Ketika Hujan Tak Kunjung Reda di Kawah Ijen
Jumat, 10 Agustus 2018
20 Komentar
Sejujurnya
saya galau mau memberikan judul apa untuk postingan ini. Saya masih belum puas
melihat Kawah Ijen. Masih ingin berjalan kaki sepanjang pagar pembatas. Masih
ingin ngobrol dengan para penambang belerang. Masih banyak keinginan lain yang
belum terwujud.
Baca juga Pantai Pulau Merah Banyuwangi.....
Kalau ada yang mengatakan belum lengkap main ke Banyuwangi tanpa mampir ke Kawah Ijen, memang ada benarnya. Mungkin semacam Malioboro yang membuat kita merindukan jalan di sekitar 0 km. Setiap kota memiliki keunikannya sendiri. Seperti Banyuwangi dengan wisata malamnya di Kawah Ijen.
Sebelum
berangkat ke Kawah Ijen saya mencari info dari internet. Lalu, sejak tiba dari
stasiun saya sudah bertanya tentang cara yang bisa ditempuh ke Kawah Ijen.
Sopir yang mengantarkan kami pertama kali menawarkan diri. Saya simpan
nomornya, mungkin kalau cocok dengan harga yang ditawarkan saya akan
menghubunginya lagi.
Tak
puas, saya bertanya kepada petugas el Royale Hotel tempat saya menginap. Yang
saya butuhkan adalah informasi seputar medan di Kawah Ijen dan transportasinya.
Keduanya penting bagi saya yang tak biasa mendaki gunung.
Masalah
transportasi sebenarnya tidak sulit karena setiap kali menggunakan jasa taksi online selalu bersedia
menawarkan diri. Kecuali sopir taksi wanita yang saya temui di malam hari
sepulang mencari makan. Sopir travel apalagi, langsung semangat menawarkan
diri. Karena ini pekerjaannya sehari-hari.
Karena
saya liburan di saat libur lebaran, jadi harganya mahal semua. Saya kasih
bocoran saja barangkali ada yang berniat ke Kawah Ijen bareng keluarga. Saya
tidak menggunakan open trip karena saya sekeluarga ingin menikmati suasana
santai. Yang masih single atau memang suka traveling sendiri mungkin bisa
memilih open trip. Biaya transport bisa dibagi dengan kelompok atau sejak awal
ada travel yang memasang harga untuk open trip. Ini cerita singkat dari sopir
yang merupakan pemilik travel.
Oke,
saya mau buka-bukaan tentang harga sewa kendaraan. Mau yang sopir taksi online
maupun travel sejatinya mirip-mirip saja. Ada yang menawarkan harga 400 ribu
hanya ke Kawah Ijen (mobil Ertiga), jadwalnya lagi full. Kedua, 700 ribu hanya ke Kawah Ijen (mobil
honda Brio) plus mampir ke tiga tempat wisata dekat Kawah Ijen. Ketiga, 600
ribu hanya ke Kawah Ijen (mobil Avanza). Keempat, 500 ribu hanya ke Kawah Ijen
(mobil Avanza). Semuanya berangkat tengah malam sampai pulang pagi. Ditunggui
di parkiran.
Setelah
berhitung dengan waktu dan lain-lain saya pilih keempat. Ya, ini karena
sebelumnya saya sudah menggunakan jasa sopir dengan mobil Innova harga Avanza ke Pantai Teluk Hijau hingga Pulau
Merah, pulang pergi. Selama sepuluh jam bersama si mas sopir ini, saya
sekeluarga sudah cocok.
Menurut
si mas sopir ini kalau sudah ke Kawah Ijen, orang sudah kecapekan. Jadi kalau
ikut open trip akan dikasih waktu jeda, buat istirahat dulu. Misalnya berangkat
ke Kawah Ijen malam hari, pulangnya pagi. Setelah itu balik hotel baru ngetrip
lagi siang. Cukup waktu buat istirahat beberapa jam.
Kemudian
saya ingat dengan tawaran ke Kawah Ijen plus wisata disekitarnya. Jadi,
kayaknya saya skip saja. Saya lebih percaya sama si mas sopir ini. Saya juga
harus percaya dengan fisik saya. Apalagi membawa anak kecil. Saya mesti
berpikir berkali lipat. Bagaimana bisa sampai ke Kawah Ijen dan pulang dengan
meminimalkan capek. Bisa tidak ya?
Si
mas sopir ini akan berusaha mengirim temannya sesama sopir untuk menjemput kami di hotel. Malam itu kami pulang
sekitar pukul 20.00, beli makannya bungkus, eh ternyata kurang satu bungkus.
Ya, baru tahu saat sudah di hotel. Sedang lapar dan mengantuk jadi kurang
fokus. Kemudian bikin janji tanpa uang muka. Seperti pagi itu saya juga tidak
pakai uang muka. Si sopir menawarkan harga saya setuju. Janjian dijemput jam
sekian, pulangnya baru bayar cash.
Malam
itu, dikasih sopir dari travel lain. Karena mobil dan sopir sudah full booked.
Aih.... jadilah saya ketemu sopir baru. Oke aja, sudah janjian, kok. Rencana
berangkat pukul 01.00 jadi molor hingga hampir pukul 02.00. Anak-anak maupun
saya masih pegel dan mengantuk berat. Masih ingin perpanjangan waktu.
Berangkatlah
kami menyusuri jalanan kota Banyuwangi. Dari yang awalnya cuaca cerah (cerah di
malam hari ya tetap gelap) hingga mendung, gerimis hingga hujan. Ini bagaimana
sudah terlanjur di jalan masak mau balik lagi. Tapi kalau tidak sekarang lalu
kapan. Sudah masuk hari terakhir di Banyuwangi....
Keadaan
seperti ini menyebabkan mobil tidak bisa melaju dengan gesit. Padahal tadi sopirnya
ngebut juga, mengejar waktu. Satu jam lebih perjalanan ke Kawah Ijen. Katanya waktu paling bagus buat ke Kawah Ijen
adalah tengah malam begini sehingga kita bisa mendapatkan blue fire dan paginya bisa melihat sunrise.
Saya
sudah nonton youtube tentang blue fire.
Mendadak keinginan tersebut hilang. Lha, bagaimana mungkin muncul blue fire
kalau mendung seperti ini. Ditambah hujan yang tidak kunjung reda.
Memasuki
desa terdekat dengan Kawah Ijen (lupa namanya) kami diminta membayar Rp 5.000
per orang. Uang ini masuk kas desa. Saya kurang tahu kalau hari biasa harganya
berapa.
Tiba
di lokasi parkir, saya malas keluar mobil. Masih galau, antara melanjutkan
perjalanan dalam keadaan hujan atau pulang saja. Uang sewa kendaraan Rp 500.000
sudah terbayang di depan mata. Aduh mahal amat!
Suami
bergegas turun dan mencari tahu suasana sekitar. Kemudian bertanya lagi, “Jadi
naik nggak?” Pertanyaan yang tidak ada jawabannya. Tapi kemudian dia membeli
tiket masuk.
Sementara
itu hujan menjadi kesempatan emas bagi pedagang asongan. Dia tak hentinya
menawarkan jas hujan yang super tipis. Mulai dari harga 25 ribu saya tawar
lebih murah tidak boleh juga. Ya Allah, kenapa orang-orang ditempat wisata
kebanyakan suka seenaknya saja mempermainkan harga. Katanya dari koperasi
sekian... sekian. Benar atau tidak saya kurang percaya. Lagipula tidak perlulah
menarik hati konsumen dengan cara seperti ini. Akhirnya jas hujan itu terbeli
juga dengan harga 80 ribu untuk 5 buah. Wow...
Tips:
Bawa
jas hujan dalam segala di musim. Karena cuaca di Kawah Ijen tak bisa ditebak.
Saya ingat kata-kata petugas hotel, “Cuaca di Ijen itu tidak bisa diduga. Kalau disini mendung, belum tentu disana hujan.”
Kalau
sekarang, yang terjadi adalah di kota sedang cerah, di Ijen hujan. Lengkap
sudah penderitaan kami.
Menunggu
hujan reda sampai hampir satu jam tidak ada perubahan. Hujan titik-titik
sepertinya ingin menguji kami. Bismillah, kami berangkat juga melawan segala
ragu. Hawa dingin menusuk tulang, membuat saya dan si bungsu cepat menggigil.
Padahal baru tiba di pos kedua. Saya minta istirahat dulu.
Oke,
duduk di pos sambil mengatur nafas. Minum air putih tapi khawatir pengen BAK. Di
tempat wisata alam saya trauma kalau mau ke toilet. Solusinya minum sedikit
saja. Lalu melanjutkan perjalanan.
Tips:
Buat
yang baru pertama kali kesini boleh meminta bantuan guide. Harga guide waktu
itu Rp 200.000. Saya kurang tahu kalau hari biasa berapa.
Apa
saja yang dilakukan guide?
Guide
disini adalah pemandu wisata dari warga sekitar. Tugasnya mengantarkan tamu
berangkat hingga pulang dengan selamat. Si guide ini membawa senter yang menempel
di kepala dan satu senter tambahan. Selain itu dia merupakan petunjuk arah.
Karena memang belum hafal pos dan lokasi yang hendak dituju, pasti banyak
pertanyaan di kepala. Nah, tanyakan saja kepada guide.
Seberapa
penting kehadiran guide?
Saya
rasa tidak terlalu penting. Tanpa guide, kita masih bisa mencari jalan menuju
Kawah Ijen. Lha banyak temannya. Sesama pendaki, pengunjung, whatever, saling
mengikuti jalan. Pokoknya ramai deh!
Sebaiknya
membawa senter. Kalaupun tidak, pastikan baterai handphone full sehingga bisa
maksimal menggunkan senter.
Gerimis
masih saja menjadi ujian berat. Saya, suami dan anak-anak sudah memakai jaket,
dikancing rapat. Kemudian memakai jas hujan. Sayang karena tipis mudah sobek.
Air hujan membasahi baju. Dingin poool!
Warung, musholla dan
toilet
Selama
dalam perjalanan ini saya melihat ada satu warung. Di tempat ini saya
memanfaatkan untuk memesan teh hangat untuk mengusir dingin. Kalau makanan
instant ada. Banyak, kok yang mampir disini sebelum melanjutkan perjalanan.
Disampingnya
ada musholla dan toilet. Musholla ini seperti rumah kayu. Untuk mencapainya,
kita mesti naik tangga. Pastikan menyalakan senter karena gelap gulita.
Lantai kayu dilapisi kardus. Tempat sempit dan tidak
layak banget. Aroma nano-nano. Tapi keadaan kepepet seperti ini tetap berguna. Masalah
kewajiban, dalam keadaan apapun harus ditunaikan.
Tempat
wudhu lokasinya terpisah. Justru berdekatan dengan toilet. Wudhu modelnya
terbuka. Dari penampungan air yang diberi selang. Agak susah buat saya. Mau
buka jilbab tetap tengok kiri kanan, depan belakang. Si anak tak suruh menutupi
saya.
Berhasil
wudhu dengan air yang membuat saya makin menggigil. Lanjut jalan tertatih
karena kontur tanah agak turun. Naik tangga dan sholat berjamaan. Pada saat
berdiri serasa ruangan menciut. Kepala harus menunduk lebih rendah agar tidak
menabrak atap. Pokoknya mepet banget dengan tubuh saya.
Kalau mau sholat ya bergantian. Seperti saya rombongan sekeluarga. Sudah itu saja. Pas giliran saya tidak perlu antre. Kalaupun antre ya sambil berdiri di depan musholla ini. Justru lebih banyak yang kongkow-kongkow di warung sebelah.
***
Setelah
dari sini perjalanan lebih mudah. Masih ada naik-naik ke puncak gunung. Langit
sudah mulai terang. Tidak ada blue fire
sejak tadi. Tidak ada sunrise. Kawah Ijen
berwarna hijau yang saya lihat internet begitu cantik ternyata masih tertutup
kabut. Buru-buru mencari tempat lainnya, sama saja.
Mau
kecewa atau apalah, tidak ada gunanya. Tidak ada yang bisa melawan kehendakNya.
Kalaupun saat ini saya tidak beruntung, saya harus menerimanya. Perjalanan jauh,
ongkos transport yang mahal... lupakan. Masih ada lebih banyak lagi yang harus
disyukuri.
Saya
maupun orang-orang lain yang mendaki mencoba bertahan dengan udara dingin yang
masih setia. Sama saja. Setelah jalan sebentar, menyusuri pagar dekat Kawah
Ijen. Baru beberapa langkah, tidak sampai di ujung, mendadak gerimis datang
kembali. Ya...Allah jadi begini ya kalau Allah sudah menetapkan. Manusia tak
kuasa mengubah. Manusia hanyalah makhluk yang lemah dengan berjuta-juta keinginan.
Saya
masih sempat melihat para penambang yang mengangkut belerang. Beberapa
bergerombol sambil menghalau udara dingin. Tapi mereka sudah terbiasa. Naik
turun Kawah Ijen seperti sedang jalan kaki 100 meter. Tak ada keluhan karena ini
adalah pekerjaan mereka setiap hari.
Tips:
Pakai
masker ya, karena di area ini aroma belerang cukup kuat.
Kalau
tertarik dengan belerang, kita bisa membeli cinderamata. Harga mulai Rp 5.000. Foto dibawah ini saya ambil di dekat warung.
Semua
penambang adalah warga sekitar. Kalau pengunjung sedang ramai mereka menawarkan
jasa troli (mengangkut pendaki ke Kawah Ijen). Musim liburan seperti ini harga
sekali berangkat adalah Rp 500.000. Berangkat dan pulang Rp 700.000. Sedangkan
pulang saja Rp 200.000. Saya kurang tahu kalau hari-hari biasa mereka memasang tarif
berapa.
Mengapa semahal itu?
Ternyata
untuk mengangkut satu orang dewasa itu tak mudah. dibutuhkan dua orang. Bahkan
ketika ada tanjakan dan berbatu butuh tiga orang. Demikian juga ketika jalanan
licin seperti lumpur. Dua orang di depan sebagai penarik, sementara satu orang
di belakang sebagai pengerem. Ketika sudah di tanah landai cukup satu orang
saja.
Bukan
saja orang Indonesia yang naik troli, bule kalau tidak kuat, memilih naik
troli. Tapi harga lebih mahal karena body lebih besar.
Pulang
Merasa tak ada lagi yang bisa saya lakukan disini, saya dan si bungsu memutuskan untuk pulang. Suami dan dua anak, masih setia, sambil menunggu cuaca cerah. Terserah saja. Saya bersama si bungsu mulai turun. Perjalanan turun ini lebih mudah karena cuaca sudah tidak seburuk tadi malam.
Mau mengabadikan moment tapi sudah hilang semangat. Meski menghabiskan waktu lama namun foto di Kawah Ijen justru sedikit. Hanya di pagi hari, koleksi foto yang bisa dilihat. Selebihnya tidak. Lagipula, kami sudah memikirkan mau foto lagi. Memikirkan tubuh yang remuk saja.
Jadi saat itu saya bisa melihat medan dengan jelas. Foto-foto yang diambil adalah saat pagi.
Tips:
Sebaiknya membawa air mineral dan snack. Berguna banget buat mengganjal perut. Ketika di puncak Kawah Ijen tidak ada warung. Ada tempat berteduh yang cukup luas, sayangnya lagi basah karena hujan. Jadi kami berdiri saja sambil menunggu hujan reda. Disampingnya ada toilet umum, airnya super dingin.
Di tempat ini ada saja yang bagi-bagi snack. Sesama pendaki menyambut dengan gembira. Ada biskuit sebungkus, diulurkan kepada orang-orang disekitar. Saya saja yang membawa snack langsung ludes. Memang tidak banyak karena saya tak sanggup membawa beban sambil mendaki.
Tiba di bawah, sudah disambut dengan pedagang makanan yang berkeliling. Ada nasi goreng dan macam-macam gorengan. Tanpa berpikir panjang langsung saja saya membeli dan makan bersama anak. Kalau mau jalan lagi, di parkiran banyak warung nasi.
Pulang
Merasa tak ada lagi yang bisa saya lakukan disini, saya dan si bungsu memutuskan untuk pulang. Suami dan dua anak, masih setia, sambil menunggu cuaca cerah. Terserah saja. Saya bersama si bungsu mulai turun. Perjalanan turun ini lebih mudah karena cuaca sudah tidak seburuk tadi malam.
Mau mengabadikan moment tapi sudah hilang semangat. Meski menghabiskan waktu lama namun foto di Kawah Ijen justru sedikit. Hanya di pagi hari, koleksi foto yang bisa dilihat. Selebihnya tidak. Lagipula, kami sudah memikirkan mau foto lagi. Memikirkan tubuh yang remuk saja.
Jadi saat itu saya bisa melihat medan dengan jelas. Foto-foto yang diambil adalah saat pagi.
Tips:
Sebaiknya membawa air mineral dan snack. Berguna banget buat mengganjal perut. Ketika di puncak Kawah Ijen tidak ada warung. Ada tempat berteduh yang cukup luas, sayangnya lagi basah karena hujan. Jadi kami berdiri saja sambil menunggu hujan reda. Disampingnya ada toilet umum, airnya super dingin.
Di tempat ini ada saja yang bagi-bagi snack. Sesama pendaki menyambut dengan gembira. Ada biskuit sebungkus, diulurkan kepada orang-orang disekitar. Saya saja yang membawa snack langsung ludes. Memang tidak banyak karena saya tak sanggup membawa beban sambil mendaki.
Tiba di bawah, sudah disambut dengan pedagang makanan yang berkeliling. Ada nasi goreng dan macam-macam gorengan. Tanpa berpikir panjang langsung saja saya membeli dan makan bersama anak. Kalau mau jalan lagi, di parkiran banyak warung nasi.
Tiket
masuk:
Tiket
desa Rp 5.000
Tiket
kawah Ijen Rp 5.000
Happy
traveling!
^_^
Wow, aku malah baru tau kak kalo ada jasa angkut penumpang pakai troli dari dan ke kawah Ijen.
BalasHapusSelama ini belum pernah kubaca blogger mengulas jasa troli ini.
Kebayang seru dan deg-degannya juga diangkut pakai troli kayak gitu 😁
Itu buat yang pengen ke Kawah Ijen tapi fisiknya tidak kuat.
Hapussayangnya hujan ya... kalo gak bisa lebih menikmati lagi suasananya
BalasHapusIya, mbak.
HapusWow..! Hebat mba..travelling nya menantang. Tapi sayang, hujan.. aku baru lihat kawah ijen ini pas liat my trip my adventure itu doang..dan sudah kebayang repotnya klo bawa anak kecil...
BalasHapusBtw, ongkos masuk obyeknya murah ya mba..tpi beratnya di transport
Haha...begitulah. Wisata alam biasanya gitu. Murah tiket masuknya tapi lain2 ya yang mahal.
HapusMbaaa. Kawan ijen memang selalu menyimpan cerita dan pemandangan yang seru banget ya. Aku kayaknya nggak sanggup kalau harus mencium aroma belerang. Tapi salut dengan perjuangan mereka ya
BalasHapusMba Al, nggak usah yang deket belerang. Yang di pos itu nggak ada aroma belerang sih. Sayang nggak sempat foto tempatnya, hujan, susah banget buat foto.
HapusKasian ye, uda jauh jauh tapi tidak sesuai harapan, mungkin kalau q galau banget, salut deh mbak e ngak banyak lo ibu-ibu bisa traveling dg keluarga, cukup menginspirasi pengalamannya hehe
BalasHapusBanyak juga yang traveling sama keluarga. Biasanya anaknya sudah agak gedhe gitu.
HapusWahh hujan2 aja punya cerita sepanjang ini.. gimana kalau cerah yaa.. pasti lebih seru lagi ceritanya.
BalasHapusBtw, saya belum pernah ke ijen lhoo
*ketawa miris*
Etapi mba Endah sudah lebih jauh jangkauannya. Saya masih seputar Jatim.
Hapuskebayang dinginnya, bakso pasti bikin hangat
BalasHapusBakso mana bakso...laper.
HapusTetep disyukuri ya mbaa :D. Akupun prn ngalamin liburan yg ga sesuai ama yg udh diplanning. Mau kesel ya gimanaaa.. Yg di Atas punya rencana lain :D. Ttp bersyukur bisa dtg kesana walopun ga bisa liat apa yg dimau :p. Aku blm prnh nih ke Ijen. Pengeeen. . Tp sepertinya ga mau bawa anak :p. Pgn berdua ama suami aja, krn pasti rewel kalo anak2ku
BalasHapusKalau diluar ekspektasi mau gimana lagi. Tetep bersyukur ya mba Fan.
HapusTrolinya sepertinya bisa berguna bagi kaum difabel, ya, supaya bisa menikmati Kawah Ijen.
BalasHapusIya. Siapa aja deh yang nggak kuat jalan, mba. Tapi pengen ke Kawah Ijen.
HapusDuh, Mbak Rochma, saya baca ini langsung berasa ikut kedinginan. Ijen itu selalu hujan aja. Saya ke sana bulan Februari 1996, kehujanan di puncak dan kabut pula. Saya balik ke sana bulan yang lalu, cerah waktu pagi tapi hujan ketika siang. Berat banget bawa anak. Saya udah nggak tertarik lagi lihat blue fire. Bisa sampai puncak tanpa anak jadi rewel aja kayaknya sudah hebat.
BalasHapuswah kalau hujan pastinya terganggu ya
BalasHapus