Ayo Nak, Belanja di Warung Tetangga!
Selasa, 26 Februari 2019
20 Komentar
Dulu,
warung-warung tetangga ini sangat akrab dengan saya. Kalau sewaktu-waktu ibu
membutuhkan sembako, saya siap membeli di warung-warung tetangga yang cuma
beberapa jengkal dari rumah. Sampai sekarang warung-warung tersebut masih ada,
bertahan diantara minimarket-minimarket yang gencar melakukan promo.
Kalau
sedang di rumah orang tua, warung-warung tetangga tetap yang favorit karena
jaraknya sangat dekat dibandingkan dengan minimarket. Warung tetangga tersebar di depan dan di
belakang rumah. Buka dari pagi selepas shubuh sampai malam. Kalau sedang tutup,
sewaktu-waktu masih melayani pembeli selama ada orang di rumahnya.
Baca juga My Son My Bodyguards...
Saya
ingat ketika masih anak-anak, begitu tiba di depan warung tetangga, langsung
berteriak, “Tumbaaas!” (beli)
Sekarangpun
masih seperti itu. Sudah umum menggunakan kata “tumbas” agar orang-orang rumah
tahu kalau ada pembeli datang. Tapi saya tidak berteriak lagi. Malu ah, kayak
anak kecil.
Sekali
tak ada jawaban, saya akan mengulangi lagi. Ya saya sih maklum, kalau warung
tetangga jadi satu dengan rumahnya. Tapi orangnya tidak selamanya ada di
warung. Kadang sambil memasak, sambil menonton teve, atau sambil bersih-bersih
rumah. Kadang yang melayani bisa semua orang rumah. Asal hafal harga barangnya
saja, semuanya beres.
Berbeda
dengan warung tetangga di dekat rumah saya. Warung ini memang didesain mirip
minimarket juga. Tidak nyambung dengan rumah pribadi. Ada pelayan-pelayan yang
siap melayani pembeli. Ada pemiliknya yang menjadi kasir dan pelayan sekaligus.
Tapi kalau pemiliknya sedang tak ada, digantikan oleh pelayan senior.
Warung
tetangga ini jaraknya dekat dengan minimarket. Dulu sempat terpikir,
jangan-jangan keberadaan minimarket bakal menggusur warung tetangga. Ternyata
tidak juga. Warung tetangga ini tetap ramai pembeli.
Jarak
warung tetangga dengan rumah yang dekat membuat saya ingin selalu melibatkan
anak-anak. Minimal mereka bisa membeli sendiri barang kebutuhannya. Atau bahkan
bisa menolong saya, membelikan sesuatu di warung tetangga.
“Ayo,
dek, beli sendiri tali rapia!”
Setelah
saya mengulurkan uang Rp 10.000, si anak berangkat juga. Jalan kaki sebentar
kemudian dia sudah balik lagi di rumah. “Ibu, rapia yang kecil tidak ada.
Adanya yang besar kayak ini.”
Satu
gulung rapia dan uang kembalian langsung diserahkan kepada saya.
Saat
ini, minimarket sudah semakin mudah ditemui, semakin mendekat dengan rumah,
semakin memudahkan siapa saja untuk belanja dengan nyaman. Tidak peduli di
tengah kota atau di pelosok, anak-anak dengan mudah mengenal dan nyaman belanja
disana. Gaung promo bermacam-macam barang kebutuhan rumah tangga dengan mudah
nangkring di halaman rumah. Bagaimana tidak tertarik?
Anak-anak
saya merasa lebih nyaman membeli di minimarket karena tempatnya yang memang
diatur sedemikian rupa sehingga semua calon pembeli suka. Melihat deretan
barang yang ditata rapi, calon pembeli senang. Kemudian tanpa berpikir lama
langsung comot dan bayar di kasir. Ada kalanya barang tersebut tidak
dibutuhkan. Tapi tergiur saja. Entah karena promo atau memang tertarik.
“Ibu,
beli di minimarket saja,” keluh anak saya ketika saya minta ke warung tetangga.
Alasannya karena di minimarket tersebut berAC. Sementara kalau di warung
tetangga memakai angin cuma-cuma. Bahkan ada barang yang sampai di berdebu di
rak.
Sumber: hipwee |
Ketika
saya meminta anak untuk belanja di warung tetangga, sesungguhnya ada maksud
lain. Di warung tetangga pembeli dan penjual terasa lebih akrab. Anak harus
berani ngomong apa yang dibutuhkan di depan si mbak pelayan atau ibu pemilik
warung. Kalau diam saja, tidak bakal dilayani. Bagaimana pelayannya tahu si
anak butuh apa, kalau tidak mau ngomong.
“Beli
apa, dek?”
“Sudah
kelas berapa, dek?”
Pertanyaan
tanpa SOP tersebut yang membuat warung tetangga sampai saat ini terasa lebih
akrab tanpa basa-basi. Kalau dengan saya, bisa lebih lama ngobrolnya. Si ibu
pemilik warung bisa ngobrol mulai tentang anak-anak hingga urusan dapur. Hal
yang wajar, sih.
Tidak
ada promo beli satu dapat dua, turun harga, dsb di warung tetangga. Tidak ada
sapaan selamat datang, selamat berbelanja dan menawarkan tambah pulsa di warung
tetangga. Tapi saya masih membutuhkan warung tetangga.
Masalah
harga, tidak semua warung tetangga mencantumkan harga yang lebih murah dari
supermarket atau minimarket. Lha, mereka kulakan dari supermarket, jadi
harganya pasti sudah pasaran. Bahkan ada yang lebih mahal. Tapi itu tak menyusutkan
keinginan saya agar anak-anak juga terbiasa belanja di warung tetangga.
Keuntungan belanja di
warung tetangga:
- Membantu perekonomian tetangga
Kalau
bukan kami, orang-orang yang tinggal di sekitar warung, lalu siapa yang bakal
meramaikan transaksi pembelian barang-barang di warung tetangga. Dengan membeli
di warung tetangga, sesungguhnya ikut membantu ekonomi tetangga.
- Lebih akrab dengan pemilik warung
Bagi
saya ini yang penting. Kadang saya ngobrol macam-macam dengan pemilik warung. Dari
menanyakan kabar orang tua, anak dan si mbak. Tidak ada senyum yang
dibuat-buat.
Ada
pengalaman menarik ketika saya belanja di warung tetangga. Waktu itu saya
membeli wipol, sapu lidi, spon pencuci piring. Semua barang yang saya butuhkan
diambilkan oleh anak si ibu pemilik warung. Dimasukkan ke dalam kresek, kecuali
sapu lidi. Kemudian saya bertanya harganya, “Berapa mbak?”
“Sebentar,
ibu lagi pergi. Saya nggak hafal harganya,” kata si mbak.
Saya
menunggu dalam diam. Kemudian bapaknya ikut mencarikan daftar harga. Tapi
warung tersebut tidak semua barang ada harganya. Sampai akhirnya si anak
menelpon ibunya. Bertanya semua harga belanjaan saya.
Untungnya
si ibu tidak pergi lama. Begitu datang, langsung dihitung semua belanjaan dan
beres.
Drama belanja di warung
tetangga
Ketika
belanja di warung tetangga, sebenarnya anak belajar banyak hal tapi banyak
dramanya juga. Mungkin terlihat sepele, seperti bagaimana mereka tahu harga barang yang
dibeli, uang kembalian. Matematika mode on! Atau ketika saya minta untuk
membeli telur, mereka harus hati-hati membawanya. Saya meminta anak untuk jalan
kaki saja biar telur tidak berantem di dalam plastik. Tapi si anak ngeyel mau
naik sepeda. Hasilnya telur pecah satu, dua buah ketika melewati jalan yang tak
mulus.
Masalah
membeli telur ini mulai anak pertama selalu membuat kesalahan dengan telur-telur
yang pecah. Sampai akhirnya entah bagaimana mereka menemukan cara yang tepat. Telur
aman sampai di rumah.
Sementara
kalau telur di minimarket dikemas dengan aman. Gampang membawanya. Harga sudah
tercantum dengan jelas. Kalau masih kurang yakin tinggal menunjukkan struk
pembelian kepada saya.
Belanja
di warung tetangga itu seru! Anak-anak lebih suka belajar dari pengalaman. Seperti
ketika membeli terigu dan pecah di jalan. Terigu tumpah ruah. Tapi tetap dibawa
pulang sisanya. Saya tidak perlu marah. Saya hanya perlu memberikan kesempatan
agar mereka tidak mengulangi kesalahan tersebut. Yuk, belanja di warung tetangga, Nak!
Jadi,
teman-teman masih suka belanja di warung tetangga atau di
minimarket/supermarket? Suka mengajak anak-anak juga? Cerita dong di kolom komen. Terima kasih.
^_^
Saya pernah membuat artikel yang intinya hampir mirip tapi dengan gaya bahasa sindiran. Jepang hancur karena di bon, warung bangkrut karena terlalu banyak bon. Sepertinya sudah menjadi hal lumrah dimana pun ,kalau punya uang cash belinya di minimarket, jika ngutang di warung tetangga.
BalasHapusTapi ya itu kadang sifat manusia yang tidak suka dengan kesuksesan tetangga, lebih demen belanja di tempat jauh.
Mari kita punya solidaritas tinggi, belilah warung dekat rumah.
Kejadian yang sama dengan warung tetangga. Ada yang akhirnya memilih untuk tutup karena banyak yang ngutang. Sedih.
Hapussemenjak banyak ada minimarket 2 di jalan besar keluar perumahan, banyak warung tetangga yang tutup, sedih sih, jd kalau ada kebutuhan mendadak hrs keluar jauh
BalasHapusHuhu...sedih ya.
HapusSampai saat ini sy msh sk belanja ke warung ttg... Sekedar bli perintilan mba... Selain deket jg mmg niatnya ya bantu ttg... Kl bkn ttg dekat yg beli ya siapa lagi yah.... Pembahasan masalah yg simpel tp bermakna.
BalasHapusKalau bukan kita yang beli lalu siapa lagi.
HapusAku beli di warung tetangga mbk. Kecuali yg nggak ada di warung ttangga baru deh beli di minimarket2 yg dimana2 itu. Karena kalau diperhatiin harga di warung tetangga itu lebih murah dr yg minimarket2 dimn2 itu.
BalasHapusIya mba, ada yang lebih murah.
Hapusreminder yang bagus nih mba..
BalasHapuskadang cuma selisih berapa ribu sm minimarket, tapi feel-nya itu lho :') lebih dapet kalau belanja ke warung tetangga
Perasaan lebih ikhlas nanyanya daripada si mbak di supermarket.
Hapussaya dulu juga jagain warung punya ortu jadi tahu rasanya punya warung kecil2an. Tapi kalau sekarang selama masih bisa beli di luar beli aja. Karena warung terdekat harganya bisa selangit bahkan anak2 sering mengaku kesel karena pelayanannya gak ramah dan jutek.
BalasHapusWaduh, si mbak pelayan kudu belajar nih.
HapusSetujuu banget mbaak kalau kebiasaan belanja di warung tetangga kudu dilestarikan, hehehe selain meningkatkan kemampuan bersosialisasi juga membantu perekonomian lokal :) dulu jaman saya kecil suka banget malah kalau disuruh belanja ke warung tetangga karena bsa sekalian main sama tetangga heheh jd rindu masa kecil. btw makasih sharingnyaa ya mbaaak ~~
BalasHapusSuka tulisannya bunda. Harus memberdayakan masyarakat sekitar ya Bun. Setuju
BalasHapusSemangat berbagi ya bunda 😊
yang bikin hidup ya tetangga sendiri
BalasHapustapi biasanya mbak si empunya warung klo mau lebaran suka kasih bingkisan sebagai tanda terima kasih sudah sering beli
jadi kalau mau beli ke jaringan minimarket rasanya eman
harganya juga lebih murah
makasih sharingnya mbak
Iya, mas. Ada yang ngasih bingkisan lebaran juga. Di desa loh warung kecil gitu masih bisa ngasih daster, kadang ya panci buat pelanggannya.
Hapusjujurnya aku ttp lbh suka supermarket krn mencari hrg dan jenis brgnya yg lbh lengkap mba. aku terbiasa belanja itu bulanan. jd sekaligus banyak sekalian biar ga balik lg. makanya kenapa aku lbh milih supermarket. tp warung ttp aku datangin kalo utk membeli brg2 yg keabisan, ato anak2 pgn beli cemilan :)
BalasHapusAku masih belanja di warung kecil kayak gini, MBak. Kalau di Jakarta namanya Warung Madura, karena sebagian besar yang jualan orang MAdura. Tapi memang harus kuakui masalah higienitas barang-barangnya. KAdang barang rusak karena panas, kadang juga berdebu yang bikin kurang nyaman. Akhirnya ya fifty2 saja. Untuk susu dan bahan makanan aku pilih ke minimarket. Tapi kalai beras, telor, sabun tetep ke warung tetangga
BalasHapusRumah ku deket sama minimarket modern, tapi kalau memang warung kelontong tetangga jual barang yang mau saya beli, pasti aku ke tempat tetangga.
BalasHapusSaya pedagang kecil2an dikampung Mbak. Alhamdulillah masih banyak pelanggannya termasuk langganan ngutang ����. Makanya kadang suami lebih mementingkan kerjaan lain, karena hasilnya lebih pasti, langsung bisa dinikmati tanpa mikir kulakan. ��
BalasHapus