Panggilan Hati




Kak Amel menatap punggung ustadzah Fida. Secepat itukah dia pergi. Dia belum sempat menunjukkan gambarnya. Dia masih ingin bermain. Dia suka ustadzah Fida. Dia baik pada Amel.

Cerita sebelumnya...

Kak Amel menjerit. Tangannya semakin kuat mencengkeram lengan ustadzah. Memaksanya hingga masuk lagi ke dalam rumah. “Usss....usss...” suaranya mendesis.

“Iya,” ustadzah Fida menatapnya tajam. Ustadzah tak punya pilihan untuk mengelak. Di saat marah seperti ini tenaga dia menjadi berlipat-lipat. Dia mengerti. Tak tega meninggalkannya begitu saja. Mungkin beberapa menit cukup untuk mengikuti kemauannya.

Ustadzah menyerah. Tubuhnya bergerak  mengikuti kak Amel.

“Uss...uss..” teriak kak Amel lagi.

“Bu...bu...ku...” Satu tangannya menunjuk ke atas meja. Ada setumpuk buku gambar miliknya. Juga crayon pemberian ustadzah. Sudah patah-patah lagi. Tapi  masih bisa digunakan.

Ustadzah Fida menatapnya, hatinya gerimis. Satu buku diambilnya. Dibukanya perlahan. Gambar-gambar yang masih berantakan tapi dia ingin memuji dan memberinya semangat. “Gambar Amel bagus. Sudah banyak perubahan. Ustadzah suka.” Pujian itu diakhiri dengan tepuk tangan ustadzah.

Wajah kak Amel cerah. Dia tertawa kecil. Kedua tangannya memeluk ustadzah Fida.

Ustadzah Fida sangat terharu. Bagaimanapun juga dia belajar memahami keinginan Amel. Satu jalan untuk dekat adalah dengan ikut ke dalam dunianya namun tak perlu larut. Belajar dari kata-kata yang sepatah-patah. Sering tak jelas pula. Gerakan tangannya untuk menunjukkan maksud hatinya. Ditambah emosi yang masih sulit dikendalikan. Ah, tentu tak mudah bergaul dengan anak seperti ini.

Dia merasa pertemuannya sudah cukup. Dia tidak memberikan tugas menggambar lagi. Biarlah Amel menggambar sesukanya. Nanti kalau ada waktu lagi, mungkin akan sesekali datang.

Ustadzah menghela nafas panjang. Niatnya sudah kuat. Dia harus segera pulang. Dia percaya, Amel akan baik-baik saja. Lalu, berkata lirih, “Besok-besok kita ketemu lagi ya.”

Kak Amel menggeleng. Dia menginginkan ustadzah Fida disini. Ya, bersamanya mewarnai buku-buku gambar ini. Masih banyak yang belum diwarnai. Seperti waktu kemarin. Hanya mereka berdua.

Ustadzah tidak bisa memenuhi keinginannya. Amel histeris lagi. Ustadzah mengajaknya bicara baik-baik. Tangannya membelai lembut rambut kak Amel yang acak-acakan.

Entah apa yang dibisikkan di telinganya, kak Amel diam. Sorot matanya penuh tanya. Tak akan pernah ada jawaban. Kak Amel harus tahu, tak semua keinginannya harus dipenuhi. Bahkan oleh orang yang disayangnya.

Hening. Ustadzah Fida pulang.

Perasaan ini sungguh aneh. Ustadzah Fida merasa ada yang menusuk-nusuk relung hatinya. Tentang Amel. Dia tidak memiliki hubungan kekerabatan sedikitpun dengannya. Mereka baru saling mengenal. Belum bisa dikatakan akrab meski akhir-akhir ini sering bertemu.

Andaikan nenek tak sibuk mengurus Alfi mungkin sudah duduk bersamanya dan bercerita tentang Amel. Nenek selalu tampak sedih memikirkan masa depan Amel. Apa yang bisa dilakukan oleh seorang cucu yang tak sempurna?

Ustadzah Fida tak bisa berkata apa-apa. Hanya menjadi pendengarnya. Dia sendiri kurang paham dengan Amel. Ya, gadis yang menariknya dalam dunia yang samar.

Adakah yang aneh ketika ustadzah Fida dekat dengannya? Dia tidak seperti murid-muridnya di sekolah. Dia anak yang istimewa, yang dikirim Tuhan untuk menyentuhnya.

Anak malang. Bukan! Harusnya dia bahagia. Masa kanak-kanak tak akan terulang lagi. Tidak juga. Dia mungkin tak bisa membedakan bahagia dan sedih. Sesuatu yang jauh itu bernama perasaan. 

Mungkin setelah ini ustadzah Fida akan jarang bertemu dengan Alfi dan Amel. Mereka sungguh anak-anak yang cantik. Mereka berbakat. Pasti itu. Hanya saja, tak ada seorangpun yang tahu kehebatan Amel. Termasuk ustadzah Fida.

Yeah, setelah ini pasti ustadzah Fida lebih sibuk dari biasanya. Tentang pesta pernikahan, adakah yang bisa membantunya lagi? Lalu melepaskan semua masalah kepada orang-orang yang dipercaya. Tapi bukankah sudah ada yang mengurusnya. Hahaha.. ada saja hal-hal yang perlu didiskusikan bersama keluarga. Tamu yang berdatangan. Urusan sekolah. Dan mungkin ada hal-hal diluar perkiraannya yang akan menyita sepanjang waktunya.

Jalan menuju rumah sudah dekat. Tapi keraguan itu mengapa tak kunjung hilang. Tentang pernikahan, tentang masa depan, pekerjaan dan ya tentu saja Amel.

Dia yakin Alfi mau mengerti. Entahlah. “Bagaimana dengan Amel, apa yang bisa kuperbuat untuk gadis itu,” ustadzah bergumam, berpikir keras mencari jalan keluar yang semestinya bisa dilakukannya, saat ini atau esok. 

Menjadi seorang guru bukan sekedar mengajar mata pelajaran. Ada sesuatu yang memanggilnya. Nurani. Adakah yang pernah merasakan seperti ini? 

Dia tidak pernah merasa sekacau ini. Di satu sisi, persiapan pernikahan sungguh menyita banyak tenaga dan pikiran. Kadang cuma masalah sepele tapi cukup mengganggu tidurnya. Ibu yang selalu ingin tahu perkembangan persiapan pernikahannya. Semua berita harus diupdate. Hal yang menurutnya sangat sepele sekalipun. Tidak boleh menunggu hingga nanti.

Lupakan...lupakan saja masalah pernikahan. Tak akan pernah ada habisnya membahas ini. Antara keraguan dan keinginan, mana yang lebih dahulu menguasai hati.

Pikiran ustadzah Fida berkelana, menjelajahi setiap file pertemuannya dengan Amel, gadis berambut keriting yang senang menggambar. “Iya, dia suka menggambar. Lalu mengapa aku ajari bicara. Tapi bicara itu penting. Dengan cara apa aku mengertinya jika tak ada suara. Dia bahkan kesulitan mengingat sebuah kata yang baru saja diucapkan. Aneh. Apa lagi yang bisa kulakukan untuk dia.”  

Jujur, ustadzah Fida ingin datang lagi ke rumah itu. Bertemu dengan gadis-gadis cantik yang luar biasa. Bukan masalah uang. Disini tak ada uang. Tapi perasaan halus yang menekan-nekan setiap langkahnya. Ada sesuatu yang memanggilnya. Gadis dengan sorot mata yang datar.

Mungkin apa yang selama ini dilakukan bersama Amel tidak berhasil. Tidak ada perubahan yang berarti sebelum bersamanya maupun sesudahnya. Semuanya bergerak lambat. Mungkin juga sia-sia.

Separah itukah keadaan Amel?

Ustadzah berusaha untuk meyakininya, suatu saat nanti dia akan berkembang. Kalau boleh dikatakan sekarang masih dalam tahap pembibitan. Masih harus bersabar hingga muncul kuncup-kuncup yang diidamkannya. Entah sampai kapan?

Ustadzah tidak peduli dangan perkataan miring dari para tetangga. Sindiran maupun ejekan yang jelas-jelas ditujukan kepada keluarga Amel. Apakah mereka yang menghidupinya? Apakah mereka terganggu? Apakah mereka takut tertular?

Kalau kata bu Rini, tetangga di depan rumahnya, sejak awal kedatangan keluarga Amel sudah tak suka. Jelas-jelas menunjukkan di depan umum. Saat belanja di tukang sayur langganan seringkali menyindir Amel. atau saat ada arisan dasa wisma. Ada saja hal tak penting yang menjadi bahan obrolan mereka.

Bu Rini mungkin tak tahu apa itu down syndrome. Dia juga tak mau peduli dengan penderitanya. Menyalahkannya karena kena kutukan adalah sesuatu yang tak masuk akal. Dia berharap ada anggota keluarga di rumah Amel yang mendengarkan kicauannya. Meresponnya lalu membuat kegaduhan yang sama ketika Amel berteriak-teriak. “Itu anak bikin huru-hara tiap hari.”

Jelas saja hal-hal konyol semacam itu semakin memperkeruh suasana kompleks perumahan ini. Nenek maupun bunda rupanya sudah kebal dengan omongannya. Tak ada yang mau bermain dengan Amel. Tak ada yang peduli. Alfi juga tak ada teman disini. Selain memang tak ada anak yang seumuran dengannya juga rata-rata orang tua keberatan mampir ke rumah mereka.

Tuhan tak pernah salah dalam menciptakan makluknya. Tak ada yang patut dituntut. Lalu mengapa, kita manusia yang tak pernah mau mengerti dan menerima apa kehendak Tuhan. Termasuk menerima Amel. Dia tidak pernah meminta dilahirkan dalam keadaan seperti ini. Tidak pernah! Dia bahkan tidak tahu untuk apa dia dilahirkan ke dunia ini. Dan hidup tetap berjalan entah sesuai dengan keinginan kita maupun tidak.

Lalu bunda, harusnya wanita bersahaja itulah yang mengurusnya dengan baik. Mengajarinya, mengajaknya bicara dan bermain, mengasah kemampuannya. Dan tentu saja melatih kemandiriannya. Tapi bunda tak selalu ada disisinya. Bunda pasti sudah berusaha dan tetap akan berusaha.

Bunda adalah wanita yang kuat. Dalam benaknya, bunda termasuk makhluk yang langka. Setiap hari, langkahnya selalu lincah dalam bekerja. Di pundak bunda tergantung segala kebutuhan kedua anaknya. Pasti tak mudah. Bunda telah menghabiskan banyak waktunya untuk mencari nafkah.

Langkah ustadzah Fida terhenti. Sebuah Honda jazz berhenti tepat di depan rumahnya. Pintu pagar rumahnya masih terbuka lebar. Mungkin sejak kepergiannya tadi.

Laki-laki jangkung dengan baju kotak-kotak biru itu keluar dari mobil. Dia tersenyum menyapa ustadzah Fida. Lagi-lagi, ustadzah Fida jadi salah tingkah. Apakah dia sudah berjanji akan datang ke rumah? Tidak ada janji, tidak ada pemberitahuan di handphonenya. Kemarin dia juga tiba-tiba saja datang. Mungkin besok juga begitu. 

Apakah dia meragukan ustadzah Fida? Kalau demikian mengapa tidak melepaskannya saja sebelum memasuki gerbang pernikahan? Atau memang dia sedang merindu sang calon pengantin? Benarkah dia jodohnya?

Urusan mereka tentang pesta pernikahan itu sudah final. Sesuai kesepakatan mereka akan bertemu seminggu lagi. Atau mungkin seminggu itu terlalu lama bagi seorang yang merindu. 

Dia ingin bertanya namun ditahannya semua gelisah. Hanya mengucap salam dan duduk di kursi teras.

Laki-laki itu menyapa. Selanjutnya hanya basa-basi saja. “Maaf tak seharusnya aku datang. Tapi rasanya ada sesuatu yang perlu kita bicarakan.”

Ustadzah Fida menggeleng. Undangan, pertemuan keluarga, catering, salon, pesta, semuanya sudah beres. Apa lagi? Hatinya resah. Dia takut membicarakan perasaannya. Untuk saat ini hanya dia dan Tuhan saja yang berhak tahu. Buat orang-orang disekitarnya, mereka pasti sudah bisa menebaknya. Jangan sampai ternoda oleh khayalannya.

Pertemuan yang singkat. Mungkin tak lebih dari lima belas menit. Laki-laki itupun pamit. Angin sore menyapa lembut. Selembut kata-kata terakhir sebelum dia pergi. “Kita pasti bertemu.”

Urusan perasaan memang aneh. Dia datang ketika rasa itu ingin disembunyikannya. Lalu dia pergi ketika rasa itu ingin di genggamnya. Rasanya ingin berteriak saja. “Jangan tinggalkan aku!”

“Tapi kita belum menikah.’

Hatinya bicara dan saling menyalahkan. Ustadzah Fida gemas dan ingin segera mengusir kerisauan.

Mungkin inilah yang namanya sindrom pre wedding. Tentang kegalauan menjelang pernikahan. Sudahkah dia siap? Tidakkah ini terlalu cepat? Mungkin dia tidak sendirian. Tapi dia terlalu malu untuk mengakuinya. Cukuplah semua ini disimpannya sendiri.

Seribu tanya mendera. Ustadzah Fida membiarkan dirinya tenggelam dalam risau. Tentang masa depan, bukankah mereka akan menjalaninya bersama. Kemana arah yang hendak dituju dalam sebuah biduk rumah tangga adalah tanggung jawab bersama. Tak mungkin jika satu ingin ke kanan sementara satunya lagi ingin ke kiri. Tak ada kesepakatan. Sebaliknya kacau dan saling menyalahkan.

Tentang pekerjaannya sebagai seorang guru, laki-laki itu menyerahkan sepenuhnya kepadanya. Dia bebas menentukan langkahnya. Dia percaya.  

Lalu apa lagi, oh tentang rumah setelah menikah. Dia setuju untuk tinggal bersamanya disini. Menemani ibu yang sudah sepuh. Hanya dia yang tinggal di kota ini. Kedua kakaknya sudah berumah tangga dan tinggal di luar kota.

Laki-laki itu tak keberatan dengan semua permintaan ustadzah Fida. Dia percaya. Ustadzah Fida berjanji akan mengatur waktu dengan baik, semampunya. Karena dia tak mungkin bisa menjamin apa yang akan terjadi esok. Apakah semua janjinya terpenuhi ataukah tidak.

Ustadzah Fida sudah mengantongi kepercayaan dari laki-laki itu. Lalu apa lagi yang perlu dirisaukan?

Seminggu ini dia sudah berjanji untuk lebih banyak berada di dalam rumah. Tidak baik, jika calon pengantin keluyuran. Hati-hati! Nanti begini nanti jadi begitu. ibu menjadi lebih khawatir dari biasanya. Sebentar-sebentar menelpon menanyakan kabar dan tempat.

Hidupnya kini tak bebas lagi. Ceramah dari para sesepuh mengalir deras. Biasanya dia cuma tersenyum saja. Didengarkan semua petuah orang tua hingga selesai. Ah, kata-kata orang tua, entah benar atau tidak tetap saja harus dituruti. Bahkan jika itu hanya mitos sekalipun.

Jangan pernah membantahnya. Membuat hatinya gusar. Tersenyum adalah jawaban terbaik jika berseberangan pendapat.

Jauh di dasar hatinya, ustadzah Fida lebih memikirkan Amel. gadis yang membawanya ke dalam dunia yang aneh. Pertemuannya dengan Amel sebenarnya karena rasa penasaran saja. Karena Alfi yang sering menceritakan keadaan kakaknya. Ustadzah yakin, Alfi menginginkan seorang kakak yang sempurna, yang bisa diajak bermain bersama, yang bisa mengajarinya pelajaran di sekolah. Berjalan beriringan dan tertawa bersama.

Namun Amel tak sempurna. Tak akan sempurna, meski Alfi sangat menginginkannya. Dan Alfi lelah dengan keinginannya. Alfi sering meninggalkannya. Dia butuh teman. Ya, dua anak yang sama-sama butuh teman. Tapi tak tahu harus bagaimana.

Keinginan ustadzah Fida tak muluk. Dia hanya ingin berkomunikasi secara lancar dengan Amel. melatihnya berbicara adalah salah satu jalan keluar. Tapi mungkin dia salah. Entah. Dia tidak pernah belajar tentang ini.

Dia ingat sorot matanya. Datar. Tak adakah harapan. Tidakkah ada jalan keluar yang baik untuk masa depannya. Membuatnya lebih berharga di mata masyarakat. Minimal dalam keluarganya.

Seperti pak Ciptono, seorang penggagas SLB di Semarang, yang gigih memperjuangkan murid-muridnya. Mencari bakat anak-anak istimewa ini lalu mengajarinya, mengolahnya hingga terampil. Salah satu muriddnya, Bayu mampu joget dan membersihkan motor dengan menyemprot air. Itu saja yang mampu dilakukannya.  Kalau mencuci, tidak bisa bersih. Hanya meninggalkan bekas yang pasti membuat orang kecewa. Atau Chintami yang bisa diajari menari, menyulam dan musik. Masih banyak kisah lainnya yang tak kalah seru. Lalu Amel, gadis istimewa itu mungkin memiliki potensi untuk berkarya.

Hanya saja, belum ada orang yang tahu. Kisah anak-anak istimewa itu sangat menginspirasinya. Namun ustadzah butuh waktu. Sehari, setahun, atau berapa lama lagi. Dalam hati, ustadzah berjanji, akan menemui Amel.

Apa yang bisa dilakukan oleh anak-anak istimewa yang IQnya kurang dari 50? Pekerjaan, kegiatan yang sangat sederhana. Namun ketekunan dan latihan yang terus menerus membuat mereka bisa berkarya dan bermanfaat. Apalagi kalau bisa menghasilkan uang seperti murid-murid pak Ciptono.

Ustadzah Fida mendesah. Apakah harus menjadi ahli dahulu untuk membantu Amel? Andaikan dia mau sekolah. Andaikan dia memiliki semangat untuk  belajar. Seribu andai tak akan mampu membuatnya lebih baik.

Ustadzah Fida akan mencari kuncinya. Apa yang mampu diperbuat Amel? Mungkin begitu dulu. Tapi kapan? Dia seolah berkejaran dengan waktu. Harusnya menjelang pernikahannya tak perlu pusing memikirkan orang lain. Tak perlu membahas panggilan hati. Tapi bagaimana bisa, jika setiap hari dia bisa merasakan kehadiran Amel disini.

Semua file pertemuannya dengan Amel kembali terbuka. Sekuat tenaga dia menutupnya. Tidak sekarang! Lebih baik mengganti dengan persiapan pernikahan. Tidak bisa! Selalu ada tarik menarik yang membuatnya lelah.

Ada banyak pelajaran berharga dari kehidupan Amel. Tak perlu membuat celah. Semua ada masanya. Bukan sekarang.

#BlogtoBook

^_^



Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

1 Komentar untuk "Panggilan Hati"

Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel