Ayo Nak, Belanja di Warung Tetangga!



belanja di warung tetangga


Dulu, warung-warung tetangga ini sangat akrab dengan saya. Kalau sewaktu-waktu ibu membutuhkan sembako, saya siap membeli di warung-warung tetangga yang cuma beberapa jengkal dari rumah. Sampai sekarang warung-warung tersebut masih ada, bertahan diantara minimarket-minimarket yang gencar melakukan promo.

Kalau sedang di rumah orang tua, warung-warung tetangga tetap yang favorit karena jaraknya sangat dekat dibandingkan dengan minimarket.  Warung tetangga tersebar di depan dan di belakang rumah. Buka dari pagi selepas shubuh sampai malam. Kalau sedang tutup, sewaktu-waktu masih melayani pembeli selama ada orang di rumahnya.

Baca juga My Son My Bodyguards...

Saya ingat ketika masih anak-anak, begitu tiba di depan warung tetangga, langsung berteriak, “Tumbaaas!” (beli)

Sekarangpun masih seperti itu. Sudah umum menggunakan kata “tumbas” agar orang-orang rumah tahu kalau ada pembeli datang. Tapi saya tidak berteriak lagi. Malu ah, kayak anak kecil.

Sekali tak ada jawaban, saya akan mengulangi lagi. Ya saya sih maklum, kalau warung tetangga jadi satu dengan rumahnya. Tapi orangnya tidak selamanya ada di warung. Kadang sambil memasak, sambil menonton teve, atau sambil bersih-bersih rumah. Kadang yang melayani bisa semua orang rumah. Asal hafal harga barangnya saja, semuanya beres.

Berbeda dengan warung tetangga di dekat rumah saya. Warung ini memang didesain mirip minimarket juga. Tidak nyambung dengan rumah pribadi. Ada pelayan-pelayan yang siap melayani pembeli. Ada pemiliknya yang menjadi kasir dan pelayan sekaligus. Tapi kalau pemiliknya sedang tak ada, digantikan oleh pelayan senior.

Warung tetangga ini jaraknya dekat dengan minimarket. Dulu sempat terpikir, jangan-jangan keberadaan minimarket bakal menggusur warung tetangga. Ternyata tidak juga. Warung tetangga ini tetap ramai pembeli.

Jarak warung tetangga dengan rumah yang dekat membuat saya ingin selalu melibatkan anak-anak. Minimal mereka bisa membeli sendiri barang kebutuhannya. Atau bahkan bisa menolong saya, membelikan sesuatu di warung tetangga.

“Ayo, dek, beli sendiri tali rapia!”

Setelah saya mengulurkan uang Rp 10.000, si anak berangkat juga. Jalan kaki sebentar kemudian dia sudah balik lagi di rumah. “Ibu, rapia yang kecil tidak ada. Adanya yang besar kayak ini.”

Satu gulung rapia dan uang kembalian langsung diserahkan kepada saya.

Saat ini, minimarket sudah semakin mudah ditemui, semakin mendekat dengan rumah, semakin memudahkan siapa saja untuk belanja dengan nyaman. Tidak peduli di tengah kota atau di pelosok, anak-anak dengan mudah mengenal dan nyaman belanja disana. Gaung promo bermacam-macam barang kebutuhan rumah tangga dengan mudah nangkring di halaman rumah. Bagaimana tidak tertarik?

Anak-anak saya merasa lebih nyaman membeli di minimarket karena tempatnya yang memang diatur sedemikian rupa sehingga semua calon pembeli suka. Melihat deretan barang yang ditata rapi, calon pembeli senang. Kemudian tanpa berpikir lama langsung comot dan bayar di kasir. Ada kalanya barang tersebut tidak dibutuhkan. Tapi tergiur saja. Entah karena promo atau memang tertarik.

“Ibu, beli di minimarket saja,” keluh anak saya ketika saya minta ke warung tetangga. Alasannya karena di minimarket tersebut berAC. Sementara kalau di warung tetangga memakai angin cuma-cuma. Bahkan ada barang yang sampai di berdebu di rak.

warung tetangga
Sumber: hipwee

Ketika saya meminta anak untuk belanja di warung tetangga, sesungguhnya ada maksud lain. Di warung tetangga pembeli dan penjual terasa lebih akrab. Anak harus berani ngomong apa yang dibutuhkan di depan si mbak pelayan atau ibu pemilik warung. Kalau diam saja, tidak bakal dilayani. Bagaimana pelayannya tahu si anak butuh apa, kalau tidak mau ngomong.

“Beli apa, dek?”

“Sudah kelas berapa, dek?”

Pertanyaan tanpa SOP tersebut yang membuat warung tetangga sampai saat ini terasa lebih akrab tanpa basa-basi. Kalau dengan saya, bisa lebih lama ngobrolnya. Si ibu pemilik warung bisa ngobrol mulai tentang anak-anak hingga urusan dapur. Hal yang wajar, sih.

Tidak ada promo beli satu dapat dua, turun harga, dsb di warung tetangga. Tidak ada sapaan selamat datang, selamat berbelanja dan menawarkan tambah pulsa di warung tetangga. Tapi saya masih membutuhkan warung tetangga.

Masalah harga, tidak semua warung tetangga mencantumkan harga yang lebih murah dari supermarket atau minimarket. Lha, mereka kulakan dari supermarket, jadi harganya pasti sudah pasaran. Bahkan ada yang lebih mahal. Tapi itu tak menyusutkan keinginan saya agar anak-anak juga terbiasa belanja di warung tetangga.

Keuntungan belanja di warung tetangga:

  • Membantu perekonomian tetangga

Kalau bukan kami, orang-orang yang tinggal di sekitar warung, lalu siapa yang bakal meramaikan transaksi pembelian barang-barang di warung tetangga. Dengan membeli di warung tetangga, sesungguhnya ikut membantu ekonomi tetangga.

  • Lebih akrab dengan pemilik warung

Bagi saya ini yang penting. Kadang saya ngobrol macam-macam dengan pemilik warung. Dari menanyakan kabar orang tua, anak dan si mbak. Tidak ada senyum yang dibuat-buat.

Ada pengalaman menarik ketika saya belanja di warung tetangga. Waktu itu saya membeli wipol, sapu lidi, spon pencuci piring. Semua barang yang saya butuhkan diambilkan oleh anak si ibu pemilik warung. Dimasukkan ke dalam kresek, kecuali sapu lidi. Kemudian saya bertanya harganya, “Berapa mbak?”

“Sebentar, ibu lagi pergi. Saya nggak hafal harganya,” kata si mbak.

Saya menunggu dalam diam. Kemudian bapaknya ikut mencarikan daftar harga. Tapi warung tersebut tidak semua barang ada harganya. Sampai akhirnya si anak menelpon ibunya. Bertanya semua harga belanjaan saya.

Untungnya si ibu tidak pergi lama. Begitu datang, langsung dihitung semua belanjaan dan beres.

Drama belanja di warung tetangga

Ketika belanja di warung tetangga, sebenarnya anak belajar banyak hal tapi banyak dramanya juga. Mungkin terlihat sepele, seperti bagaimana mereka tahu harga barang yang dibeli, uang kembalian. Matematika mode on! Atau ketika saya minta untuk membeli telur, mereka harus hati-hati membawanya. Saya meminta anak untuk jalan kaki saja biar telur tidak berantem di dalam plastik. Tapi si anak ngeyel mau naik sepeda. Hasilnya telur pecah satu, dua buah ketika melewati jalan yang tak mulus.

Masalah membeli telur ini mulai anak pertama selalu membuat kesalahan dengan telur-telur yang pecah. Sampai akhirnya entah bagaimana mereka menemukan cara yang tepat. Telur aman sampai di rumah.

Sementara kalau telur di minimarket dikemas dengan aman. Gampang membawanya. Harga sudah tercantum dengan jelas. Kalau masih kurang yakin tinggal menunjukkan struk pembelian kepada saya.

Belanja di warung tetangga itu seru! Anak-anak lebih suka belajar dari pengalaman. Seperti ketika membeli terigu dan pecah di jalan. Terigu tumpah ruah. Tapi tetap dibawa pulang sisanya. Saya tidak perlu marah. Saya hanya perlu memberikan kesempatan agar mereka tidak mengulangi kesalahan tersebut. Yuk, belanja di warung tetangga, Nak!

Jadi, teman-teman masih suka belanja di warung tetangga atau di minimarket/supermarket? Suka mengajak anak-anak juga? Cerita dong di kolom komen. Terima kasih.

^_^
Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

20 Komentar untuk "Ayo Nak, Belanja di Warung Tetangga!"

  1. Saya pernah membuat artikel yang intinya hampir mirip tapi dengan gaya bahasa sindiran. Jepang hancur karena di bon, warung bangkrut karena terlalu banyak bon. Sepertinya sudah menjadi hal lumrah dimana pun ,kalau punya uang cash belinya di minimarket, jika ngutang di warung tetangga.
    Tapi ya itu kadang sifat manusia yang tidak suka dengan kesuksesan tetangga, lebih demen belanja di tempat jauh.
    Mari kita punya solidaritas tinggi, belilah warung dekat rumah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kejadian yang sama dengan warung tetangga. Ada yang akhirnya memilih untuk tutup karena banyak yang ngutang. Sedih.

      Hapus
  2. semenjak banyak ada minimarket 2 di jalan besar keluar perumahan, banyak warung tetangga yang tutup, sedih sih, jd kalau ada kebutuhan mendadak hrs keluar jauh

    BalasHapus
  3. Sampai saat ini sy msh sk belanja ke warung ttg... Sekedar bli perintilan mba... Selain deket jg mmg niatnya ya bantu ttg... Kl bkn ttg dekat yg beli ya siapa lagi yah.... Pembahasan masalah yg simpel tp bermakna.

    BalasHapus
  4. Aku beli di warung tetangga mbk. Kecuali yg nggak ada di warung ttangga baru deh beli di minimarket2 yg dimana2 itu. Karena kalau diperhatiin harga di warung tetangga itu lebih murah dr yg minimarket2 dimn2 itu.

    BalasHapus
  5. reminder yang bagus nih mba..
    kadang cuma selisih berapa ribu sm minimarket, tapi feel-nya itu lho :') lebih dapet kalau belanja ke warung tetangga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Perasaan lebih ikhlas nanyanya daripada si mbak di supermarket.

      Hapus
  6. saya dulu juga jagain warung punya ortu jadi tahu rasanya punya warung kecil2an. Tapi kalau sekarang selama masih bisa beli di luar beli aja. Karena warung terdekat harganya bisa selangit bahkan anak2 sering mengaku kesel karena pelayanannya gak ramah dan jutek.

    BalasHapus
  7. Setujuu banget mbaak kalau kebiasaan belanja di warung tetangga kudu dilestarikan, hehehe selain meningkatkan kemampuan bersosialisasi juga membantu perekonomian lokal :) dulu jaman saya kecil suka banget malah kalau disuruh belanja ke warung tetangga karena bsa sekalian main sama tetangga heheh jd rindu masa kecil. btw makasih sharingnyaa ya mbaaak ~~

    BalasHapus
  8. Suka tulisannya bunda. Harus memberdayakan masyarakat sekitar ya Bun. Setuju

    Semangat berbagi ya bunda 😊

    BalasHapus
  9. yang bikin hidup ya tetangga sendiri
    tapi biasanya mbak si empunya warung klo mau lebaran suka kasih bingkisan sebagai tanda terima kasih sudah sering beli
    jadi kalau mau beli ke jaringan minimarket rasanya eman
    harganya juga lebih murah
    makasih sharingnya mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, mas. Ada yang ngasih bingkisan lebaran juga. Di desa loh warung kecil gitu masih bisa ngasih daster, kadang ya panci buat pelanggannya.

      Hapus
  10. jujurnya aku ttp lbh suka supermarket krn mencari hrg dan jenis brgnya yg lbh lengkap mba. aku terbiasa belanja itu bulanan. jd sekaligus banyak sekalian biar ga balik lg. makanya kenapa aku lbh milih supermarket. tp warung ttp aku datangin kalo utk membeli brg2 yg keabisan, ato anak2 pgn beli cemilan :)

    BalasHapus
  11. Aku masih belanja di warung kecil kayak gini, MBak. Kalau di Jakarta namanya Warung Madura, karena sebagian besar yang jualan orang MAdura. Tapi memang harus kuakui masalah higienitas barang-barangnya. KAdang barang rusak karena panas, kadang juga berdebu yang bikin kurang nyaman. Akhirnya ya fifty2 saja. Untuk susu dan bahan makanan aku pilih ke minimarket. Tapi kalai beras, telor, sabun tetep ke warung tetangga

    BalasHapus
  12. Rumah ku deket sama minimarket modern, tapi kalau memang warung kelontong tetangga jual barang yang mau saya beli, pasti aku ke tempat tetangga.

    BalasHapus
  13. Saya pedagang kecil2an dikampung Mbak. Alhamdulillah masih banyak pelanggannya termasuk langganan ngutang ����. Makanya kadang suami lebih mementingkan kerjaan lain, karena hasilnya lebih pasti, langsung bisa dinikmati tanpa mikir kulakan. ��

    BalasHapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel