juga jadi sering mutasi. Tapi belum pernah sih abi pindah ke kota yang sebelumnya udah pernah kesana.
BalasHapusAku sedikit ngerti perasaanmu mbak, capeek banget bongkar+beresin barang, kenalan sama lingkungan+orang baru lagi dan lagi, dll deh
Oh itu meski di Surabaya, tapi kantornya beda lagi.
HapusWira-wiri gitu memang kudu ekstra sabar ya..
BalasHapusDulu saya juga pernah tinggal di Jakarta, hampir dua tahun. Kalau saya, dulu karena kerja di sana, hehehe..
Harus sabar karena kerjaan suami memang begitu.
HapusAku yang tak pernah pindah malah ingiiiin banget merasakan pindaah
BalasHapusJangaaan. Berat mbak! Biarkan aku saja.
Hapus1, 2 dan 4 pernah berkunjung. sidoarjo ngelewatin aja
BalasHapusHihi...mba Riawani sudah kemana-mana nih.
HapusAda enaknya ikut mutasi suami, jadi tambah pengalaman di tempat baru, tapi kurang asik mungkin buat anak2 ya mbak
BalasHapusKalau bukan karena mutasi,mungkin saya numpang lewat saja.
Hapuswow luar biasa bu perjalanannya. kebayang capek pindahannya gimana
BalasHapusDulu ngangkutnya pakai truk. Ada kerabat yang kenal sama sopirnya, trus saya pesan truk sama dia. Kalau kenal gini kan lebih aman.
HapusPNS kementrian kah mbak?
BalasHapusSuamiku juga PNS tapi provinsi. Dulu pernah LDM Malang-Lumajang beberapa bulan sampai akhirnya balik ke Surabaya lagi. Kalau dia mutasi ya masih di sekitaran Jatim, jadi kayaknya aku bakal stay aja di Sda :D
Kalau suamiku PNS pusat, mba Mer. Jadi kemungkinan mutasi nggak hanya seputar Jawa Timur.
Hapus