Ketika Hujan Tak Kunjung Reda di Kawah Ijen


kawah ijen


Sejujurnya saya galau mau memberikan judul apa untuk postingan ini. Saya masih belum puas melihat Kawah Ijen. Masih ingin berjalan kaki sepanjang pagar pembatas. Masih ingin ngobrol dengan para penambang belerang. Masih banyak keinginan lain yang belum terwujud.


Baca juga Pantai Pulau Merah Banyuwangi.....

Kalau ada yang mengatakan belum lengkap main ke Banyuwangi tanpa mampir ke Kawah Ijen, memang ada benarnya. Mungkin semacam Malioboro yang membuat kita merindukan jalan di sekitar 0 km. Setiap kota memiliki keunikannya sendiri. Seperti Banyuwangi dengan wisata malamnya di Kawah Ijen.

Sebelum berangkat ke Kawah Ijen saya mencari info dari internet. Lalu, sejak tiba dari stasiun saya sudah bertanya tentang cara yang bisa ditempuh ke Kawah Ijen. Sopir yang mengantarkan kami pertama kali menawarkan diri. Saya simpan nomornya, mungkin kalau cocok dengan harga yang ditawarkan saya akan menghubunginya lagi.

Tak puas, saya bertanya kepada petugas el Royale Hotel tempat saya menginap. Yang saya butuhkan adalah informasi seputar medan di Kawah Ijen dan transportasinya. Keduanya penting bagi saya yang tak biasa mendaki gunung.

kawah ijen 2386 mdpl


Masalah transportasi sebenarnya tidak sulit karena setiap kali menggunakan jasa taksi online selalu bersedia menawarkan diri. Kecuali sopir taksi wanita yang saya temui di malam hari sepulang mencari makan. Sopir travel apalagi, langsung semangat menawarkan diri. Karena ini pekerjaannya sehari-hari.

Karena saya liburan di saat libur lebaran, jadi harganya mahal semua. Saya kasih bocoran saja barangkali ada yang berniat ke Kawah Ijen bareng keluarga. Saya tidak menggunakan open trip karena saya sekeluarga ingin menikmati suasana santai. Yang masih single atau memang suka traveling sendiri mungkin bisa memilih open trip. Biaya transport bisa dibagi dengan kelompok atau sejak awal ada travel yang memasang harga untuk open trip. Ini cerita singkat dari sopir yang merupakan pemilik travel.

Oke, saya mau buka-bukaan tentang harga sewa kendaraan. Mau yang sopir taksi online maupun travel sejatinya mirip-mirip saja. Ada yang menawarkan harga 400 ribu hanya ke Kawah Ijen (mobil Ertiga), jadwalnya lagi full. Kedua, 700 ribu hanya ke Kawah Ijen (mobil honda Brio) plus mampir ke tiga tempat wisata dekat Kawah Ijen. Ketiga, 600 ribu hanya ke Kawah Ijen (mobil Avanza). Keempat, 500 ribu hanya ke Kawah Ijen (mobil Avanza). Semuanya berangkat tengah malam sampai pulang pagi. Ditunggui di parkiran.

Setelah berhitung dengan waktu dan lain-lain saya pilih keempat. Ya, ini karena sebelumnya saya sudah menggunakan jasa sopir dengan mobil Innova harga Avanza ke Pantai Teluk Hijau hingga Pulau Merah, pulang pergi. Selama sepuluh jam bersama si mas sopir ini, saya sekeluarga sudah cocok.

batas pengunjung


Menurut si mas sopir ini kalau sudah ke Kawah Ijen, orang sudah kecapekan. Jadi kalau ikut open trip akan dikasih waktu jeda, buat istirahat dulu. Misalnya berangkat ke Kawah Ijen malam hari, pulangnya pagi. Setelah itu balik hotel baru ngetrip lagi siang. Cukup waktu buat istirahat beberapa jam.

Kemudian saya ingat dengan tawaran ke Kawah Ijen plus wisata disekitarnya. Jadi, kayaknya saya skip saja. Saya lebih percaya sama si mas sopir ini. Saya juga harus percaya dengan fisik saya. Apalagi membawa anak kecil. Saya mesti berpikir berkali lipat. Bagaimana bisa sampai ke Kawah Ijen dan pulang dengan meminimalkan capek. Bisa tidak ya?

Si mas sopir ini akan berusaha mengirim temannya sesama sopir untuk menjemput kami di hotel. Malam itu kami pulang sekitar pukul 20.00, beli makannya bungkus, eh ternyata kurang satu bungkus. Ya, baru tahu saat sudah di hotel. Sedang lapar dan mengantuk jadi kurang fokus. Kemudian bikin janji tanpa uang muka. Seperti pagi itu saya juga tidak pakai uang muka. Si sopir menawarkan harga saya setuju. Janjian dijemput jam sekian, pulangnya baru bayar cash.

Malam itu, dikasih sopir dari travel lain. Karena mobil dan sopir sudah full booked. Aih.... jadilah saya ketemu sopir baru. Oke aja, sudah janjian, kok. Rencana berangkat pukul 01.00 jadi molor hingga hampir pukul 02.00. Anak-anak maupun saya masih pegel dan mengantuk berat. Masih ingin perpanjangan waktu.

kawah ijen

Berangkatlah kami menyusuri jalanan kota Banyuwangi. Dari yang awalnya cuaca cerah (cerah di malam hari ya tetap gelap) hingga mendung, gerimis hingga hujan. Ini bagaimana sudah terlanjur di jalan masak mau balik lagi. Tapi kalau tidak sekarang lalu kapan. Sudah masuk hari terakhir di Banyuwangi....

Keadaan seperti ini menyebabkan mobil tidak bisa melaju dengan gesit. Padahal tadi sopirnya ngebut juga, mengejar waktu. Satu jam lebih perjalanan ke Kawah Ijen. Katanya waktu paling bagus buat ke Kawah Ijen adalah tengah malam begini sehingga kita bisa mendapatkan blue fire dan paginya bisa melihat sunrise.

Saya sudah nonton youtube tentang blue fire. Mendadak keinginan tersebut hilang. Lha, bagaimana mungkin muncul blue fire kalau mendung seperti ini. Ditambah hujan yang tidak kunjung reda.

Memasuki desa terdekat dengan Kawah Ijen (lupa namanya) kami diminta membayar Rp 5.000 per orang. Uang ini masuk kas desa. Saya kurang tahu kalau hari biasa harganya berapa.

Tiba di lokasi parkir, saya malas keluar mobil. Masih galau, antara melanjutkan perjalanan dalam keadaan hujan atau pulang saja. Uang sewa kendaraan Rp 500.000 sudah terbayang di depan mata. Aduh mahal amat!

kawah ijen


Suami bergegas turun dan mencari tahu suasana sekitar. Kemudian bertanya lagi, “Jadi naik nggak?” Pertanyaan yang tidak ada jawabannya. Tapi kemudian dia membeli tiket masuk.

Sementara itu hujan menjadi kesempatan emas bagi pedagang asongan. Dia tak hentinya menawarkan jas hujan yang super tipis. Mulai dari harga 25 ribu saya tawar lebih murah tidak boleh juga. Ya Allah, kenapa orang-orang ditempat wisata kebanyakan suka seenaknya saja mempermainkan harga. Katanya dari koperasi sekian... sekian. Benar atau tidak saya kurang percaya. Lagipula tidak perlulah menarik hati konsumen dengan cara seperti ini. Akhirnya jas hujan itu terbeli juga dengan harga 80 ribu untuk 5 buah. Wow...

Tips:

Bawa jas hujan dalam segala di musim. Karena cuaca di Kawah Ijen tak bisa ditebak.

penambangan belerang

Saya ingat kata-kata petugas hotel, “Cuaca di Ijen itu tidak bisa diduga. Kalau disini mendung, belum tentu disana hujan.”

Kalau sekarang, yang terjadi adalah di kota sedang cerah, di Ijen hujan. Lengkap sudah penderitaan kami.

Menunggu hujan reda sampai hampir satu jam tidak ada perubahan. Hujan titik-titik sepertinya ingin menguji kami. Bismillah, kami berangkat juga melawan segala ragu. Hawa dingin menusuk tulang, membuat saya dan si bungsu cepat menggigil. Padahal baru tiba di pos kedua. Saya minta istirahat dulu.

Oke, duduk di pos sambil mengatur nafas. Minum air putih tapi khawatir pengen BAK. Di tempat wisata alam saya trauma kalau mau ke toilet. Solusinya minum sedikit saja. Lalu melanjutkan perjalanan.


jalan menuju kawah ijen

Tips:

Buat yang baru pertama kali kesini boleh meminta bantuan guide. Harga guide waktu itu Rp 200.000. Saya kurang tahu kalau hari biasa berapa.

Apa saja yang dilakukan guide?

Guide disini adalah pemandu wisata dari warga sekitar. Tugasnya mengantarkan tamu berangkat hingga pulang dengan selamat. Si guide ini membawa senter yang menempel di kepala dan satu senter tambahan. Selain itu dia merupakan petunjuk arah. Karena memang belum hafal pos dan lokasi yang hendak dituju, pasti banyak pertanyaan di kepala. Nah, tanyakan saja kepada guide.

Seberapa penting kehadiran guide?

Saya rasa tidak terlalu penting. Tanpa guide, kita masih bisa mencari jalan menuju Kawah Ijen. Lha banyak temannya. Sesama pendaki, pengunjung, whatever, saling mengikuti jalan. Pokoknya ramai deh!

jalan menuju kawah ijen


Tips:

Sebaiknya membawa senter. Kalaupun tidak, pastikan baterai handphone full sehingga bisa maksimal menggunkan senter.

Gerimis masih saja menjadi ujian berat. Saya, suami dan anak-anak sudah memakai jaket, dikancing rapat. Kemudian memakai jas hujan. Sayang karena tipis mudah sobek. Air hujan membasahi baju. Dingin poool!

Warung, musholla dan toilet

Selama dalam perjalanan ini saya melihat ada satu warung. Di tempat ini saya memanfaatkan untuk memesan teh hangat untuk mengusir dingin. Kalau makanan instant ada. Banyak, kok yang mampir disini sebelum melanjutkan perjalanan.


Disampingnya ada musholla dan toilet. Musholla ini seperti rumah kayu. Untuk mencapainya, kita mesti naik tangga. Pastikan menyalakan senter karena gelap gulita. 


warung ijen

Lantai kayu dilapisi kardus. Tempat sempit dan tidak layak banget. Aroma nano-nano. Tapi keadaan kepepet seperti ini tetap berguna. Masalah kewajiban, dalam keadaan apapun harus ditunaikan.

Tempat wudhu lokasinya terpisah. Justru berdekatan dengan toilet. Wudhu modelnya terbuka. Dari penampungan air yang diberi selang. Agak susah buat saya. Mau buka jilbab tetap tengok kiri kanan, depan belakang. Si anak tak suruh menutupi saya.

Berhasil wudhu dengan air yang membuat saya makin menggigil. Lanjut jalan tertatih karena kontur tanah agak turun. Naik tangga dan sholat berjamaan. Pada saat berdiri serasa ruangan menciut. Kepala harus menunduk lebih rendah agar tidak menabrak atap. Pokoknya mepet banget dengan tubuh saya.

Kalau mau sholat ya bergantian. Seperti saya rombongan sekeluarga. Sudah itu saja. Pas giliran saya tidak perlu antre. Kalaupun antre ya sambil berdiri di depan musholla ini. Justru lebih banyak yang kongkow-kongkow di warung sebelah. 

***

Setelah dari sini perjalanan lebih mudah. Masih ada naik-naik ke puncak gunung. Langit sudah mulai terang. Tidak ada blue fire sejak tadi. Tidak ada sunrise. Kawah Ijen berwarna hijau yang saya lihat internet begitu cantik ternyata masih tertutup kabut. Buru-buru mencari tempat lainnya, sama saja.

Mau kecewa atau apalah, tidak ada gunanya. Tidak ada yang bisa melawan kehendakNya. Kalaupun saat ini saya tidak beruntung, saya harus menerimanya. Perjalanan jauh, ongkos transport yang mahal... lupakan. Masih ada lebih banyak lagi yang harus disyukuri.

Saya maupun orang-orang lain yang mendaki mencoba bertahan dengan udara dingin yang masih setia. Sama saja. Setelah jalan sebentar, menyusuri pagar dekat Kawah Ijen. Baru beberapa langkah, tidak sampai di ujung, mendadak gerimis datang kembali. Ya...Allah jadi begini ya kalau Allah sudah menetapkan. Manusia tak kuasa mengubah. Manusia hanyalah makhluk yang lemah dengan berjuta-juta keinginan.

Saya masih sempat melihat para penambang yang mengangkut belerang. Beberapa bergerombol sambil menghalau udara dingin. Tapi mereka sudah terbiasa. Naik turun Kawah Ijen seperti sedang jalan kaki 100 meter. Tak ada keluhan karena ini adalah pekerjaan mereka setiap hari.

Tips:

Pakai masker ya, karena di area ini aroma belerang cukup kuat.

Kalau tertarik dengan belerang, kita bisa membeli cinderamata. Harga mulai Rp 5.000. Foto dibawah ini saya ambil di dekat warung.

cinderamata dari belerang


Semua penambang adalah warga sekitar. Kalau pengunjung sedang ramai mereka menawarkan jasa troli (mengangkut pendaki ke Kawah Ijen). Musim liburan seperti ini harga sekali berangkat adalah Rp 500.000. Berangkat dan pulang Rp 700.000. Sedangkan pulang saja Rp 200.000. Saya kurang tahu kalau hari-hari biasa mereka memasang tarif berapa.

Mengapa semahal itu?

Ternyata untuk mengangkut satu orang dewasa itu tak mudah. dibutuhkan dua orang. Bahkan ketika ada tanjakan dan berbatu butuh tiga orang. Demikian juga ketika jalanan licin seperti lumpur. Dua orang di depan sebagai penarik, sementara satu orang di belakang sebagai pengerem. Ketika sudah di tanah landai cukup satu orang saja.

Bukan saja orang Indonesia yang naik troli, bule kalau tidak kuat, memilih naik troli. Tapi harga lebih mahal karena body lebih besar. 

troli


Pulang

Merasa tak ada lagi yang bisa saya lakukan disini, saya dan si bungsu memutuskan untuk pulang. Suami dan dua anak, masih setia, sambil menunggu cuaca cerah. Terserah saja. Saya bersama si bungsu mulai turun. Perjalanan turun ini lebih mudah karena cuaca sudah tidak seburuk tadi malam.

Mau mengabadikan moment tapi sudah hilang semangat. Meski menghabiskan waktu lama namun foto di Kawah Ijen justru sedikit. Hanya di pagi hari, koleksi foto yang bisa dilihat. Selebihnya tidak. Lagipula, kami sudah memikirkan mau foto lagi. Memikirkan tubuh yang remuk saja. 

Jadi saat itu saya bisa melihat medan dengan jelas. Foto-foto yang diambil adalah saat pagi.

Tips:

Sebaiknya membawa air mineral dan snack. Berguna banget buat mengganjal perut. Ketika di puncak Kawah Ijen tidak ada warung. Ada tempat berteduh yang cukup luas, sayangnya lagi basah karena hujan. Jadi kami berdiri saja sambil menunggu hujan reda. Disampingnya ada toilet umum, airnya super dingin.

Di tempat ini ada saja yang bagi-bagi snack. Sesama pendaki menyambut dengan gembira. Ada biskuit sebungkus, diulurkan kepada orang-orang disekitar. Saya saja yang membawa snack langsung ludes. Memang tidak banyak karena saya tak sanggup membawa beban sambil mendaki.


istirahat di pos


Tiba di bawah, sudah disambut dengan pedagang makanan yang berkeliling. Ada nasi goreng dan macam-macam gorengan. Tanpa berpikir panjang langsung saja saya membeli dan makan bersama anak. Kalau mau jalan lagi, di parkiran banyak warung nasi.

Tiket masuk:

Tiket desa Rp 5.000
Tiket kawah Ijen Rp 5.000

Happy traveling!

^_^



Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

20 Komentar untuk "Ketika Hujan Tak Kunjung Reda di Kawah Ijen"

  1. Wow, aku malah baru tau kak kalo ada jasa angkut penumpang pakai troli dari dan ke kawah Ijen.
    Selama ini belum pernah kubaca blogger mengulas jasa troli ini.

    Kebayang seru dan deg-degannya juga diangkut pakai troli kayak gitu 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu buat yang pengen ke Kawah Ijen tapi fisiknya tidak kuat.

      Hapus
  2. sayangnya hujan ya... kalo gak bisa lebih menikmati lagi suasananya

    BalasHapus
  3. Wow..! Hebat mba..travelling nya menantang. Tapi sayang, hujan.. aku baru lihat kawah ijen ini pas liat my trip my adventure itu doang..dan sudah kebayang repotnya klo bawa anak kecil...

    Btw, ongkos masuk obyeknya murah ya mba..tpi beratnya di transport

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha...begitulah. Wisata alam biasanya gitu. Murah tiket masuknya tapi lain2 ya yang mahal.

      Hapus
  4. Mbaaa. Kawan ijen memang selalu menyimpan cerita dan pemandangan yang seru banget ya. Aku kayaknya nggak sanggup kalau harus mencium aroma belerang. Tapi salut dengan perjuangan mereka ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mba Al, nggak usah yang deket belerang. Yang di pos itu nggak ada aroma belerang sih. Sayang nggak sempat foto tempatnya, hujan, susah banget buat foto.

      Hapus
  5. Kasian ye, uda jauh jauh tapi tidak sesuai harapan, mungkin kalau q galau banget, salut deh mbak e ngak banyak lo ibu-ibu bisa traveling dg keluarga, cukup menginspirasi pengalamannya hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banyak juga yang traveling sama keluarga. Biasanya anaknya sudah agak gedhe gitu.

      Hapus
  6. Wahh hujan2 aja punya cerita sepanjang ini.. gimana kalau cerah yaa.. pasti lebih seru lagi ceritanya.
    Btw, saya belum pernah ke ijen lhoo
    *ketawa miris*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Etapi mba Endah sudah lebih jauh jangkauannya. Saya masih seputar Jatim.

      Hapus
  7. kebayang dinginnya, bakso pasti bikin hangat

    BalasHapus
  8. Tetep disyukuri ya mbaa :D. Akupun prn ngalamin liburan yg ga sesuai ama yg udh diplanning. Mau kesel ya gimanaaa.. Yg di Atas punya rencana lain :D. Ttp bersyukur bisa dtg kesana walopun ga bisa liat apa yg dimau :p. Aku blm prnh nih ke Ijen. Pengeeen. . Tp sepertinya ga mau bawa anak :p. Pgn berdua ama suami aja, krn pasti rewel kalo anak2ku

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau diluar ekspektasi mau gimana lagi. Tetep bersyukur ya mba Fan.

      Hapus
  9. Trolinya sepertinya bisa berguna bagi kaum difabel, ya, supaya bisa menikmati Kawah Ijen.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Siapa aja deh yang nggak kuat jalan, mba. Tapi pengen ke Kawah Ijen.

      Hapus
  10. Duh, Mbak Rochma, saya baca ini langsung berasa ikut kedinginan. Ijen itu selalu hujan aja. Saya ke sana bulan Februari 1996, kehujanan di puncak dan kabut pula. Saya balik ke sana bulan yang lalu, cerah waktu pagi tapi hujan ketika siang. Berat banget bawa anak. Saya udah nggak tertarik lagi lihat blue fire. Bisa sampai puncak tanpa anak jadi rewel aja kayaknya sudah hebat.

    BalasHapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel